Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Membuatku Jadi Pemabuk

22 November 2021   14:10 Diperbarui: 22 November 2021   15:14 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini malam kesekian dari yang sudah-sudah. Mendekati pagi, kukeluarkan kretek dari kotaknya dan korek. Sesaat suara korek menemani kesendirianku. Ini adalah batang ketiga di malam ini. Sebelumnya lembar-demi lembar buku kuuar guna mencari kata-kata yang bisa menjadi pemantik imajinasi. Sudah bermalam-malam tak satu kata dapat kutangkap dan kutuangkan dalam satu puisi. Otakku tumpul, seakan-akan kehilangan isi. 

Tapi satu janji pernah tersemat di dalam hati. Aku perempuan tangguh yang tak akan pernah berhenti, sebelum apa yang kucita-citakan bisa terlaksana. Dua bulan ini tak satu pun buku dapat kubeli. Bukan karena tidak ada uang untuk membeli tetapi satu-satunya toko buku tempatku membeli tutup sudah berhari-hari. 

Suara tiang listrik depan rumah dipukul tiga kali, menyadarkanku. Hanya tersisa tiga jam untuk rebah serta mengistirahatkan pikiran. Itupun jika saat ini mataku lekas terpejam. Kupaksakan tidur. Sungguh malam ini begitu mengecewakan, tak satu kata pun kutulis.

***

Dengan mata menyipit kubuka pintu rumah di esok paginya. Suara gerbang alumunium selalu mengejutkanku, tak peduli apakah cukup tidur atau masih mengantuk dan lesu. Kusegerakan mandi, dan mempercantik diri. 

Pekerjaanku sebagai pelayan restoran tak memberi waktu berlama-lama di rumah. Sepertinya sarapan para pelanggan lebih diutamakan daripada sarapanku sendiri. Selain daripada itu, waktu untuk melihat sajak pagi di depan halaman rumah lebih menyenangkan dari sekedar bangun kesiangan. Tidak hanya sajak itu yang membuatku tertarik melainkan si pembaca sajak yang suka kutatap secara sembunyi-sembunyi. 

"Ah, peduli apa dengan kata-kata yang tak kutemukan semalam tadi, jika setiap pagi selalu banyak diksi-diksi bertebaran di halaman."

Sampai hari ke empat puluh, aku belum berani menyapa. Meskipun perihal tentangnya tak satupun yang tidak kuketahui. Mulai kebiasaan-kebiasaan kecil lelaki itu yang suka berjalan-jalan keliling komplek, bertelanjang dada duduk di depan komputer yang berkedip-kedip sepanjang malam, dan ia juga suka menanyakan diriku dari anak-anak yang bermain di halamannya. 

Angan-angan sudah dirancang sedemikian rapi, senja nanti akan kuhampiri. "Siapakah yang tak tertarik jika mengobrol denganku, seorang perempuan yang good speaking dan low profile," pikirku.

Matahari beberapa waktu lagi akan meredup, waktuku pulang bekerja. Kumatikan mesin motor jauh-jauh dari halaman rumah. Seperti biasanya, tidak ingin suara bising knalpot butut mengganggu kenyamanannya di depan mesin ketik modern. Kuperhatikan warna kulitnya yang bersih, gurat-gurat halus di kening tatkala dipaksakan untuk berpikir. 

Jendela di kamarku begitu tepat untuk mengamati. Rahangnya yang kokoh, tatapan mata misterius menambah rasa penasaran di dalam diriku. Apakah gerangan yang dituliskan sehingga ia begitu asyik, hingga tak menyadari ada sepasang mata yang memperhatikan. 

Suara adzan magrib berkumandang. Waktu menutup gorden jendela kamar. Meskipun rasa penasaran belum sepenuhnya hilang dari pikiran. Kuputuskan untuk mengakhiri segala keingintahuan tentangnya. 

Kupaksakan mata terlelap tepat beberapa menit setelah sembahyang. Seperti biasanya malam menjadi waktu yang tepat untuk mengenalnya. Tepat pukul dua belas, hasrat di dalam kandung kemih memaksa untuk terjaga. Air kamar mandi yang dingin ternyata sangat ampuh menghilangkan kantuk dari dalam diriku. kuberjalan membuka gorden dengan terburu.

Lagi kupandangi jendela seberang kamar. Sudut mata menangkap bayangan hitam bergerak di antara kegelapan, hanya nyala lampu dari mesin ketik modern cukup memberi kepastian bahwa ia masih di tempat yang sama ketika sore tadi kutinggalkan saat terserang kantuk. 

Sudut matanya mulai meredup, mungkin lelah seharian mengeja huruf-huruf mana yang siap untuk dituliskan menjadi cerita. Kali ini sorot matanya cukup jeli, melihat jauh ke depan. Tepat dimana mataku mengarah. Mata kita saling bertatapan. Ah, mungkin inilah yang dinamakan jerit hati di tengah malam. Aku tak peduli jika nantinya dia menilaiku lancang, karena diam-diam mencuri perhatian. Biarkan saja apa peduliku, aku hanya ingin menikmati wajah kerasnya berkali-kali. 

Dua kerling mata mengisyaratkan sesuatu, entah tak dapat kuartikan apa. Hanya setelah itu tanpa berpamitan dia menutup gorden biru bergambar bintang, menjadi satu-satunya penghalang di antara kita.

Sedikit kecewa kututup pula gorden putih bunga-bunga di jendelaku. Biarlah esok pagi yang akan kembali mengartikan pandangan kita. Kulangkahkan kaki mendekati rak buku di sudut tempat tidur. Meskipun bukan seseorang yang menggemari membaca, tapi masih satu-dua buku kubeli setiap bulannya. Sebagai asupan gizi untuk isi kepala. 

"Rasanya begitu tolol jika perempuan modern membiarkan waktu sia-sia tanpa belajar," pikirku.

Sampai satu bungkusan coklat kudapati tergeletak di rak teratas. Pada bungkusan itu tertulis.

'Bagaimana anggur mendidih di wajan, di jalan, di oral semalaman, di televisi, di koran ... di kepala orang-orang yang melupakan kita .... Masaklah! Mabuklah!'.

Hatiku bertanya dari siapakah bungkusan berwarna coklat ini, sementara beberapa waktu aku sedang tidak menunggu kiriman atau membeli barang melalui online? 

Karena berada di rak buku, dan di dalam kamarku. Tidak menjadi sesuatu yang lancang jika rasa penasaran membuatku membuka bungkusan bersampul coklat, yang bisa kupastikan jika isi yang ada di dalamnya adalah sebuah buku. Semalaman kubaca buku yang sampai halaman terakhir tidak kuketahui siapa pengirimnya, karena memang tidak ada nama pengirim di sampul itu. 

Pagi harinya ketika kubuka pintu rumah. kudapati lelaki itu terduduk di kursi kayu di halaman rumahnya. Seperti sedang menunggu seseorang. Kurasa dia menungguku, tatapannya tepat terarah kepadaku. Bahkan tepat setelah pintu rumah kubuka, lelaki itu berjalan ke tempatku. 

Hatiku berdebar seperti ribuan panah cinta memanah tepat ke jantung, terasa bergetar tak karuan, kutarik napas dan berusaha menguatkan diri agar kedua kaki bisa berdiri tegak. 

"Menurutmu bacaan semalam apakah benar-benar kausukai? Jika ingin mengenalku, maka kenali diriku dari tulisan-tulisanku. Jangan memandangku secara sembunyi-sembunyi. Itu namanya mencuri tanpa ingin dikenai pasal pencurian." Ia lalu berjalan meninggalkanku dan kembali memasuki kamar dengan jendela bergorden biru bintang-bintang, tanpa berusaha menanyakan perasaanku saat ini. 

Seperti tulisan-tulisan yang kubaca begitu tajam. Begitu pula  kata-katanya tepat mengenai debar jantungku. 

Rasanya baru kali ini ada seorang lelaki yang begitu kuat dengan segala prinsip-prinsipnya. Aku tak begitu peduli dengan yang tertulis di buku itu. Bagiku lelaki itu cukup mempesona dibanding sebuah buku.

Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, aku hanya ingin terus mabuk bersamanya. Bersama tulisan-tulisan pedasnya tentang pesakitan yang dialami kaum terpinggirkan seperti kita. Malam ini kutemui dia di kamar baca yang baru kuketahui ruang kerja dan sekaligus sebuah toko buku. Ia begitu fokus dengan buku bacaan sehingga tidak menyadari bahwa aku tepat ada di samping ia duduk. Ia nampak begitu menawan dengan kaos hitam tanpa lengan dan selinting rokok di sela-sela jari.

"Oh, Gana. Lelaki yang setiap malam kuperhatikan, tampak lebih mempesona dan berkarakter. Selain daripada kegelapan dan pesakitan yang menyembunyikan segala ketajamanmu. Aku Nai yang tak pernah kauberi kesempatan untuk mengenalmu lebih jauh."

Sejak malam itu, mabuk dan menyalakan api tidak lagi di dalam kamar kita masing-masing. Namun api itu menyala di kedua kepala dan tubuh kami. Hingga membakar apa saja yang ada di sekitar kami. Sehingga selalu saja bara menyala di setiap puisi-puisiku. 

"Nai, jangan hanya satu orang yang kaubakar dengan tulisan-tulisanmu. Buatlah dunia menyala dengan buku-bukumu. Jadi malam ini mulailah menulis." 

Mata tajamnya tepat mengenai retina. Hingga hilang semua ketakutan yang selama ini menggelayut di pelupuk mata tatkala mulai kuurai kata demi kata menjadi cerita. 

"Aku seorang perempuan yang tak bisa memabukan seluruh dunia saat ini, tetapi kalau hanya untuk menjatuhkan keringat di keningmu, tidaklah butuh ribuan kata." 

Aku berhasil menaklukan lelaki itu, tak hanya menjadi obyek dari tulisan-tulisan yang keluar dari setiap bibir dan pikirannya. Kurasa apa yang memabukannya ada di dalam diriku. 

Malam demi malam kita habiskan untuk masak dan mabuk hingga tanpa sadar, aku mulai menyukai merangkai kata-kata dan menuliskannya. Membeli buku dan membaca buku menjadi satu prioritas dari sepiring nasi padang penuh lemak di malam hari. Aku tak tahu apakah menulis dan membaca buku menjadi sesuatu yang sangat kubutuhkan, atau hanya satu alasan saja untuk sekedar mabuk dan berdekatan dengannya. 

***

Hingga malam keenam puluh hari lalu kedua mataku berkabung. Hujan mengiringi perjalanan mengantarkan beberapa lelaki dengan pakaian hitam menjemput lelakiku naik ke mobil berplat merah. Warta menceritakan bahwa tulisan-tulisannya yang memabukan tidak hanya memabukan seorang perempuan, sebuah negara berkedaulatan ikut muntah-muntah karena aroma kejujuran dari masakan yang perlahan mulai diajarkan kepadaku.

Hingga malam ini suasana berkabung masih menyelimuti kamarku. Suara dan teriakannya masih lebih harum dari aroma anggur. 

'Bagaimana anggur mendidih di wajan, di jalan, di oral semalaman, di televisi, di koran ... di kepala orang-orang yang melupakan kita .... Masaklah! Mabuklah!'.

Mungkin lain kali Gana akan kutemukan nyata tidak hanya sosok yang hidup di dalam cerpen dan tulisan-tulisanku. Dimana nama itu akan abadi di buku-buku yang terpajang di toko buku di halaman rumah yang saat ini sedang kurintis.

Surabaya, 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun