Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sumi yang Meremaja Kembali

12 April 2022   03:07 Diperbarui: 19 April 2022   21:15 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kaumenatap lekat-lekat jendela kamarmu. Suara gerimis teratur mengetuk genteng kaca. Bagimu hujan dan gerimis adalah suara Tuhan yang mengurangi kesepianmu. Kesepian yang mengingatkan pada sosok pria bermata teduh dengan garis bibir yang menyenangkan. Mata itu membuatmu memendam rindu, membangun istana dengan bunga-bunga cinta berwarna-warni. Juga perasaan cinta yang membuatmu lupa sebuah perbedaan. 

Ragamu senantiasa meremaja, ketika kehangatan kata-kata menyapa. Kaubayangkan bibir lelaki itu mengucapkan janji pernikahan di depan para undangan. Seketika telaga kering di hatimu terisi oleh air hujan. Terasa basah itu merabai seluruh tubuh dan berhenti di bilik jantung.

Kautersenyum ngeri dan tubuh gemetar bukan karena dingin hujan. Kau kembali memeluk diri sendiri seraya merenggut rambut dengan bibir terus melontarkan kata-kata penuh cinta. Kau tak menyadari teriakan melengking itu tak lebih nyaring dari suara tangis ibumu yang berdiri di depan pintu. Tak ada yang mengerti tangismu, bahkan bulan yang pucat pun lebih memilih memahami kemuraman malam. 

Sejak malam itu kau lebih senang menangis daripada berbicara. Lebih memilih berteriak sekedar mengeluarkan kehendak. Kaumenyesali kelahiran dirimu sebagai anak pertama. 

***

"Punten, Bu. Ini saya mau melamar putri ibu," ujarnya.


"Ibu senang sekali."

Ia mengawali niat kedatangannya ke rumahmu sore itu. Sementara rona bahagia tak bisa kausembunyikan. Di usia yang tidak mudah lagi, Tuhan masih mengirimkan seorang pemuda yang menginginkanmu untuk berumah tangga. Sebenarnya tidak sekali dua kali lamaran yang sama pernah kau terima saat usiamu masih bisa dikatakan muda. Namun karena tanggung jawab yang harus kautanggung setelah kematian bapakmu, untuk membantu ibu membiayai sekolah ketiga adikmu, membuatmu menolak lamaran-lamaran itu.

Hening ruangan ini, kau cukup bisa mendengar suara detak jantungmu sendiri. Kau lihat senyum dan kemantapan tampak jelas di wajahnya. Sementara lelaki tua di sampingnya justru menatap wajahmu lekat-lekat, adalah bapaknya Ustad Mansyur.

"Apakah bapakmu sungguh benar-benar menyetujuinya, Nak Anas? Sementara banyak sekali perbedaan di antara kalian," kata ibumu memecah keheningan ruangan itu. 

"Justru bapaklah orang yang paling tidak memperdulikan perbedaan itu, Bu." Lelaki yang disebut bapak olehnya hanya mengangguk dan tersenyum.

"Seperti yang Nak Anas ketahui, saat ini usia Sumi tidak bisa dikatakan muda lagi. Pastinya akan banyak sekali perbedaan di antara kamu dan dia."

"Apa maksud ibu. Saya dan Mbak Sumi?" ujarnya penasaran.

Kata-kata ibumu tidak hanya membuat penasarannya tapi sekaligus membuat wajah Ustad Mansyur menjadi muram.

"Iya, kamu datang kemari bukannya untuk melamar Sumi untuk menjadi istrimu?"

"Maaf, Ibu salah paham. Saya kesini justru melamar Mbak Sumi untuk bapak saya."

Kau menggeleng, pandanganmu menelusuri wajahnya bergantian dengan lelaki tua di sampingnya. Kau tatap kosong wajah ibumu, rupanya kekecewaan itu tidak hanya ada di hatimu, justru kekecewaan lebih mengubur harapan-harapan ibumu sendiri. Harapan melihatmu mengenakan baju pengantin dan melihatmu menjadi seorang istri.

Kau berusaha menenangkan hati, menghalau air mata agar tak berlompatan keluar. Kau letih setelah beberapa saat lalu di terbangkan angan-angan. Untuk kedua kalinya kau merasakan kebencian kepada dirimu sendiri. Selain daripada menjadi anak pertama dan kini mencintai lelaki yang menginginkanmu hanya menjadi ibunya, istri sambung bagi bapaknya. 

Kau menunduk lalu memainkan jarimu. Lalu berdiri dan meninggalkan mereka. Tak kau dengar lagi bagaimana akhir pembicaraan lamaran itu.

Yang kau ketahui enam bulan dari malam lamaran itu. Suara cucak lampah mengiringi pertemuan dua pengantin di halaman samping rumahmu. Pernikahannya dengan gadis sepantaran yang sangat dicintainya. Kau lihat tangannya saling melempar beras kuning, dia tersenyum malu-malu. Dadamu berdesir. 

"Jangan menangis Sumi. Ibu tahu merelakan itu sakit," kata ibumu.

Perlahan kau menutup jendela, tanganmu mengelus pipi. Membuang jatuh air mata yang susul menyusul turun. Seketika kau memalingkan muka, kakimu gemeteran. Ibumu berusaha menghibur, menyanyikan lagu       lalu mencubit pipimu. Seakan-akan kau bocah kecil yang merajuk minta dibelikan gula-gula. 

Sontak ketakutan menjalar di sekujur tubuhmu. Tatkala ibumu hendak pergi ke halaman rumah sebelah, melayani tamu-tamu undangan. 

"Wis ya Cah Ayu. Ibu tak bantu-bantu, kasihan tidak ada perempuan di rumah sebelah."

Mendadak kau terkejut, ketakutanmu meluap. Ketakutan semua orang meninggalkanmu tak bisa kautahan. Lantas kau mundur beberapa langkah hingga tubuhmu membentur meja di belakang. Tubuhmu bergetar hebat, tak kuasa mengendalikan ketakutanmu. Kau ingin berteriak jangan pergi, tetapi suaramu tertelan suara musik dangdut hajatan.

Peluh mengucur deras, bayang-bayang tubuh ibumu direnggut oleh mereka terlihat jelas. Kembali bibirmu ingin berteriak, "Ibu jangan pergi." Lagi-lagi kau tak kuasa. 

Spontan tanganmu mendarat di pipimu, berulang-ulang. Mendorong kepalamu ke dinding kamar. Tak juga bayangannya pergi. Bayangan lelaki itu saling lempar senyum dengan pengantinnya. Bayangan Ustad Mansyur berbagi peranan dengan ibumu. Bayangan adik-adikmu bersama keluarganya. Kau berusaha menghapus bayangan-bayangan itu. Dengan panik kau berusaha pergi menjauh dari suara-suara pesta dan tawa para undangan. Namun ruangan itu terkunci rapat, dan kuncinya pasti disembunyikan oleh ibumu.

***

"Anas, aku tak setua yang kau lihat," teriakmu.

Teriakanmu seperti sedang bersaing dengan deras hujan malam ini. Bayang-bayang itu tak juga mau pergi. 

Kau mengunci kamar dan duduk di depan cermin mematut dirimu begitu cantik. Menguncir dua rambut panjangmu, menyematkan pita berwarna merah muda. Sangat serasi dengan gaun renda merah muda yang dibelikan bapakmu sebagai kado ulang tahun yang ke tujuh belas.  

Tubuhmu meremaja, kau tersenyum. Bernyanyi lagu-lagu cinta, sesekali berteriak meluapkan rasa cinta dengan air mata yang tak kuasa kau bendung. Kau berhenti menyanyi dan berteriak, kau menajamkan telinga. Kalau-kalau suaranya memanggilmu. Kau tak pernah lupa bagaimana suaranya mengaji setiap malam kamis di masjid tempat kalian biasa bertemu. Di masjid tempat ia menjadi khatib setelah pulang dari pesantren menggantikan bapaknya. Kau lupa sudah berapa malam kau selalu sendirian di dalam kamar. 

Tiba-tiba suara pintu kamarmu di ketuk.

"Mbak Sumi. Yuk ikut saya mengaji. "

Kau terkejut, kau tergagap. Dengan dada bebunga kau buka pintu kamar. Kau merangsuk memeluknya mesra. 

Spontan kau menjauh, dan berlari keluar kamar. Kau lihat orang-orang berseragam putih dengan dada sebelah kanan bertuliskan Rsj. Menur Surabaya.

Kau gelisah, kau cemas seseorang akan memisahkanmu dari Anas dalam bingkai kaca di pelukanmu. Kau terus berlari, terus menjauh, terus menjadi Sumi yang remaja.

Surabaya, 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun