Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resolusi Suci Ayu Latifah "Ketika Aku Ingin..."

23 Juli 2019   21:20 Diperbarui: 23 Juli 2019   21:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebaran adalah momen kebersamaan kami. Akan tetapi, pernah di suatu lebaran, saat adikku kelas 5 pondok, tidak bisa pulang. Bahasanya, santri kelas 5 harus mukim di Pondok. Boleh pulang tetapi ketika pas salat Idul Fitri, setelah itu harus di Pondok. Karena begitu kangen ingin bertemu adik, bersama Ibu dan tetanggaku, Mbak Mega, kami menjenguk adik saat malam takbir. Ayah kebetulan tidak ikut karena kendaraan yang ditumpangi tidak muat. Itulah tahun lebaran yang paling menyedihkan bagiku. Dari situ aku belajar. Terkadang manusia itu aneh.

Jauh rindu, dekat bertengkar.

Barangkali itulah yang aku rasakan semenjak adik masuk Pondok. Aku dan adik memang tidak selalu akur. Selalu ada saja yang membuat kami bertengkar. Tapi sejujurnya, pertengkaran itu menimbulkan rindu di saat kami tidak bertemu. Rindu bertengkar, rindu berpadu mulut, rindu rebutan makanan, dan rindu rindu lainnya. Begitupula yang dirasakan adik, sering ketika adik berkesempatan meminjam Hp oleh orang tua yang menjenguk dari salah satu temannya, adik meneleponku. Ia mengabari keadaan dirinya dan bermacam tetek bengek kegiatan pondoknya.

Di akhir telepon, adik selalu berkata, "Kapan Mbak menjenguk?" Aku tahu, itu adalah kata yang tersisa di puncak kerinduan Adik. Aku tahu adik juga merindukanku, tapi setiap kali kucoba bercanda, "Kangen ya?" ia selalu mengelak. Tapi sebenarnya aku tahu apa maksud adik menanyakan itu padaku.

Bukan memasalahkan jalan kehidupan. Kami telah memilih. Karenanya, keluarga kami siap risiko, bila kangen, bila rindu, bila ingin ketemu sementara ditahan dulu---puasa. Sebab, aku yakin, lewat doa yang kami panjatkan setiap melaksanakan salat akan sampai pada ibu, ayah, dan adikku. Namun, apalah daya manusia. Rindu dan kangen terkadang membuat badan sakit karena tertahan ingin bertemu.

***

Aku adalah anak desa. Tinggal di pelosok. Tepatnya di Dukuh Pangkal, Desa Pangkal Krajan, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo. Salah satu kota kecil di provinsi Jawa Timur. Kalau ditanya jalan apa, kata Ibu jalan masuk menuju rumah kami, dulu dikenal dengan Jalan Lombok. Tak mengerti, apa maksud pemberitan nama jalan tersebut. Jelasnya kata Ibu begitu. Dari informasi Nenek, jalan itu dibentuk semasa penjajahan Belanda. Jalan masuk kecil di KM26 itu diberi nama bumbu masakan. Betapa lucunya ya. Ada jalan lada, kunir, pala, dan seabrek nama dari bumbu dan rempah masakan.

 Tempat tinggalku jauh dari pusat perkotaan, sekitar 40 kilometer. Meski begitu, rasa syukur masih terpanjatkan karena berada dilokasi strategis---mudah dicari, dekat dengan jalan. Tepat berada di sebelah kiri jalur utama Ponorogo-Trenggalek. Kata Ayah, di manapun kita berada di situlah Allah menyimpan seribu cerita. Aku menikmati hidupku, ya senikmat-nikmatnya.

Terlahir di keluarga sederhana. 21 Agustus 1996 adalah awal merasakan hawa segarnya udara di bumi. Ketika terlahir, tetangga desa seberang sungai, atau biasa kami menyebutnya etan kali sedang menggelar temu mante. Pernikahan itu adalah lingkup dari keluargaku. Tepatnya, yang menikah adalah anak lelaki dari adiknya Ibu Ayah. 

Ibu melahirkanku didampingi Ayah. Bahagia dan haru, sesuai harapan keluarga anak terlahir pertama adalah perempuan. Keluarga dari Ayah menginginkan cucu perempuan. Sebab, cucunya yang pertama dari adik Ayah adalah laki-laki. Cucu yang lahir pada tahun 1994, bulan Juni tanggal 12 itu bernama Moh. Aziz Nurkonzim. Nama yang bagus seperti nama tokoh besar dan nama dari 99 sifat dari Allah.

Di balik kebahagiann Ayah, tak disangka, aku terlahir terlilit usus dua gulung. Kalau dalam bahasa Jawa dikenal kalung usus. Panik. Ayah meminta tolong. Aku menangis hebat. Untung saja, usus yang melingkari leher segera dipotong menggunakan gunting. Mak Megalah yang membantu melepaskan tali usus itu. Kemudian, Ayah mencuci tali pusarku dengan bersih. Sementara, Mak Mega membantu merilekskan Ibu setelah berjuang menaruhkan nyawa ketika melahirkanku dengan berat badan 2,8 kilo.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun