Mohon tunggu...
Edra Putra Firdaus
Edra Putra Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya mahasiswa hukum yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Bangka Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menata Ulang Pertambangan Timah Bangka Belitung : Antara Hukum dan Keadilan

19 September 2025   11:45 Diperbarui: 19 September 2025   11:40 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangka Belitung selama ini dikenal sebagai daerah penghasil timah terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Hampir setiap jengkal tanah di provinsi ini menyimpan potensi mineral yang menggiurkan. Namun, di balik kontribusi timah terhadap devisa negara, terdapat ironi yang menyayat: lubang tambang yang dibiarkan menganga, air tanah yang tercemar, nelayan kehilangan mata pencaharian, hingga puluhan nyawa melayang. Inilah potret nyata bahwa pertambangan, yang semestinya menjadi instrumen kesejahteraan, justru menghadirkan luka sosial dan ekologis yang mendalam.

Salah satu akar masalah terletak pada kerangka hukum yang menaungi sektor pertambangan, terutama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Regulasi ini, alih-alih memberi perlindungan kepada masyarakat, justru memusatkan kewenangan pada pemerintah pusat serta memberikan keleluasaan berlebih kepada korporasi tambang. Padahal, hukum seharusnya berpihak pada rakyat sebagai pemilik kedaulatan sumber daya alam, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Tiga Masalah Utama dalam UU Minerba

Pertama, hilangnya kewenangan pemerintah daerah. Sebelum lahirnya UU Minerba, pemda masih memiliki ruang untuk mencabut izin usaha pertambangan (IUP) apabila ditemukan pelanggaran serius. Kini, semua kewenangan ditarik ke pusat. Akibatnya, ketika masyarakat Bangka Belitung mengadu soal lubang tambang yang tidak direklamasi atau laut yang tercemar limbah, pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak. Sentralisasi seperti ini justru memperlebar jarak antara penderitaan rakyat dan pengambil kebijakan.

Kedua, kriminalisasi masyarakat melalui Pasal 162 UU Minerba. Pasal ini menyatakan, setiap orang yang menghalangi kegiatan usaha pertambangan dapat dipidana. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai pasal ini menjadi “pasal karet” yang berpotensi mengkriminalisasi warga yang sekadar memperjuangkan hak lingkungan mereka. Di Bangka Belitung, warga yang menolak aktivitas tambang di laut pernah diintimidasi, padahal mereka hanya ingin mempertahankan sumber nafkah sebagai nelayan.

Ketiga, kemudahan perpanjangan izin bagi perusahaan meski lalai terhadap kewajiban lingkungan. UU Minerba memungkinkan perusahaan memperpanjang kontrak dua kali, masing-masing 10 tahun, meskipun reklamasi pasca-tambang belum dilakukan dengan baik. Dalam praktiknya, ini membuka ruang eksploitasi tanpa tanggung jawab ekologis yang memadai.

Fakta Nyata dari Bangka Belitung

Dampak buruk tambang timah di Bangka Belitung bukan sekadar asumsi. Data resmi menunjukkan betapa seriusnya situasi:

- Sejak 2019 hingga 2023, 81 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang, baik di tambang legal maupun ilegal (Walhi, 2023).
- Laporan ahli lingkungan dari IPB memperkirakan kerugian ekologis akibat praktik tambang ilegal sejak 2015–2022 mencapai Rp271 triliun.
- Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada 6 April 2022 menyebut bahwa PT Timah menguasai sekitar 89 persen izin usaha pertambangan (IUP) timah di Bangka Belitung. Konsentrasi penguasaan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan distribusi manfaat bagi masyarakat lokal.

Kenyataan di lapangan juga memperlihatkan bahwa lubang tambang yang menganga tidak hanya merusak estetika lanskap, tetapi juga menjadi kubangan maut. Media lokal Bangka Belitung beberapa kali memberitakan anak-anak yang tenggelam di bekas tambang. Nelayan pun mengeluh hasil tangkapannya turun drastis akibat keruhnya perairan dan hancurnya ekosistem laut.

Jika ditinjau dari perspektif hukum lingkungan, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas menekankan asas keberlanjutan, partisipasi masyarakat, dan keadilan antargenerasi. Setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 65). Artinya, ketika tambang timah merusak laut dan udara di Bangka Belitung, sesungguhnya telah terjadi pelanggaran terhadap hak konstitusional warga.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik (Pasal 9 ayat 3). Maka, ketika masyarakat dikriminalisasi karena menolak tambang yang merusak, itu bukan hanya problem hukum pertambangan, tetapi juga problem pelanggaran HAM.

Menuju Pertambangan yang Berkeadilan

Dalam kondisi seperti ini, ada beberapa langkah solutif yang seharusnya ditempuh:

1. Revisi Pasal 162 UU Minerba. Pasal ini perlu diperjelas agar tidak menjadi alat kriminalisasi terhadap masyarakat. Hak menyatakan pendapat dan memperjuangkan lingkungan harus tetap dijamin.
2. Kembalikan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. Pemda yang paling dekat dengan warga harus diberi ruang untuk menindak perusahaan nakal. Sentralisasi absolut terbukti tidak efektif.
3. Tegakkan reklamasi pasca-tambang secara ketat. Perpanjangan izin seharusnya hanya diberikan setelah perusahaan benar-benar menunaikan kewajiban pemulihan lingkungan.
4. Perluas akses Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Banyak masyarakat Bangka Belitung yang menggantungkan hidup pada tambang skala kecil. Daripada terus dianggap ilegal, lebih baik negara memberi jalan legal dengan aturan ramah lingkungan.

Pertambangan timah di Bangka Belitung adalah ironi besar, tanah kaya, rakyat merana. Hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru sering tampil sebagai alat legitimasi eksploitasi. Revisi UU Minerba dan penegakan hukum lingkungan menjadi kebutuhan mendesak.

Jika pemerintah serius menjadikan pertambangan sebagai penopang ekonomi nasional, maka keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial harus ditempatkan di depan. Jangan sampai timah yang telah memberi cahaya dunia, justru meninggalkan kegelapan abadi bagi masyarakat Bangka Belitung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun