Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resolusi Suci Ayu Latifah "Ketika Aku Ingin..."

23 Juli 2019   21:20 Diperbarui: 23 Juli 2019   21:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mangakane to sinau. Lak awan dolanan gambar wae (karena itu belajar. Kalau siang jangan bermain gambar terus)," kata Ayah waktu itu.

Tahu Ayah marah, aku berlari meminta bantuan kepada Ibuku. Kucari Ibu saat memasak di dapur. Ibu memelukku, ia tahu aku ketakutan karena tangisan ini. Sebenarnya Ayahku tidak galak. Ayahku penyabar dan sayang pada anak-anaknya, termasuk aku. Hanya saja, ayah marah memang aku sulit diajari. Apalah, tak tahu kenapa sulit belajar, berbeda dengan adikku lebih mudah menyerap ilmu baru.

Selain masalah belajar, Ayah juga pernah marah padaku. Seperti pengalamanku kala itu. Di suatu sore, lupa aku usia berapa yang jelas belum sekolah. Ayah memanggilku keras supaya pulang. Panggilan itu adalah teriakan ayah ke empat kalinya. Saat itu aku sedang asyik bermain di rumah Widhiya. Karena begitu asyiknya, lupa waktu salat dan mandi. Itulah salah satu kesalahan yang memang aku buat sendiri. Selain itu, masih banyak kejadian yang membuat jengkel Ayah, paling banyak adalah semasa belum sekolah dan masa sekolah dasar. Aku memang anak bandel.

Dulu, pertama kali mengenal dunia aku lahir di desa Pangkal, tanah kelahiran Ayah. Kemudian, pindah ke desa Sawoo, tanah kelahiran Ibu lantaran adik dari Ayah bernama Lik Sumarni begitu tidak menyukai Ibu. Lik Sumarni saat itu bekerja di sebuah pabrik di Kota Blitar. Ia pulang sebulan atau beberapa minggu sekali. Nah, setiap kali bertemu dengan Ibu, ia memasang wajah tak suka. Sering juga, apa yang dilakukan Ibu di matanya salah. Termasuk masalah masakan.

Kemarahan Lik Sumarni yang paling aku ingat adalah ketika keluarga besar ayah sedang makan malam. Bertema lesehan dengan membuka alas tikar atau kloso (dalam bahasa Jawa), kami makan ramai-ramai. Makanan sudah terhidang di ruang tengah (jogan), aku membantu Ibu menyiapkan piring dan sendok. Sementara Ibu, menuangkan air putih dimasing-masing gelas.

Tiba-tiba, pyuurr...

Nasi, lauk, dan sayur yang disiapkan Ibu untuk Nenek dibuang di lantai tanah oleh Lik Sumarni. Ia marah besar kepada Ibu. Hanya diam yang dilakukan Ibu, karena Ibu akan memberontak apabila memang yang dilakukan salah. Sejauh ingatanku, Ibu lebih banyak diam tatkala menghadapi Bulik.

"Piring ada. Orang tua makan kok dikasih alas daun," Demikian itu kata-kata yang aku ingat dari mulut ketaksukaan adik Ayah pada Ibu.

Nenek memang beda di antara kami. Beliau lebih suka makan beralas daun daripada menggunakan piring. Kata Nenek, makanan akan lebih enak dan segar karena dari daun itu muncul aroma yang berbeda. Sayang, kesukaan nenek belum dipahami anak ketiganya. Sehingga ketika Ibu melayani Nenek menggunakan alas daun, anak perempuan satu-satunya itu marah besar. Aku sebagai anak yang berumur waktu itu diam saja. Aku melihat mata Bulik melotot. Sementara Ibu, diam sembari ngorek-ngorek sambal bawang.

Ayah tidak ada di tempat. Memang kebiasaan Ayah, menghabiskan waktu ngobrol atau sekadar diskusi dengan temannya di masjid sembari menunggu adzan Isya'. Sejak muda, Ayah demikian itu. Bahkan, dari cerita Ayah pernah tidak pulang karena waktu muda, diberi amanah untuk adzan Subuh. Kendala jarak rumah ke masjid lumayan jauh, Ayah sering semalaman tidur di masjid.

Karena ketaksukaan itulah, akhirnya kami pindah ke Sawoo, ikut bersama keluarga Ibu. Waktu itu, kami belum ada niatan untuk membuat rumah sendiri, karena Ayah masih mengumpulkan uang untuk membeli batu bata. Aku senang-senang saja di Sawoo atau di Pangkal. Terpenting di tempat baru aku mendapatkan teman yang baik. Keluarga Ibu senang melihat kedatanganku. Maklum, karena serumah dengan cucunya. Sebelum aku dilahirkan, nenek memiliki dua cucu dari anak pertamanya bernama Bibit. Setelah menikah dengan Warno, Budhe melahirkan dua anak laki-laki dan perempuan. Anak pertama adalah laki-laki dan diberi nama Eko. Sementara anak kedua perempuan diberi nama Anisa Wulandari. Keluarga kecil itu menetap atau tinggal di desa Sawoo, tepatnya selatan pasar Sawoo.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun