KALIBENING, LAMPUNG TIMUR – Desa Kalibening, yang terletak di Lampung Timur, lama terjebak dalam siklus pertanian yang memprihatinkan. Pola tanam padi dan jagung yang monoton tanpa rotasi tidak hanya menguras kesuburan tanah tetapi juga membuat petani bergantung pada pupuk dan pestisida kimia. Biaya produksi yang membengkak berbanding terbalik dengan harga jual yang dikuasai tengkulak, membuat pendapatan petani, khususnya kaum perempuan, stagnan di level rendah.
Namun, wajah desa itu kini mulai berubah. Sebuah inisiatif bernama Agroeduwisata Melon Organik Kalibening (Agromelka) yang digagas oleh Universitas Muhammadiyah Metro (UM Metro), berhasil mengubah lahan tidur dan pola pikir petani menjadi lahan penghasil melon organik premium bernilai jual tinggi.
Memutus Siklus Kemiskinan dari Akar
Data Desa Kalibening mencatat, dari 742 kepala keluarga (KK), sebanyak 234 KK tergolong dalam kategori keluarga miskin. Sebanyak 51% penduduk bekerja sebagai petani dan buruh tani, sementara 49% populasi adalah perempuan yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh tani dengan upah harian yang tidak menentu, hanya antara Rp 50.000 hingga Rp 80.000 pada musim tanam.
“Masalahnya kompleks. Pola tanam monoton merusak tanah. Ketergantungan pada bahan kimia sintetis mendongkrak biaya. Yang paling menyakitkan, hasil panen hanya bisa dijual ke tengkulak dengan harga sangat rendah. Petani kehilangan daya tawar,” jelas Dr. Hening Widowati, M.Si., ketua tim pengabdi dari UM Metro, menggambarkan kondisi awal.
Melalui program pengabdian masyarakat, tim yang terdiri dari dosen dan mahasiswa ini fokus memberdayakan Kelompok Wanita Tani (KWT) setempat. Pilihan pada perempuan bukan tanpa alasan. Mereka adalah tulang punggung keluarga yang memiliki potensi besar namun belum tersentuh pelatihan yang memadai.
Inovasi Teknologi dan Kearifan Lokal
Solusi yang ditawarkan Agromelka bersifat holistik, dimulai dari hulu ke hilir. Di hulu, petani diajak beralih ke pertanian organik dengan memanfaatkan pupuk organik cair terpatenkan bernama Pumakkal, temuan tim UM Metro sendiri.
“Dengan Pumakkal, yang bahannya dari limbah pertanian dan ternak setempat, petani bisa membuat pupuk sendiri. Ini menghemat biaya produksi untuk pupuk hingga 50%. Yang penting, tanah menjadi sehat kembali dan hasil panen bebas residu kimia,” terang Dr. Agus Sutanto, M.Si., ahli mikrobiologi tim pengabdi yang mematenkan pupuk tersebut.