Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resolusi Suci Ayu Latifah "Ketika Aku Ingin..."

23 Juli 2019   21:20 Diperbarui: 23 Juli 2019   21:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata Mario Teguh, orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan. Aku ingin menjadi pemilik masa depan. Sebab ingin mengetahui seluk-beluk dunia dengan terus belajar.

Dari belajar, ilmu akan membukakan pintu pengetahuan, membentangkan cakrawala, memperdalam wawasan. Siap telanjangi dunia--menjadi manusia yang baik dan benar. Dunia akan mengajarkanku bagaimana hidup bisa berbagi dan saling menghormati, mengerti, dan memahami. Seperti tokoh perempuan idolaku, Ra Kartini.

Tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan, selain membuat senyum wajah orang lain. Terlebih mereka yang kita cintai. 

Aku mencintai kedua orang tuaku. Aku mencintai saudaraku. Aku juga mencintai teman-temanku. Dan, aku mencintai seseorang kelak yang telah dipercaya Ayah-Ibu untuk menjagaku.

Aku ingin belajar dari sosok idola. Mengidolakan dari sosok Kartini, bermula dari cerita nenek semasa kecil. Cerdas, mandiri, optimis, berani, dan inspiratif. Kartini adalah perempuan yang dikenal dengan gerakan emansipasi wanita. Ia menginginkan kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. RA Kartini berjuang agar wanita tidak ditindas dan bisa sejajar dengan pria lewat sebuah perjuangannya yang menyuarakan kebenaran.

Nenek adalah seorang pendongeng ulung. Meskipun, nenek tidak berpendidikan (sekolah) Nenek pandai sekali mendongengiku sebelum tidur. Setiap malam, Nenek mendongeiku. Seperti dongeng Kancil Mencuri Timun. Sebenarnya Kancil itu tidak nakal. Hanya saja Kancil tahu kalau petani yang menanam timun itu pelit. Ia tidak mau berbagi rejeki pada orang lain. Padahal, Allah telah memberikan kemurahan padanya dengan hasil panen yang baik. Karena itulah, Kancil mencuri timun petani supaya hasil panen timunnya berkurang.

Salam berbagi!

Perkenalkan namaku Suci Ayu Latifah. Terlahir dari kedua orang tua bernama Slamet Riyadi (dalam KTP) Mamik Eko Purnomo (dalam ijazah P4) dan Katinem. Kedua orang tuaku menikah pada tahun 1995. Ayah berasal dari Desa Pangkal, sedangkan Ibu dari Desa Sawoo. Pernikahan kedua orang tua, lantaran perjodohan yang dilakukan oleh guru mengaji Ibu. Beliau bernama Sugeng. Kebetulan pula, lelaki itu adalah teman di ladang nenek. Jadi, jelas tahu kalau ada pemuda jomblo yang belum menikah, sementara sudah mendapat jatah menikah.

Pak Sugeng mengenalkan Bapak pada Ibu. Setelah pertemuan pertama di rumah Ibu, Ayahku bekerja di Jakarta selama satu tahun. Ibu menunggu. Katanya, dalam doa dan salat istikorohnya selalu muncul wajah Ayah. Karenanya, Ibu menunggu Ayah sampai pulang, meski status keduanya belum jelas. Menjadi anak seorang janda, bukanlah alasan untuk tidak menikah dengan Ibu.

Aku memiliki saudara perempuan bernama Ambar Feny Afifah. Nama kami hampir sama. Kedua nama itu yang membuat Ayah. Harapan ayah, kelak kedua putrinya menjadi perempuan yang santun dan lemah lembut, sesuai namanya. Sementara Ibu, berharap kedua putrinya kelak menjadi orang yang bersih---suci dalam hati dan perbuatan dan luas ilmunya---dalam kata "Ambar" bahasa Jawa berarti wangi. Seperti dalam lagu Ibu Kita Kartini ciptaan WR Supratman:

Ibu kita Kartini

Putri sejati

Putri Indonesia

Harum namanya

 

Sebagai seorang anak yang ingin berbakti dan mewujudkan harapan kedua orang tua kami memasrahkan diri kepada Allah segala daya dan upaya. Kami tidak menyerah dalam hidup. kami terus belajar dan belajar karena ingin menjadi pemilik masa depan.

Saat ini, aku sedang duduk di bangku kuliah semester akhir. Berada di salah satu kampus swasta STKIP PGRI Ponorogo. Aku memantaskan diri menemukan jati diri---mengerjar cita-cita yang entah ingin jadi. Terakhir aku ingin menjadi seorang wartawan, setelah aku juga ingin menjadi penyanyi saat kecil, guru saat sekolah dasar, penyiar dan penulis saat sekolah menengah atas, dan wartawan saat kuliah.

 Tahun 2015 awal masuk kuliah, di antar oleh seorang guru, sekaligus  Ibu di sekolahan menengah atas. Bu Edy namanya. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia adalah jurusan pilihan dari ke empat jurusan lain. Aku suka bahasa Indonesia. Karena: (1) mata pelajaran yang banyak cerita, (2) tidak ada hitung-hitungan, (3) sekian pelajaran yang mendapat nilai bagus setelah PAI dan PPkn, (4) guru bahasa Indonesia saat SMP sangat menyenangkan, (5) ingin belajar tentang menulis lebih dalam, dan (6) ingin menjadi pendongeng seperti nenek.

Sementara adikku Ambar, sekarang menjadi mahasiswa semester 2. Usai sekolah pondok 4 tahun, ia memutuskan kuliah di Universitas Surabaya lewat jalur SBMPTN Bidikmisi. Beruntunglah adikku. Dulu aku juga ingin sekolah di Surabaya. Sayangnya lewat jalur beasiswa etos gagal di adminitrasi, bidikmisi tidak beruntung. Niat mau lanjut di SBM kandas di jalan, karena waktu itu tidak diperbolehkan oleh Ayah. Meski begitu, tidak papa. Bagiku terpenting sekarang aku masih belajar. Belajar bisa di mana saja. Tidak harus di kota besar, kalau saja orang yang belajar tidak memiliki niat yang besar pula

"Kok bisa?"

Mungkin itu kata pertama yang seringkali orang lontarkan begitu mengetahui tentang keluargaku. Dalam Kartu Keluarga (KK), sejak tahun 2015, hanya tertera ada empat orang tertulis. Yaitu Slamet Riyadi, Katinem, Suci Ayu Latifah, dan Ambar Feny Afifah. Kami berempat adalah sebuah keluarga kecil. Yang  aku ingat tentang pengertian keluarga dari belajarku semasa sekolah dasar, bahwa keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas kepala rumah dan beberapa orang yang terkumpul, dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga kecil terdiri dari orang tua dan anak. Sedangkan keluarga besar ditambah dengan nenek atau kakek.

Rasa-rasanya, keluarga kami terlepas dari istilah keluarga dalam buku yang kupelajari itu. Benar, kami adalah satu keluarga. Terbukti dengan adanya Kartu Keluarga yang tertera tahun 2015. Tapi siapa nyana, kami tinggal sendiri-sendiri---tidak satu atap. Ayah tinggal di rumah Desa Pangkal. Ibu  di Malang. Aku di Ponorogo kota. Sedangkan adik, sekarang di Surabaya. Setiap hari kami berjumpa hanya lewat suara. Bila rindu, kami saling bercakap-cakap ditelepon. Jarang sekali kami berkumpul lengkap. Kalaupun berkumpul, kadang tidak lengkap---pasti ada saja kurang satu, entah itu aku atau ibu atau adik.

Lebaran adalah momen kebersamaan kami. Akan tetapi, pernah di suatu lebaran, saat adikku kelas 5 pondok, tidak bisa pulang. Bahasanya, santri kelas 5 harus mukim di Pondok. Boleh pulang tetapi ketika pas salat Idul Fitri, setelah itu harus di Pondok. Karena begitu kangen ingin bertemu adik, bersama Ibu dan tetanggaku, Mbak Mega, kami menjenguk adik saat malam takbir. Ayah kebetulan tidak ikut karena kendaraan yang ditumpangi tidak muat. Itulah tahun lebaran yang paling menyedihkan bagiku. Dari situ aku belajar. Terkadang manusia itu aneh.

Jauh rindu, dekat bertengkar.

Barangkali itulah yang aku rasakan semenjak adik masuk Pondok. Aku dan adik memang tidak selalu akur. Selalu ada saja yang membuat kami bertengkar. Tapi sejujurnya, pertengkaran itu menimbulkan rindu di saat kami tidak bertemu. Rindu bertengkar, rindu berpadu mulut, rindu rebutan makanan, dan rindu rindu lainnya. Begitupula yang dirasakan adik, sering ketika adik berkesempatan meminjam Hp oleh orang tua yang menjenguk dari salah satu temannya, adik meneleponku. Ia mengabari keadaan dirinya dan bermacam tetek bengek kegiatan pondoknya.

Di akhir telepon, adik selalu berkata, "Kapan Mbak menjenguk?" Aku tahu, itu adalah kata yang tersisa di puncak kerinduan Adik. Aku tahu adik juga merindukanku, tapi setiap kali kucoba bercanda, "Kangen ya?" ia selalu mengelak. Tapi sebenarnya aku tahu apa maksud adik menanyakan itu padaku.

Bukan memasalahkan jalan kehidupan. Kami telah memilih. Karenanya, keluarga kami siap risiko, bila kangen, bila rindu, bila ingin ketemu sementara ditahan dulu---puasa. Sebab, aku yakin, lewat doa yang kami panjatkan setiap melaksanakan salat akan sampai pada ibu, ayah, dan adikku. Namun, apalah daya manusia. Rindu dan kangen terkadang membuat badan sakit karena tertahan ingin bertemu.

***

Aku adalah anak desa. Tinggal di pelosok. Tepatnya di Dukuh Pangkal, Desa Pangkal Krajan, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo. Salah satu kota kecil di provinsi Jawa Timur. Kalau ditanya jalan apa, kata Ibu jalan masuk menuju rumah kami, dulu dikenal dengan Jalan Lombok. Tak mengerti, apa maksud pemberitan nama jalan tersebut. Jelasnya kata Ibu begitu. Dari informasi Nenek, jalan itu dibentuk semasa penjajahan Belanda. Jalan masuk kecil di KM26 itu diberi nama bumbu masakan. Betapa lucunya ya. Ada jalan lada, kunir, pala, dan seabrek nama dari bumbu dan rempah masakan.

 Tempat tinggalku jauh dari pusat perkotaan, sekitar 40 kilometer. Meski begitu, rasa syukur masih terpanjatkan karena berada dilokasi strategis---mudah dicari, dekat dengan jalan. Tepat berada di sebelah kiri jalur utama Ponorogo-Trenggalek. Kata Ayah, di manapun kita berada di situlah Allah menyimpan seribu cerita. Aku menikmati hidupku, ya senikmat-nikmatnya.

Terlahir di keluarga sederhana. 21 Agustus 1996 adalah awal merasakan hawa segarnya udara di bumi. Ketika terlahir, tetangga desa seberang sungai, atau biasa kami menyebutnya etan kali sedang menggelar temu mante. Pernikahan itu adalah lingkup dari keluargaku. Tepatnya, yang menikah adalah anak lelaki dari adiknya Ibu Ayah. 

Ibu melahirkanku didampingi Ayah. Bahagia dan haru, sesuai harapan keluarga anak terlahir pertama adalah perempuan. Keluarga dari Ayah menginginkan cucu perempuan. Sebab, cucunya yang pertama dari adik Ayah adalah laki-laki. Cucu yang lahir pada tahun 1994, bulan Juni tanggal 12 itu bernama Moh. Aziz Nurkonzim. Nama yang bagus seperti nama tokoh besar dan nama dari 99 sifat dari Allah.

Di balik kebahagiann Ayah, tak disangka, aku terlahir terlilit usus dua gulung. Kalau dalam bahasa Jawa dikenal kalung usus. Panik. Ayah meminta tolong. Aku menangis hebat. Untung saja, usus yang melingkari leher segera dipotong menggunakan gunting. Mak Megalah yang membantu melepaskan tali usus itu. Kemudian, Ayah mencuci tali pusarku dengan bersih. Sementara, Mak Mega membantu merilekskan Ibu setelah berjuang menaruhkan nyawa ketika melahirkanku dengan berat badan 2,8 kilo.

Mitos bayi kalung usus kata orang Jawa, kelak akan memiliki postur tubuh yang bagus. Sehingga selalu pantas saat mengenakan kostum apa saja. Selain itu, katanya bayi kalung usus misal perempuan memiliki wajah yang cantik dan mudah mendapatkan pasangan. Serta, kelak akan mendapatkan keberuntungan hidup. Entahlah, aku tidak menolak ramalan Jawa itu, juga tidak menerima mentah-mentah begitu saja.

Sementara itu, kata orang tertua di desa, aku lahir pada hari Rabu weton pon. Menurut Primbon Jawa, hari Rabu terhitung neptu 7, sedangkan Pon memiliki nilai neptu 7. Jadi jika ditambah Rabu Pon memiliki nilai neptu 14. Watak yang dimiliki anak kelahiran Rabu Pon adalah lakuning rembulan (seperti rembulan). Artinya, memiliki jiwa sosial tinggi, pandai menentramkan hati, suka bekerja, dan memiliki selera yang tinggi.

Aku rasa, ada benarnya ramalan Primbon Jawa tersebut. Bukan bermaksud sombong, aku suka sekali membantu dan menolong kegalauan, kesulitan, dan kegelisahan orang lain. Sebagaimana yang dekat pada saat ini, sering aku memotivasi dan membantu teman supaya berkarya. Aku sering mengompori semangatnya dengan beberapa tulisanku yang pernah termuat di media, juga tulisan inspiratif orang lain yang juga terpublish media massa. Senang rasanya, semisal karya tulisan teman bisa termuat di media. Nah, pada saat itu, aku merasa telah berhasil membagi dan menularkan ilmu yang kumiliki.

Jangan takut membagikan ilmu. Semakin ilmu banyak orang tahu dan menggunakan. Semakin kekal kehidupan ilmu itu sendiri. Karena berbagi ilmu tidak akan habis, justru semakin bertambah.

 Sayang. Di balik semua itu ada beberapa orang yang iri dan cemburu padaku. Bahkan, ada pula orang yang mengatakan pelit ilmu, ingin sukses-sukses sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain. Jujur, aku mengaku memang di luar mampuku bila harus berbagi pada semua orang. Apalagi, ketika tiba-tiba ada rasa malas begitu mereka yang aku beri semangat berkarya tidak serius belajar.

Bukan karena apa, tapi diri ini ingin bersama orang-orang yang benar-benar serius ingin belajar, dan memupuk potensi mereka. Sudahlah, aku tidak ingin berpikir tentang hal-hal negatif mereka tentangku. Lumprah. Sudah sifat manusia menilai orang lain, dan setiap orang penilaian terhadap sesuatu itu selalu berbeda-beda. Kalau sama ya tidak varian, candaku menghibur diri.

Semakin awal kau memulai pekerjaan. Semakin awal pula kau akan melihat hasilnya.

 Sebuah anonim menarik untuk direnungkan. Aku merasa, menekuni dunia tulis baru istiqomah semenjak masuk kuliah. Sebenarnya, sudah lama aku suka dunia tulis. Hanya saja waktu itu lebih pada puisi-puisi curhatan bersifat ekspresif, saat duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dan, sebuah cerita inspiratif kecil yang setiap dua minggu sekali aku pasang di mading sekolah saat sekolah menengah atas. Aku sadarkan diri akan fokus di dunia menulis mulai detik ini, sehingga apa hasil pemikiran dan gagasan tulisan dapat terlihat dengan cepat---melalui tanggapan dan komentar pembaca lain.

Kalau saja mengingat masa kecil, aku tak percaya bisa lancar membaca dan liar dalam  menulis, seperti aku menuliskan cerita hidup---resolusi diri ini. Aku ingat betul, entah diusia berapa aku lupa, yang jelas belum masuk TK. Ayah membelikanku papan kecil yang bisa untuk menulis dan menggambar. Papan yang dibelikan ayah saat di pasar itu berwarna kuning, warna kesukaanku. Setiap sore hari, sambil menunggu kumandang adzan maqrib, ayah mengajariku menulis di papan itu.

Di bawah rindangnya pohon mangga sore hari. Di tambah ramai suara teman-teman bermain sepeda, ayah mengajari menulis. Tulisan pertama yang dikenalkan adalah namaku. Ayah menuliskan lebih dulu namaku lengkap. Kemudian, ayah memintaku menirukan tulisan tersebut  di bawah tulisan. Sulit sekali aku menirukan tulisan nama lengkapku. Hingga, harus dibantu dengan tulisan putus-putus. Begitu sabar Ayah mendampingi belajar menulis.

Ketika ayah berhalangan, aku belajar menulis sendiri, kadang pula aku menggambar. Gambar pertama yang kubisa adalah menggambar bebek. Itupun yang mengajarkan Ayah. Di awali membuat tulisan angka 3 lalu ditarik ke belakang membuat ekor bebek, perut bebek, kemudian dilanjutkan leher dan kepala bebek. Suatu hari, karena aku merasa menggambar lebih asyik dan seru daripada belajar menulis, seharian kuhabiskan waktu untuk menggambar. Hingga di suatu sore ayah memarahiku karena tidak cepat bisa menulis.

"Mangakane to sinau. Lak awan dolanan gambar wae (karena itu belajar. Kalau siang jangan bermain gambar terus)," kata Ayah waktu itu.

Tahu Ayah marah, aku berlari meminta bantuan kepada Ibuku. Kucari Ibu saat memasak di dapur. Ibu memelukku, ia tahu aku ketakutan karena tangisan ini. Sebenarnya Ayahku tidak galak. Ayahku penyabar dan sayang pada anak-anaknya, termasuk aku. Hanya saja, ayah marah memang aku sulit diajari. Apalah, tak tahu kenapa sulit belajar, berbeda dengan adikku lebih mudah menyerap ilmu baru.

Selain masalah belajar, Ayah juga pernah marah padaku. Seperti pengalamanku kala itu. Di suatu sore, lupa aku usia berapa yang jelas belum sekolah. Ayah memanggilku keras supaya pulang. Panggilan itu adalah teriakan ayah ke empat kalinya. Saat itu aku sedang asyik bermain di rumah Widhiya. Karena begitu asyiknya, lupa waktu salat dan mandi. Itulah salah satu kesalahan yang memang aku buat sendiri. Selain itu, masih banyak kejadian yang membuat jengkel Ayah, paling banyak adalah semasa belum sekolah dan masa sekolah dasar. Aku memang anak bandel.

Dulu, pertama kali mengenal dunia aku lahir di desa Pangkal, tanah kelahiran Ayah. Kemudian, pindah ke desa Sawoo, tanah kelahiran Ibu lantaran adik dari Ayah bernama Lik Sumarni begitu tidak menyukai Ibu. Lik Sumarni saat itu bekerja di sebuah pabrik di Kota Blitar. Ia pulang sebulan atau beberapa minggu sekali. Nah, setiap kali bertemu dengan Ibu, ia memasang wajah tak suka. Sering juga, apa yang dilakukan Ibu di matanya salah. Termasuk masalah masakan.

Kemarahan Lik Sumarni yang paling aku ingat adalah ketika keluarga besar ayah sedang makan malam. Bertema lesehan dengan membuka alas tikar atau kloso (dalam bahasa Jawa), kami makan ramai-ramai. Makanan sudah terhidang di ruang tengah (jogan), aku membantu Ibu menyiapkan piring dan sendok. Sementara Ibu, menuangkan air putih dimasing-masing gelas.

Tiba-tiba, pyuurr...

Nasi, lauk, dan sayur yang disiapkan Ibu untuk Nenek dibuang di lantai tanah oleh Lik Sumarni. Ia marah besar kepada Ibu. Hanya diam yang dilakukan Ibu, karena Ibu akan memberontak apabila memang yang dilakukan salah. Sejauh ingatanku, Ibu lebih banyak diam tatkala menghadapi Bulik.

"Piring ada. Orang tua makan kok dikasih alas daun," Demikian itu kata-kata yang aku ingat dari mulut ketaksukaan adik Ayah pada Ibu.

Nenek memang beda di antara kami. Beliau lebih suka makan beralas daun daripada menggunakan piring. Kata Nenek, makanan akan lebih enak dan segar karena dari daun itu muncul aroma yang berbeda. Sayang, kesukaan nenek belum dipahami anak ketiganya. Sehingga ketika Ibu melayani Nenek menggunakan alas daun, anak perempuan satu-satunya itu marah besar. Aku sebagai anak yang berumur waktu itu diam saja. Aku melihat mata Bulik melotot. Sementara Ibu, diam sembari ngorek-ngorek sambal bawang.

Ayah tidak ada di tempat. Memang kebiasaan Ayah, menghabiskan waktu ngobrol atau sekadar diskusi dengan temannya di masjid sembari menunggu adzan Isya'. Sejak muda, Ayah demikian itu. Bahkan, dari cerita Ayah pernah tidak pulang karena waktu muda, diberi amanah untuk adzan Subuh. Kendala jarak rumah ke masjid lumayan jauh, Ayah sering semalaman tidur di masjid.

Karena ketaksukaan itulah, akhirnya kami pindah ke Sawoo, ikut bersama keluarga Ibu. Waktu itu, kami belum ada niatan untuk membuat rumah sendiri, karena Ayah masih mengumpulkan uang untuk membeli batu bata. Aku senang-senang saja di Sawoo atau di Pangkal. Terpenting di tempat baru aku mendapatkan teman yang baik. Keluarga Ibu senang melihat kedatanganku. Maklum, karena serumah dengan cucunya. Sebelum aku dilahirkan, nenek memiliki dua cucu dari anak pertamanya bernama Bibit. Setelah menikah dengan Warno, Budhe melahirkan dua anak laki-laki dan perempuan. Anak pertama adalah laki-laki dan diberi nama Eko. Sementara anak kedua perempuan diberi nama Anisa Wulandari. Keluarga kecil itu menetap atau tinggal di desa Sawoo, tepatnya selatan pasar Sawoo.

Sebelumnya, saudara dari Ibu ada lima. Ibu adalah anak kedua. Anak pertama bernama Bibit. Ketiga bernama Tumi, sementara anak keempat dan kelima adalah laki-laki, dan diberi nama Mujiono dan Tubari. Kedatanganku di Sawoo, baru sehari, pada sorenya ada beberapa anak  tetangga bermain kelereng di depan rumah. Ada putra dan putri. Kata Nenek, sudah biasa anak-anak itu bermain karena halaman Nenek cukup luas. Anak putra biasanya bermain bola dan kelereng. Sedangkan anak putri bermain rumah-rumahan atau masak-masakan.

Berasa asing di tempat baru memang iya. Secara perlahan aku mulai akrab dengan mereka. Ibulah yang memintaku supaya bergabung bermain dengan mereka. Karena kelak akan menjadi teman sekolah. Anggri, Anisa, Nungki, Ambar, Dani, dan Binda adalah teman masa kecilku. Anggri dan Binda teman sebaya. Sedangkan Anisa, Ambar, Dani lebih tua dariku. Kalau diurut dari yang tertua adalah Ambar, Anisa, Nungki, dan Dani. Di antara mereka, diri ini merasa paling kecil. Meskipun masih ada Anggri dan Binda, tetapi bila diliat dari fisik, ya kecil sendiri.

Oh ya, aku hampir lupa. Masih ada satu teman laki-laki yang belum tersebutkan. Dia adalah teman yang sering mengajakku membuat patung menggunakan tanah liat. Dia adalah Arif. Arif, usianya tidak terlalu jauh dariku. Dia terpaut beberapa bulan lebih muda dariku. Setiap kali seluruh anggota keluarga pergi ke sawah, Ibu menitipkanku pada keluarga Arif. Tak lupa Ibu, selalu memintaku minum susu sebelum bermain. Botol kecil berbentuk boneka kesukaanku, diberi susu indomilk rasa vanila. Rasa yang paling aku sukai dibandingkan rasa coklat.

Sebelum itu, akan kuberi tahu, keganjilan tentangku. Sejak kecil, aku suka minum susu. Setiap harinya, wajib dua gelas---pagi dan malam sebelum tidur. Namun anehnya, aku tidak bisa cepat tumbuh besar. Berbeda dengan adikku. Ia tidak suka susu, masa kecil tumbuhnya agak cepat. Adik pula tidak gampang sakit sepertiku. Yah, entahlah mungkin karena metabolisme tubuh memang berbeda. Kesukaanku minum susu masih berlangsung sampai detik ini. Tapi, hasilnya sama. Dibandingkan dengan teman lain, aku terbilang kecil sendiri. Hufft,, sudah takdir pikirku.

Kembali pada masa kecilku. Arif adalah teman masa kecil paling akrab saat tinggal di Desa Sawoo. Setiap sore, kami berdua bermain membuat patung di belakang rumah. Patung berbentuk orang-orangan itu, kami buat berbahan dasar tanah liat. Kebetulan, di sekitar rumah yang terdapat tanah liatnya berada di belakang rumah Arif. Ia mengajariku. Setelah putung itu jadi, kami panaskan di bawah terik matahari supaya patung itu tidak lembek. Dari permainan membuat patung ini, aku belajar kreatif. Merasa bisa membuat sendiri, aku mencoba-coba membuat bentuk yang kusuka. Kebetulan, tidak begitu bagus membuat orang-orangan, aku membuat bintang, bulatan, dan apapun sesukaku.

Pernah suatu hari, aku membuat sesuatu yang berbeda. Entah aku lupa bentuk apa. Ketika ditanya aku tidak menjawab karena tidak tahu apa yang aku buat. Aku ikuti aja yang ada dipikiranku. Dan, akhirnya jadilah karyaku yang tak bernama itu. Arif pun menertawakanku sebab karyaku aneh-aneh.

Selain itu, Arif mengajariku bermain kelereng. Awalnya aku tidak begitu menyukai permainan itu. Begitu melihat ia bermain dengan teman laki-laki lain, aku menjadi tertarik untuk bermain kelereng. Karena tidak memiliki kelereng, Arif meminjamiku kelereng yang baru saja dibelikan oleh Ibunya.

Pertama-tama, dibuatlah lubangan cukup besar, seukuran tungkai kaki. Lubang itu digunakan untuk memasukkan kelereng. Siapa yang prajurit kelerengnya diambil lawan lebih banyak. Berarti ia potensi menang. Namun, jangan senang dulu. Sebab, lawan bisa saja menggunakan taktik cepat untuk menyerbu prajurit lawannya. Aku banyak mendapatkan permainan dari teman satu itu. Sampai saat ini, kenangan bermain kelereng dan membuat patung dari tanah liat masih utuh. Kadang kala aku bertemu denganya, ia malu-malu saat aku ingatkan patung-patung yang kami buat.

Anisa adalah saudaraku. Yaitu anak dari Budhe. Aku menyapanya dengan sebutan "Mbak Anis". Anak perempuan satu-satunya itu setiap malam minggu mengajakku bermain bongkar pasang barbie. Ia membawakaku potongan kertas berbentuk orang-orangan dan ragam bentuk baju serta asesoris tubuh.

Permainan bongkar pasang itu mudah sekali. Yaitu pertama kita memilih tokoh yang akan kita mainkan. Kedua, tokoh itu dipasangkan baju. Misal ingin ke acara memakai baju pesta. Misal lagi mau jalan-jalan memakai baju biasa yang agak modis. Aku senang sekali ketika Mbak Anis ke rumah membawa permainan itu. Sebab, terkadang itu ada permainan lain seperti puzzle.

Sebenarnya aku juga suka puzzle, tapi puzzle yang dibawakan setiap kali bermain sama. Jadi aku bosan. Sedangkan bongkar pasang gambar orang tadi tidak membosankan karena pilihan bajunya banyak. Dan, baju-bajunya itu bagus-bagus. Sampai hati, aku meminta Ibu suatu hari nanti dibelikan baju seperti itu. Dengan wajah datar, Ibu membalas senyum. Aku senang sekali waktu itu. Padahal jika saja aku tahu bahasa Ibu waktu itu, aku tidak akan berharap lebih. Tapi tidak papa, karena sebelum bermain tokoh itu sudah aku beri namaku. Jadi seakan-akan aku mengenakan baju atau kostum yang super cantik dan menarik itu.

Di suatu hari, sekitar aku berusia empat tahun, datanglah seseorang ke rumah. Waktu itu, aku tengah bersama Ayah duduk-duduk di teras. Sementara Ibu pergi ke toko. Nenek menyapu halaman. Laki-laki itu datang seorang diri. Usai menanyakan kabar keluarga, laki-laki itu memberikan informasi duka kepada Ayah. Bahwasannya adik perempuan Ayah, Bulik Sumarni telah meninggal dunia di tempat kerja.

Cerita punya cerita, Bulik sempat dirawat tiga hari di rumah sakit karena sakit demam dan pusing. Sebelum masuk rumah sakit, sekitar seminggu sudah sakit. Karena tuntutan pabrik, Bulik menguatkan diri tetap kerja.  Akhirnya, di suatu siang pingsanlah, dan dilarikan ke rumah sakit. Di suatu malam, setelah mendapat perawatan Bulik menghembuskan napas terakhir. Saat itu, Bulik belum menikah. Rencana masih tahun besar akan dilamar oleh kekasih satu kerjaan.

Mendengar kabar duka itu, nenek yang semula menyapu ikut nimbrung. Dan, sebentar kemudian Ibu datang dengan barang belanjaan yang niatnya akan dibawa menjenguk nenek yang ada di Pangkal. Tanpa menunggu lama, lelaki itu membawa Ayahku ke Pangkal. Sebab, keluarga Pangkal termasuk nenek belum tahu kabar ini. Saudara yang di Pangkal tidak berani memberitahu nenek. Biarkan anaknya yang memberitahukan, pikir mereka. Padahal, selain Ayah, anak nenek yang satunya juga ada di Pangkal. Entah karena apa, beliau juga tak tega memberitahukan ini pada nenek.Karena, Paklik sendiri begitu mendengar itu sontak menangis, seperti tidak percaya bahwa adik perempuan satu-satunya itu meninggal.

Bersama ayah, aku pergi ke rumah Nenek Pangkal terlebih dahulu. Ibuku menyusul bersama kedua adiknya laki-laki. Tibanya di Pangkal, suasana rumah sepi. Nenek sedang masak di dapur. Tahu kedatanganku, Nenek senang sekali. Beliau langsung menggendongku, lalu menunjukkan masakannya. Ya, hari itu Nenek memasak tempe goreng, kesukaanku. Nenek paling tahu, aku akan datang sehingga beliau membuat tempe goreng, canda Nenek waktu itu.

Riangnya menggendong cucu perempuan pertamanya, Ayah mendekati kami. Ayah mengajak kami duduk di jogan (ruang tamu berbentuk lesehan). Aku duduk di samping Nenek. Tak lama dari itu, adik Ayah laki-laki, bernama Boyani datang. Beliau mengajak Aziz, anak lelaki tunggalnya dengan Katin. Kami duduk bersama di jogan. Ayah membuka obrolan. Ayah bercerita kalau Bulik sakit demam di Blitar. Karena sakitnya parah, Bulik dibawa pulang saja.

Alangkah terkejutnya Nenek mendengar kabar itu. Beliau meneteskan air mata, karena tak tega melihat anak prawannya sakit di tempat kerja. Dengan sifat ke-bapak-an, Paklik Boyani merangkul Nenek, ia tak kuasa ikut menangis dan memeluk Nenek dengan erat. Kemudian, membisikkan bilamana Bulik sudah dijemput oleh Tuhan. Kilat telah berlalu disusul guntur menggelegar, tangis menjadi satu. Tak kuasa, Nenek meraung-raung baik harimau kelaparan. Karena aku masih terlalu belia aku biasa, tak ada rasa takut, hanya saja kasihan melihat Nenek yang sebentar kemudian pingsan, sadar, lalu pingsan lagi.

Nenek dibawa ke kamar untuk ditenangkan. Ayah segera pergi ke masjid untuk mengumumkan kematian Bulik. Sementara, Paklik mengondisikan tempat pemandian, kayu untuk patok nisan, dan piranti lainnya. Aku ikut Nenek di kamar. Tak lama kemudian, beberapa orang ibu-ibu datang ke rumah. Mereka ada yang langsung ke dapur, ada yang mencari bunga lalu dirangkai, dan adapula yang menemani menenangkan Nenek. Aku terpaku melihat Nenek yang terus menangis. Muncul rasa kasihan, ingin memeluk Nenek. Tapi siapa nyana, ketika aku mendekat, Nenek tanpa sadar menendangku. Aku pun menangis. Seseorang ibu membawaku keluar. Ibu itu membawaku ke sebuah rumah. Ia memberiku obat oles pada tanganku yang terkena tendangan Nenek.

Setelah kejadian itu, aku tidak tahu apa yang terjadi pada Nenek. Aku juga tidak tahu bagaimana Bulik saat belum dimasukkan liang lahat. Satu jam kemudian, setelah ibu itu menitipanku pada anak tetangga, Ibu datang. Ia menggendongku. Kutanyakan pada Ibu, apakah Bulik sudah datang. Ibu menjawab, sudah dimakamkan.

Semenjak kematian Bulik, kami tinggal di Pangkal untuk menemani Nenek Pangkal. Sementara waktu aku kehilangan  atau tepatnya tak bersama lagi oleh teman-teman di Sawoo. Kata Ibu, kalau kangen Nenek Sawoo, bisa menjenguk sewaktu-waktu. Kalau kangen bermain, bisa bermain saat berkunjung ke rumah Nenek Sawoo. Aku mengikut saja apa kata Ibu, karena Ibu lebih tahu mana yang terbaik.

***

Hari-hari di Pangkal, aku merasa sendirian. Belum memiliki teman baru. Tiba-tiba rasa kangen kepada teman lama membuncah. Sekadar pelepas rindu, aku bermain sendiri membuat patung dari tanah dan bermain kelereng. Sebenarnya, aku belum punya kelereng. Kelereng yang aku mainkan ini milik teman lelakiku, Arif. Sempat ia meminjamkan kelereng untukku, dan belum aku kembalikan.

Diselimuti kesepian sebagai anak-anak, kuhabiskan dengan menonton televisi acara kartun dan si unyil. Televisi hasil buah kerja waktu di Jakarta itu di bawa ke Desa Pangkal. Awalnya, televisi ini berada di Sawoo, karena saat dibeli Ayah, kami masih tinggal di Sawoo. Sebemnya akan kuceritakan bagaimana Ayah  membeli televisi itu. sekitar umur tiga tahun setengah, Ayah izin Ibu untuk bekerja ke Jakarta. Di sana Ayah kerja borongan bersama adiknya. Membangun sebuah rumah di komplek perumahan di Jakarta Selatan. Informasi pekerjaan itu, Ayah dapatkan dari keluarga yang tinggal di sana. Selama hampir setahun kerja di Jakarta, Ayah pulang membawa sebuah televisi 21In. Televisi merk Changhong buatan China itu di antar sebuah mobil. Kemudian di belakang itu ada Ayah bersama Pak ojek.

Rindu tertahan. Aku memeluk Ayah dengan erat. Selang beberapa menit setelah itu, Ayah menunjukkan padaku sebuah kardus. Alangkah terkejutnya aku, begitu Ayah membukakan kardus itu. Yaitu berisi minuman susu indomilk kesukaanku. Ayah pali tahu apa yang aku suka. Ayah pula membelikanku boneka beruang yang besar. Setiap tidur boneka itu aku peluk hingga aku besar. Ketika aku pindah ke Pangkal boneka beruang itu aku bawa. Aku suka sekali boneka itu. Karena boneka pertama kali yang kumiliki, sebelum aku memiliki boneka Hello Kitty waktu aku TK.

Suatu malam, ketika keluarga kami bersama Nenek makan bersama, terdengar ramai-ramai di jalan depan rumah. Kami tak menghiraukan, terus melanjutkan makan. Tak berapa lama setelah itu, ada suara ketukan pintu. Ternyata keluarga adik ayah bernama Boyani datang. Ia bersama istri dan Aziz, anak laki-laki satu-satunya. Kami mengajak mereka datang. Akhirnya, kami makan bersama-sama. Di selang-seling makan, sesekali ada obrolan kecil dan candaan.

Aziz adalah saudara yang pertama kali aku kenal. Aku menyapanya dengan sebutan "Dik Aziz", sedangkan ia menyapaku dengan "Mbak Suci". Tapi, karena ia merasa lebih tua dari aku, tak mau menyapaku "mbak", sementara aku selalu menyapanya "dik". Setelah pertemuan malam itu, Aziz sering bermain ke rumahku. Ia membawa sepeda kecilnya dengan cara dituntun. Sebab, jalan menuju rumahku posisi naik. Oh iya, rumah Aziz berjarak 200 meter dari rumahku ke arah Timur posisi menurun. Kalau dihitung rumah, harus melewati 6 rumah. Karena di desa rumahnya berjarak-jarak jadi terasa jauh. Setiap rumah di desa, pasti memiliki pekarangan. Pekarangan-pekarangan itu ditanami macam empon-empon, seperti jahe, kunyit, kencur, laos, sirih, dan lainnya.

Aziz setiap sore ke rumahku bermain sepeda ontel. Ia begitu mahir bermain sepeda, karena mahirnya pernah suatu hari ia mengajakku boncengan. Kami memutari rumah berkali-kali. Tiba diputaran yang entah ke berapa, tak sadar di dekat tempat wudhu, sepeda kami terpelitir batu. Kami pun terjatuh. Aku menindih tubuh saudaraku itu. Dia menangis karena tangannya terluka akibat tertindih setir. Aku takut. Aku pun ikut menangis. Kulihat tangan saudaraku itu berdarah. Tidak cukup banyak sih darahnya. Tapi karena ini pertama kali aku tahu darah jadi aku pun takut.

Dengan segera, ibu yang mendengar tangisan kami, langsung menolong. Tangan Dik Aziz dibersihkan darahnya, lalu diobati dengan betadine. Ibu berusaha menghentikan tangisannya. Barangkali, itu pertama kali ia jatuh sampai berdarah. Sementara aku, digendong nenek dibawa ke dalam rumah. Supaya aku cepat diam, nenek melipurku dengan menyalakan televisi. Perlahan tangisku berhenti. Sebenarnya tubuhku tidak ada yang terluka. Mungkin hanya saja shok jadi aku menangis.

Tak beberapa lama, Ibu membawa Dik Aziz masuk. Kulihat ia sudah berhenti menangis. Sebentar kemudian, Ibu datang membawakan dua gelas susu untukku dan Aziz. Kata Ibu, supaya luka di tangan segera sembuh, harus diobati dengan minum susu. Dua gelas susu, kami teguk bersama-sama. Kemudian, kami menonton televisi.

Memasuki umur empat tahun lebih delapan bulan, Ayah memasukkanku ke sebuah lembaga Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA). Di sana kata Ayah, aku akan diajak belajar membaca iqro, hafalan surat, gerakan salat, hafalan doa-doa dan lain sebagainya. Di sana pula, aku diajarkan bermain dan bernyanyi. Hari pertama masuk TPA, aku diam saja. Di sana, banyak anak-anak seusiaku dan lebih tua belajar. Ada yang disimak mengaji, ada yang menulis, ada yang menggambar, ada pula yang berlarian hingga membuat guru ngaji kala itu marah. Ternyata, saudaraku Aziz juga ikut TPA. Waktu itu dia sudah jilid 2.

Di TPA itu, aku mendapat teman banyak. Ia sangat baik padaku. Ketika istirahat, mereka mengajakku bermain petak umpet, dakon, puzzle, bongkar pasang barbie, dan masih banyak lagi. Permainan di desaku, bermusim-musiman. Kalau misal ada yang memulai bermain kelereng, semuanya bermain kelereng. Kalau bermain dakon, semuanya juga bermain dakon. Tapi permainan antara laki-laki dan perempuan berbeda. Ya ada yang sama, tapi kecenderungan ada yang berbeda. Ingatan yang terbesit, anak perempuan bermain dakon, anak laki-laki bermain dam-daman dan macan-macanan. Tiga permainan itu sama, yaitu menggunakan batu. Hanya saja cara bermainnya yang berbeda.

Dakon, sebenarnya sudah ada isinya, seperti butiran kopi. Terkadang semisal bosan, isi dakon itu diganti dengan batu berukuran sedang. Cara bermainnya pun mudah. Aku yakin, semua anak pasti bisa,termasuk aku. Baru sekali diajari aku langsung bisa. Setiap rumah biasanya diberi penghuni 7 orang. Boleh juga diberi enam atau lima, akan tetapi harus sesuai kesepakatan dengan lawan main.

Ketika bermain putar, setiap rumah yang dilewati diberi sebuah batu. Nah, ketika batu itu berakhir ditempat kosong milik daerah kekuasaan pemain, dan kebetulan rumah tetangga berpenghuni, penghuni itu bisa diambil menjadi milik kita. Namun, misal batu berakhir pada rumah tetangga yang juga kosong, maka pemain tidak mendapatkan apa-apa. Di akhir permainan, siapa yang memiliki penghuni rumah paling banyak dialah pemenangnya. Bagi si pemenang, ia diberi kesempatan bermain duluan.

Kenangan masa kecil tentang berbagai macam permainan sebenarnya banyak. Hanya saja aku lupa, dan bingung untuk menceritakan. Bolehlah, pribadi ingin bercerita. Oke deh. Aku akan bercerita permainan apa saja yang aku mainkan semasa kecil, kecuali permainan yang sudah aku ceritakan di atas. Masak-masakan. Aku yakin kalian pasti pernah melakukan permainan konyol ini. Hanya saja, kecuali kalian adalah laki-laki. Tapi jangan salah, teman-temanku laki-laki juga pernah ikut bermain masak-masakan. Justru asyiknya, kami benar-benar masak dalam artian yang sesungguhnya. Namun sebelum itu, akan kuceritakan masak ala masak-masakan.

Biasanya, kami memanfaatkan alam untuk permainan masak-masakan, seperti tanah, dedaunan, ranting pohon, macam bunga-bunga, spidol, dan lain sebagainya. Tanah biasanya diumpamakan nasi, sebagai makanan pokok. Kemudian, macam dedaunan digunakan untuk sayur, dan bunga kadang pula dijadikan sayur, sementara spidol, kami umpakan sebuah minuman berasa. Kalau spidol berwarna merah berarti itu minuman rasa stroberi. Kalau warna spidol kuning, umpama minuman rasa jeruk. Pertama, dedaunan yang ada, kami potong-potong menjadi bagian kecil. Bunga pun demikian.

Kedua, cara memasak sayuran itu,kami membuat tungku dari keleng susu bekas. Wajan kami gunakan bathok kelapa, lalu sayur-sayuran dan bunga yang dipotong tiba berimajinasi dimasukkan ke dalam wajan bathok itu. Ketiga, pasir halus diumpamkan bumbu sayur itu. Terakhir, untuk membuat minuman, gelas dari aqua bekas diberi air. Lalu dimasukkannya spidol itu dan diaduk-aduk, tunggu sebentar hingga warna spidol larut.

Bakiak. Sandal dari kayu itu sering menemani bermain sore kala libur TPA. Ayahlah yang membuatkan sandal bakiak sederhana itu. Sore, sebelum adzan maqrib atau sekitar jam 4, aku biasa berjalan-jalan ke rumah-rumah tetangga. Ya, dengan alasan mencari hiburan. Saat itu, aku memakai sandal baik. Meskipun terasa tak nyaman dan timbul sakit di kulit kaki. Aku menjadi terbiasa memakainya. Sampai-sampai tetanggaku hapal. Ada suatu kletak-kletok dan orang berjalan, pastilah ditebaknya aku. Benar. Memang aku. Suatu hari, pernah sandal bakiak ini lupa aku taruh di mana. Seingatku, terakhir dipakai adikku. Setelah itu, aku tidak tahu. Semenjak itulah, aku kehilangan mainan bakiak.

Hampir sama dengan sandal bakiak. Kali itu, aku juga pernah bermain egrang. Egrang adalah tongkat dari bahan bambu yang digunakan untuk berdiri dengan jarak tertentu dari tanah. Asal muasal aku bermain egrang, karena melihat Aziz berjalan menggunakan egrang. Karena aku penasaran, akhirnya mintalah diajari. Sulit benar menjaga keseimbangan ketika di atas supaya tidak mudah jatuh. Setelah tahu cara yang dituntun oleh saudaraku itu, diam-diam aku belajar sendiri ketika saudaraku sedang keluar atau bermain sendiri. Sempat terjatuh, sampai lutut terluka.

Kekata Ibu, berlatih untuk bisa pasti ada risiko yang terjadi. Hal itu benar. Terasa saat aku melatih bisa berdiri dan berjalan menggunakan lutut. Baru saja aku berlatih dan merasa mulai nyaman,ehh baru melangkah tiga langkah terjatuh. Akhirnya, lutut dan sikuku terluka. Tapi aku tidak menyerah, aku terus berlatih, hingga aku... bukan bisa. Akan tetapi, ada permainan lain yang lebih menarik dibandingkan egrang. Sebutlah waktu itu, bermain terompet dari daun bambu yang masih muda---masih tergulung.

Terompet sederhana itu gegara saat aku bersama adikku dari sungai. Di jalan kami melewati pohon bambu yang melengkung ke tanah. Adikku memetik daun muda tergulung itu. lalu ditiupnya dengan sekuat tenaga. Tiba-tiba terdengarlah suara seperti terompet, hanya saja suaranya tidak keras. Aku terkejut, kudapati adikku tengah meniup terompot kecil itu untuk kedua kalinya. Penasaran. Aku pun ikut-ikutan. Sayang, terompet milikku tidak mau bersuara. Karena tidak mau kalah, aku mencari lagi hingga kedua kalinya hasilnya sama. Payah, aku kalah dengan adikku.

Pistol batang pepaya. Inilah senjata terampuh untuk menyerang lawan. Aku sering bermain tembak-tembakan ini ketika sedang di sawah. Kenangan bermain pistol ini, aku dapatkan dari saudaraku, Aziz. Ketika itu, ketika kami di sawah saat ikut orang tua panen kacang tanah, dia membuat pistol dari batang pepaya. Permainan itu diberi nama tulup. 

Letak senjata dari permainan ini terletak pada batang pepaya yang berongga. Dengan peluru buah dari pohon anak nakal, dimasukkan pada lubang batang pepaya. Setelah masuk, pistol atau tulup itu diarahkan pas ke tempat sasaran. Setelah ditemukan bidikan yang pas, ditiuplah keras-kerasnya peluru itu. Hmm, jangan salah, meski itu pistol sederhana, kalau pelurunya mengenai tubuh rasanya lumayan sakit. ya walau tak sesakit pistol beneran.

Satu per satu permainan sudah aku ceritakan. Sebenarnya masih banyak, tapi itulah permainan yang paling berkesan. Dan, aku rasa setiap permainan yang ada memiliki nilai masing-masing. Salah satu nilai yang menonjol adalah kreatif.

***

Pada umur 5 tahun, aku didaftarkan Ibu ke Taman Kanak-Kanak Al-Jihad Pangkal. Waktu itu, umur 5 tahun diperbolehkan masuk. Beda sekarang, setiap mendaftar ke sekolah ada ketentuan umur. Sebagai contoh, masuk sekolah dasar harus berusia 7 tahun. Di bawah 7 tahun tidak diperbolehkan.

Awal memasuki dunia sekolah TK, aku mendapat teman yang banyak. Mereka ada yang dari Desa Pelembeku, Suren, Trincing, Ngemplak, Etan Kali, Blumbang, dan banyak lagi. Teman pertama yang kukenal diluar lingkup desa adalah Risatul. Dia kelas TK Besar (B). Risatul berasal dari Desa Trincing. Jarak menuju sekolah hampir 3 kilometer. Setiap pagi ia diantar ibunya. Kebetulan, karena tidak memiliki kendaraan pribadi, setiap hari Risatul dan Ibunya naik bus. Kadang pula, kutemui ia turun bus sendiri. Berarti, ibunya tidak mengantarkannya.

Risatul adalah anak perempuan yang memiliki rambut panjang. Rambut panjangnya sekitar pantat. Setiap hari Kamis, ia mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Kadang pula, rambut indahnya dibuat kepang susun. Aku suka menyentuh rambut hitamnya. Ingin sekali memiliki rambut panjang sepertinya.

Aku sadar, dibandingkan anak perempuan lainnya, rambutku termasuk panjang. Tapi lebih panjang milik Risatul. Waktu itu, kira-kira di atas pantat. Aku dan Risatul menjadi teman baik. Ia sering memberiku jajan. Kadang pula kita bertukar makanan. Tiba di hari Kamis kami selalu saling menunjukkan kreasi rambut. Maklumlah, di sekolahku ini wajib mengenakan jilbabm kecuali hari Kamis. Hari itu adalah hari kebebasan.

Aku ingat betul, Risatul pernah memuji rambutku, hitam dan tebal. Sementara rambutnya, tidak terlalu tebal, namun hitam. Berteman satu tahun dengannya. Aku senang sekali. Ia anak yang baik, ramah, dan santun. Ia juga pandai. Malahan dia pernah dijagokan lomba hafalan doa-doa di tingkat kecamatan. Tidak tahu menang atau tidaknya, yang aku ingat dia mengikuti lomba hafalan.

Selain Risatul, masih banyak teman lainnya. Ada hal mengerikan dalam kisahku di TK. Temanku Tegar setiap hari bertengkar dengan Dio. Dio adalah tetangga rumahku. Tegar pun demikian, hanya saja rumahnya lebih jauh dibanding rumah Dio. Dio anak yang memiliki kekurangan dibagian telinga dan mulutnya. Telinganya tidak mampu mendengar. Mulutnya pun tidak bisa digunakan berbicara atau komunikasi seperti layaknya manusia. ya, dia bisu dan tuli. Kejadian pertengkaran itu terjadi ketika kami TK Kecil (A). Entah gegara apa, setiap hari mereka bertengkar. Saling berbalas pukul, tendang, dan lainnya. Ketika dipisahkan, mereka saling berontak. Hingga pernah terjadi, Bu Nur sampai tertendang karena Tegar. Sementara Dio, lebih mudah dipisah. Ia sebenarnya tidak banyak gerak. Dio selalu kalah. Tapi ia tidak mau mengalah.

Dio dan tegar, terus bertengkar. Hingga pada akhirnya, keluarga Dio mengundurkan diri tidak sekolah lagi. Pihak sekolah sudah berjuang mempertahankan Dio. Namun karena tidak tega anaknya selalu bertengkar, akhirnya keputusan untuk keluar ditegasnya. Pihak sekolah tidak bisa apa-apa. Padahal, meski Dio memiliki kekurangan, ia pandai di bidang menggambar dan mewarnai. Gambarannya bagus, cara mewarnainya rapi. Ia mampu mengkombinasikan warna yang kontras pada gambar yang akan diwarnai.

Sampai hari ini, Dio akrab dengan dunianya menggambar dan mewarnai. Pernah suatu ketika aku memintanya untuk menggambarkan sesuatu kepadaku. Awalnya dia tidak mau. Akan tetapi, aku tidak menyerah. Aku punya taktik, yaitu mengingatkan bahwa dulu aku adalah temannya belajar. Kami sering sekolah dan belajar bersama. Setelah keluarnya itu, Dio lama tidak sekolah. Ia baru di sekolahkan ketika aku menempuh sekolah menengah pertama.

Cerita di TK, selain Risatul, Dio, dan Tegar, ada lagi teman laki-laki yang sangat usil dan jail. Namanya Budi. Ia tinggal di Desa Pelembeku. Ia sering mengganggu aku dan teman lain ketika bermain. Suatu hari, ketika aku membuat mainan dari malam, ia merusak dengan meremas-remas malam yang lunak itu. Aku menangis dibuatnya. Teman-teman lain, sering pula mendapat kejaillannya. Ia pernah meletuskan balon saat balon ditiup. Dia juga pernah membuat kaca sekolahan pecah karena tendangan bolanya yang terlalu keras. Karena kejadian itu, ia akhirnya kapok tidak jail dan usil lagi terhadap teman-teman.

Pernak-pernik kisah di TK banyak kualami. Selain kisah bersama teman-teman, ada pula kisah yang sangat mengesankan. Pertama, aku pernah ikut lomba hafalan surat-surat tingkat kecamatan, lomba menari di lapangan Prayungan, dan ikut karnaval. Lomba hafalan tingkat kecamatan ku ikuti saat di kelas B. Setiap hari aku dilatih dan dites hapalan surat-suratan. Bu Nur adalah pendampingku latihan. Beliau sangat sabar dan keibu-an. Beliau tidak pernah marah. Kalau ada anak yang nakal, beliau dekati lalu dinasihati dengan baik. Selain Bu Nur, juga ada guruku yang juga tak kalah baik. Beliau bernama Bu Wiwik.

Guruku satu ini, lebih muda daripada Bu Nur. Beliau belum menikah, sementara Bu Nur sudah memiliki anak. Bu Wiwik adalah guru yang mengajari dan mendampingi menari. Beliau sabar dan telaten. Padahal setiap kali latihan, selalu saja ada ulah aneh-aneh dari teman-teman. Biasanya kami latihan di sebelah utara gedung sekolah. Aku mendapati barisan paling depan. aku termasuk anak yang mudah mengikuti setiap gerakan menari. Pernah suatu hari, aku diminta Bu Wiwik untuk memberi contoh menari kepada teman. Senang rasanya, dipercaya guru. Alhamdulillah, berkat latihan setiap hari, sekolah kami mendapat juara.

Aku belajar di TK, kurang lebih 1,5 tahun. Setelah dinyatakan lulus dan wisuda, aku belajar di sekolah dasar. Pada tahun 2002 genap umurku 7 tahun kurang sedikit. Ibu mendaftarkanku di SD 2 Pangkal. SD tersebut merupakan SD terdekat dari rumah. Beberapa anak-anak sekitar rumah, banyak yang di sekolahkan di sana. Sehingga, ketika pulang sekolah memiliki teman jalan kaki. Jarak antara rumah ke selatan tidak jauh, ya sekitar 200-an meter.

Memasuki di sekolah dasar kelas 1, aku mendapatkan teman yang banyak. Saat itu, total jumlah teman sekelas adalah 40 anak. Guruku di kelas 1 adalah Bu Wiji. Beliau tinggal di Sawoo. Tanpa kuduga, rumah Bu Wiji dekat dengan rumah Nenek. Di kelas, aku merasa sudah pandai di antara teman lain. Aku sudah lancar membaca dan menulis. Sebab ketika di TK dua pelajaran utama ini sudah diajarkan. Tiba diujian, hampir semua mata pelajaran mendapat nilai 100. Senang rasanya. Apalagi ketika hasil ujian dibagikan ke semua teman. Dengan bangga, kutunjukkan hasil belajarku pada kedua orang tua dan nenek di rumah. Nenek mengapresiasi luar biasa kepadaku. Bahkan ia benjanji akan membelikan apa yang kuminta kalau mendapat nilai 100 lagi. Guna menambah semangatku belajar, Ibu juga berjanji akan membelikanku tas baru sesuai keinginnanku.

Masuk di kelas 2, aku diajar oleh Pak Suparni. Beliau asal Trenggalek. Menurutku beliau gurunya yang menarik, asyik, penyabar, dan tekun. Kebiasannya mengajar, selalu dibuka dengan lagu nasional dan pilihan. Macam-macam lagu yang biasanya kami nyanyikan bersama adalah Indonesia Raya, Garuda Pancasila, Padamu Negeri, Satu Nusa Satu Bangsa, Syukur, Dari Sabang Sampai Merauke, Jembatan Merah, Indonesia Pusaka, Berkibarlah Benderaku, dan masih banyak lain. Sedangkan lagu pilihan adalah Gambang Seruling, Gundul-Gundul Pacul, Desaku, Sorak-Sorak bergembira, Sepatuku, Soleram, Sampai Jumpa Lagi, dan masih banyak lagi.

Guru yang satu ini, paling unik di antara guru-guru lainnya. Pertama, tertib. Siapapun anak yang terlambat masuk kelas, akan dikenakan hukuman. Hukumannya bermacam-macam. Biasanya berkaitan dengan mata pelajaran, kadang pula diminta menyanyikan lagu nasional. Kedua, suka memberi hadiah. Beliau sering memberi hadiah (surprise) kepada anak yang berprestasi. Hal itu pernah terjadi kepada saya. Suatu hari, pada saat materi menulis huruf latin atau tegak bersambung. Aku mendapat nilai paling tertinggi, yaitu 9. Nilai tersebut berulang hingga dua kali. Nah, untuk memotivasi, beliau memberiku hadiah satu buah pensil, penghapus, buku tulis, dan rautan.

Tentunya, bahagia nian saat itu. karena hadiah dari guru menurut saya adalah kecintaan kepada muridnya. Semenjak itu, aku sering diminta menulis di papan tulis saat materi bahasa Indonesia. Sebab, mata pelajaran bahasa Indonesia, wajib menulis menggunakan huruf tegak bersambung.

Ketiga, kreatif. Selain mengajar, guruku juga jualan alat tulis-menulis. Di antaranya ada pensil, penghapus, bolpoin, sampul buku (kertas dan plastik), rautan, cutter, dan lain sebagainya. Beberapa teman-teman sering membeli kebutuhan kepada beliau, karena murah dan terjangkau. Sayangnya, teman-teman sering usil kepada beliau. Seperti kejadian yang sangat aku ingat adalah salah satu dari temanku sering menyembunyikan gagang papan tulis. Gagang papan tulis yang dicuri itu digunakan guruku untuk menunjuk teman, memukul teman yang ramai sendiri. Meski bisa dibilang sedikit galak, guru satu ini lucu-lucu unik.

Keempat, selalu menjaga kebersihan. Ruang kelas sering kotor, apalagi saat musim hujan tiba. Banyak kotoran dan lumpur masuk kelas. Guna menyiasati ruangan supaya tetap bersih, beliau meminta siswa-siswinya melepas sepatu di luar. Tidak cukup dilepas, sepatu-sepatu itu harus ditata rapi. Kalau ada sepatu yang tidak rapi, hmm tahu-tahu sepatu itu digantung di jendela. Kalau tidak digantung disembunyikan oleh guruku. Kebersihan lainnya adalah terkait keramas dan potong kuku, serta potong rambut. Guru satu ini, selalu memeriksa kebersihan kuku para siswanya. Siapa siswa yang kukunya panjang dan kotor, langsung dipotong. Alat pemotong kuku sudah disiapkan.

Sedangkan potong rambut, khusus untuk siswa laki-laki. Lekat dalam ingatan, temanku bernama Tatag selalu dipotong rambutnya di sekolahan. Awalnya sih sudah diingatkan supaya potong rambut, akan tetapi ia melanggarnya. Ada juga Tegar, anak pintar, jago matematika itu kadang juga usil. Ia sengaja tidak mau potong rambut kalau belum dimarahi oleh guruku satu ini. Yah, maklum anak sd kelas 2, masih terbawa anak-anak dan kebetulan mendapat guru yang unik ini.

Kisah unik, kekonyolan, dan usil banyak menghias di kelas 2. Aku pun demikian, sering mengusili guru bersama teman-teman. Tapi bukan pada guru kelasku, yaitu kepada guru agama, Bapak Katsir. Keusilan kami waktu itu, adalah menyembunyikan buku LKS mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Hal itu kami lakukan supaya tidak diminta koreksi tugas. Lebih enak didongengi kalau bertemu guru yang pandai bercerita ini. Saat mencari, kami seolah-olah ikut membantu beliau mencari, tapi ya mungkin guruku tahu, beliau sudah lumayan tua, jadi menyimpulkan kalau bukunya ketinggalan di rumah.

Memasuki di kelas 3, aku diajar oleh guru kelas bernama Bu Sun. Lupa nama lengkap beliau, jelasnya kami memanggilnya Bu Sun. Guru ini tinggi, rambutnya sebahu, ia tidak memakai jilbab. Pakaian yang dikenakan selalu rapi. Beliau tidak pernah menghias diri di wajahnya, hanya saja sesekali pita dirambutnya dikenakan. Guruku yang satu ini, suaranya besar, tapi kecil alias cempreng, dalam bahasa Jawa. Kalau mengajar, terkadang anak lelakinya dibawa. Kami sering bermain dengan anaknya. Lucu sekali.

Pengalaman di kelas 3 bersama Bu Sun, tidak terlalu banyak. Hal yang paling aku ingat adalah ketika ulangan haris, ulangan semester, dan ulangan akhir semester. Ketika menjadi pengawas, guru satu ini memperbolehkan siswanya bertanya tentang maksud soal, bukan jawaban. Kadang beliau juga membantu menjawab soal dengan cara dipleset-plesetkan. Artinya, jawabannya dicarikan kata yang hampir mirip, selanjutnya dikembalikan pada siswa untuk berpikir, apa jawaban paling tepat.

Ujian akhir dimulai. Lupa, di hari ke berapa, tepatnya ujian Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), ada soal tentang rumah adat istiadat. Yaitu diminta menjawab apa nama rumah adat Jawa Tengah. Salah seorang siswa minta bantuan kepada Bu Sun. Karena Bu Sun, tidak tega apabila melihat anak-anaknya berpikir sulit, guru berwajah bulat sedikit oval itu memplesetkan jawaban dengan, "Orang yang lama tidak berpasangan, belum menikah." Selanjutnya, kami berpikir apakah maksud dari kata Bu Sun. Jomblo. Ya, jomblo adalah orang yang tidak mempunyai pasangan atau kekasih. Lalu, kata apa yang berkaitan dengan rumah adat, yang dekat dengan kata "jomblo".

Biasanya, jika waktu memungkinkan, usai mengerjakan soal ujian, langsung dikoreksi bersama. Kebetulan mata pelajaran IPS tidak ada jam untuk mengoreksi. Keesokan harinya, karena hanya ada satu jadwal ujian, kami mengoreksi bersama ujian IPS. Naskah jawaban dibagikan satu per satu kepada siswa. Semua siswa sudah mendapatkan bagian masing-masing. Naskah yang dipegang itu bukanlah nama mereka. Tak lupa, Bu Sun menanyakan apabila ada siswa yang mendapat soalnya sendiri supaya segera ditukarkan dengan teman lain.

Langsung pada soal rumah ada Jawa Tengah. Jawabannya adalah Joglo. Hore, jawabanku benar. Yaitu joglo adalah rumah ada Jawa Tengah. Lucunya, ada beberapa teman yang salah. Mereka menjawab "jomblo", pun tertawa mengetahui jawaban temanku, dan kebetulan jawaban yang soalnya aku bawa juga menjawab "jomblo". Maaf, aku tidak tahu apa yang ada dipikiran mereka saat itu. maksudnya, ya sudah dibantu dengan plesetan kata, masa iya tidak ingat kata apa yang hampir sama dengan kata "jomblo". Bu Sun tertawa terpingkal-pingkal tahu jawaban itu. namun, tak lama suasana tenang. Semua siswa fokus pada naskah jawaban yang dibawa.

Ahh, aku naik di kelas 4. Bukan merasa sedih sih. Akan tetapi, naik di kelas 4 itu berarti jam belajar di sekolah bertambah. Kalau dulu, ketika kelas 1-3, pulang sekolah pukul 11. Nah, tiba kelas 4, pulang sekolah menjadi pukul 12. Selang satu jam. Aku harus beradaptasi, menyesuaikan diri pulang jam 12. Harus menahan lapar satu jam lagi. Ada untungnya aku naik di kelas 4, karena itu berarti uang saku akan bertambah. Benar, uang sakuku bertambah. Kalau semula Rp. 500 jadi dua hari. Kalau sekarang Rp. 500 untuk sehari.

Rumahku sebenarnya tidak jauh dari sekolah, tapi kalau misal lapar diminta untuk pulang ya malas. Karena hanya diberi waktu 30 menit istirahat. Itupun kalau pas diajar guru sebelum istirahat agak menyebalkan, pasti waktu istirahatnya kurang. Gara-gara istirahatnya terlambat. Kesal sih kesal. Di luar sudah ramai anak-anak berlarian, bermain di lapangan, ada yang jajan, ehh masih diajar. Dilanjutkan pun pasti pikiran yang ada di kelas sudah tidak fokus lagi. Pikirannya pasti kalau tidak di kantin ya di lapangan.

Aku mulai beradaptasi masuk di kelas 4. Mengapa? Pertama, siap pulang terlambat, karena jadwal pulang selang satu jam dengan siswa kelas 1-3. Kedua, ada teman lelaki baru yang harusnya naik kelas, tapi ia tinggal kelas. Katanya, karena disayang dengan guru. Keempat, mata pelajaran lebih sulit. Apalagi setelah mendenger cerita dari kakak kelas, sebelum masuk kelas saat pelajaran matematika akan dites hafalan perkalian, pembagian, rumus bangun, dan lainnya. Kelima, tantangan di mata pelajaran olahraga, harus bisa senam lantai, seperti guling depan dan guling belakang. Keenam, menghadapi guru yang super tertib saat masuk kelas.

Kelas 4, kami diajar oleh Pak Guru. Beliau jika dilihat dari wajahnya, nampak galak karena didukung rambut di pinggiran pipi. Kepala botak dan badannya tinggi. Kadang wajah itu menipu memang benar. Contohnya ya pada guruku satu ini. Kelihatan galak kelihatanny. Sebenarnya tidak. Hanya saja suka tertib. Karena itulah, beberapa teman sering salah paham kepada Beliau. Beliau bernama Pak Parni. Khas sekali, motornya megapro mudah diingat teman-teman. Meskipun kami berada di dalam kelas, kami mampu menebak bahwa datanglah guru kelas.

Bahasa Inggris, sebenarnya sudah dikenalkan sejak aku di TK. Hanya saja masih materi datar, seperti berhitung dan mengenal nama-nama buah-buahan, hewan, sayur, dan lainnya. Memasuki kelas 4 ini, bahasa Inggris menjadi pelajaran tambahan. Kalau boleh jujur, aku biasa saja dengan pelajaran ini. Tapi siapa nyana, karena guru yang mengajar cantik, enak, bersahabat, dan baik hati, baik nilai dan toleransi aku senang.

Aku jadi ingat kata seseorang di suatu waktu, "Kalau kamu ingin suka dan bisa terhadap suatu mata pelajaran di sekolah, sukai dulu gurumu. Secara perlahan kamu akan mencintai pula pelajaran itu." manjur juga khasiat ini.

Gegara suka dengan gurunya, perlahan aku pun mencintai pelajaran. Setiap kali memulai pelajaran, guru bahasa Inggris yang masih muda ini, selalu mengajak kami bernyanyi. Nyanyiannya pun berbahasa Inggris. Guru dengan tinggi jenjang itu pula, selalu memberikan hadiah kepada siswa yang bisa menjawab pertanyaan, baik dalam mengerjakan tugas, dan tertib mengumpulkan tugas. Kalau guruku saat kelas 2 memberi hadiah perangkat tulis menulis, guruku satu ini lain. Hadiah yang diberikan berupa makanan, atau nilai tambah.

Padat merayap jadwal sekolah. Tiba di kelas 4, terasa jadwal penug. Sudah pulang siang habis salat dhuhur, ditambah lagi ekstra pramuka di hari Jumat/Sabtu. Dan satu lagi, ekstra menari. Senang sih senang. Suka sih suka. Tapi terkadang capek juga. Sebenarnya eksta pramuka sudah ada sejak kelas 3. Hanya saja, saat itu dikenalkan materi dasar. Lebih banyak bermain dan bernyanyi. Nah, menginjak kelas 4, kemampuan dalam kepramukaan wajib bertambah. Ada momen yang namanya berkemah. Kebetulan, itu kali pertama aku diajak berkemah. Acara kemah pramuka selama 3 hari 2 malam itu,bertempat di lapangan Sawoo. Tepatnya di depan sekolah SMK Sawoo dan SMP 1 Sawoo.

Awalnya biasa saat berlatih pramuka. Namun, begitu mengikuti momen berkemah, ada nuansa lain yang membuat saya senang dan betah. Pertama, melatih kemandirian, tanggung jawab, disiplin, dan cinta sesama. Gegara pramuka, aku jadi mandiri. Makan mengambil sendiri, makan sendiri, juga mulai memikirkan kebutuhan diri. Sebelumnya, aku masih sering makan disuapin Ibu. Mandi selalu disiapkan, mulai dari handuk hingga baju ganti. Kedua, punya banyak teman. Memiliki banyak teman itu mengasyikkan. Apalagi temannya dari berbagai sekolahan. Kita bisa saling cerita tentang sekolahan masing-masing, dan cerita asyik lainnya.

Sementara cerita lain saat di kelas 4 adalah saat aku dan teman-teman dihadirkan pelatih nari. Saat itu, pelatihnya adalah Kak Sawal. Ia laki-laki, tapi pandai menari. Tariannya gemulai, luwes, dan energik. Kak Sawal menari menggunakan hati. Ia menari antara gerak dan lagu sama. Belajar menari menjadi bagian kesukaanku. Soal menari, sebenarnya aku sudah suka sejak kecil. Karena, hmm kalau saja kau tahu bagaimana aku saat kecil dulu di masyarakat. Baiklah akan kuceritakan padamu.

Semasa kecil, ketika berumur jalan 5 tahun, aku sering ditanggap untuk menari di masyarakat. Saat itu, mulailah aku dikenal warga Pangkal karena goyangan ngebor. Ya, aku punya jurus "goyang ngebor" saat itu. Senang aja sih ditanggap menari mereka. Karena, usai itu aku diberi upah. Mulai dari makanan, jajanan, uang, dan lainnya. Biasakan, anak kecil kalau misal diberi hadiah pasti senangnya bukan main. Dan itu, terjadi padaku. Aku mengidolakan Inul Daratista. Ratu dangdut yang ampuh dengan jurus ngebornya. Tak hanya itu, aku juga menyukai bahasanya bernyayi. Suaranya enak didengar, cengkok lagunya terasa---mendayu-dayu.

Kembali pada kisah menari. Berkat ikut ekstra tari, aku dan teman-teman diminta menari di acara perpisahan kakak kelas. Saat itu, kami menari Tari Piring. Kak Sawal seminggu dua kali ke sekolahan guna melatih tari bagi anak-anak yang terpilih untuk mengisi acara. Awalnya, Kak Sawal memilih anak-anak yang berbakat menari, termasuk aku. kemudian, anak-anak yang terpilih itu diajak berkumpul. Lalu dibagi teman sekelompok dan tarian yang akan dibuat latihan. Saat itu, dari sekian anak, aku lupa jumlahnya, terbagai menjadi 3 kelompok tari. Yaitu Tari Piring, Tari merak, dan Tari Bangau.

Kelompok tariku ada lima anak. Setiap hari kami latihan bersama dengan cara berkunjung gantian. Maksudnya, misal hari ini latihan di rumahku, berarti besoknya lagi berlatih di rumah Wahyu, dan seterusnya. Sekitar kurang lebih satu bulan latihan, hasil latihan menari di tes untuk tampil. Kak Sawal mendampingi setiap minggu sekali latihan. Ia membenarkan setiap gerakan supaya tercipta gerakan yang indah. Hebat. Kau salut dengannya. Meski sosoknya laki-laki, tetapi mampu menari dan melatih tari yang dibawakan seorang perempuan. Dan, yang membuat lebih salut, ia mengajar banyak anak tari hanya sendirian, tidak ada temannya.

Keberhasilan Kak Sawal dalam pentas perpisahan diacungi jempol oleh kepala sekolah. Semenjak itu, secara diil Kak Sawal menjadi pelatih tari tetap di sekolah dasar ini. Akhirnya, latihan tari itu sampai aku duduk di kelas 6 masih berjalan baik. Bahkan, sering tampil diacara agustusan, karnaval, dan acara desa. Semenjak itulah, hobiku menari semakin membuncah. Dan, akhirnya hobi menari ini berjalan hingga duduk si bangku sekolah menengah atas. Di usia SMA itu, aku juga sering ditanggap untuk menari diacara perpisahan, dan acara sekolahan.

Masuk di kelas 5 SD, aku sedikit merekam hal apa yang terjadi saat itu. ada sedikit cerita memalukan saat itu. Minggu kedua di bulan awal masuk sekolah, aku diberi tugas menjadi pembacaan pancasila saat upacara hari Senin. Latihan, sudah aku dan teman-teman lakukan di hari Sabtu. Entah, karena ini pertama diberi tanggung jawab untuk berperan dalam petugas hari Senin, ada beberapa kesalahan yang aku lakukan. Pertama, saat berjalan akan membacakan teks pancasila, aku baris dengan dompo. 

Kedua, usai membacakan teks, saat pulang ke tempat semula, aku lupa tidak mengangkat teks yang kubawa. Jadi seakan-akan seperti mengontang-anting (mengayun-ayun) teks Pancasila. Malu sekali rasanya. Namun, guru yang mendampingi saat itu tidak menyalahkanku. Beliau paham, karena ini tampil pertama kali jadi ya gugup. Saran beliau adalah supaya aku berlatih lagi, tidak menyerah, dan semoga ketika mendapat jadwal tugas lagi dapat melaksanakan dengan baik. Mendengar koreksi dari guruku itu, aku mengangguk. Aku berjanji akan belajar lagi.

Kisah paling berkesan di kelas 5 adalah ketika sekolahku berniat mengikuti lomba tembang macapat. Lomba itu diikuti dari kelas 4-6. Tentunya, untuk mendapat yang terbaik terdapat seleksi. Pertama, seleksi tingkat kelas. Yaitu masing-masing kelas mencari siapa jagoan yang akan ditandingkan dengan kelas lain. Waktu itu, aku masuk pilihan. Kedua, seleksi antarkelas. Setelah semua kelas memiliki jagoan, akhirnya diadulah oleh kelas lain yaitu kelas 4 dan 5. Saat itu, dari kelas 4 ada 3 anak, kelas 5 ada 2 anak, dan kelas 6 ada 3 anak. Tepat di hari itu, mendadak suaraku sempat hilang. Memang salahku sendiri, aku lupa bila hari itu akan ada seleksi, justru hari lalunya sepulang sekolah aku minum es lilin lumayan banyak.

Tak menyerah. Aku mencoba minum air putih banyak berharap serak di tenggorokan luntur bersama air. Seleksi kedua berlangsung dengan tembang macapat pucung yang sama.

Ngelmu iku,

Kalakone kanthi laku,

Lekase lawan kas,

Tegese kas nyantosani,

Setya budaya pangekese dur angkara.

Kedelapan anak telah menembang macapat pucung satu per satu. Tinggallah mendengar siapa yang akan maju untuk lomba tingkat kecamatan. Setelah menunggu sampai istirahat berakhir, akhirnya diputuskanlah yag maju adalah Nita anak kelas 4. Gagal. Aku kecewa tidak bisa mewakili sekolah lomba. Tak apa, Nita memang lebih bagus daripada aku. Lagipula kalau ia juara sekolah kan juga mendapat nama. Semua kembali untuk sekolah dan diri sendiri. Semenjak itu, aku sering diminta menembang di desa dalam sebuah acara. Acara yang paling aku ingat adalah saat acara Halal Bihalal. Setelah menghibur di pra-acara dan ishoma dengan lelayu lagu islami. Sebagai penutup, aku diminta membawakan tembang Semut Ireng. Grogi iya, karena dilihat orang se-desa dan beberapa undangan se-desa pangkal perwakilan. Sorak penonton senang. Gegara itulah aku dijuluki 'Sinden Pangkal'.

Naik di kelas 6. Adalah kelas puncak di sekolah dasar. Satu tahun lagi aku akan meninggalkan hari-hariku bersama suasana di sekolah. Aku bakalan jarang dan bisa jadi tidak ketemu dengan guru-guru yang mendidikku dari kelas 1-lulus. Bakalan kehilangan suasana beli jajan di kantin Mak Ririn. Rindu dengan pentol gorengnya. Rindu dengan minuman caonya. Rindu dengan kerupuk yang diberi sayur dan sambal kacang. Rindu pada ote-ote dan roti gorengnya yang khas. Dan, rindu dengan mie goreng yang super lezat sampai menggigit lidah.

Selain Mak Ririn, ada juga Mbah Jemir dan Lik Sisri. Penjual jajanan ringan, makanan, dan minuman. Kedua penjual itu adalah anak dan simbok. Es campur Lik Sisri adalah minuman favorit. Apalagi ditambah dengan sepotong kue bali harga seratus ribuan itu. ada lagi rujak gado-gado. Rujak khas, dengan sayur kangkung, tempe dan tahu goreng, serta ditambah kerupuk undang itu tak kalah lezat. Satu lepek cangkir, gado-gado itu dijual dengan harga lima ratusan. Murah meriah kan. Adalagi yang tak kalah menggigit adalah tempe goreng buatan Lik Sisri. Tempe dengan dilumuri tepung itu digoreng begitu renyah. Biasanya, tempe itu dimakan ditemani oleh sambal saos tomat. Rasanya pedas-pedas manis.

Kisah di balik perjalanan di kelas 6 hingga lulus, terlalu syahdu diingat. Bagaimana tidak? ada aroma cinta-cintaan beberapa teman. Ada aroma kegalauan karena sibuk mengejar kekurangan penguasaan mata pelajaran guna persiapan ujian nasional kelak. Ada pula aroma geng-gengan. Gara-gara kesalahpahaman dan ketidakpahaman maksud hati. 

Beberapa teman, ada yang mulai cinta monyet kala itu. Yah, berawal dari saling mengolok dan menjodohkan tumbuhlah benih-benih cinta. Seperti ketertarikan temanku bernama X dengan teman sekelas Y. Y kebetulan adalah teman dudukku, saat ujian, juga kadang saat mata pelajaran. X tertarik karena Y adalah anak yang pandai di kelas. Sejak kelas 1-5 selalu menempati peringkat pertama. Hanya saja satu yang disayangkan, ia bisa dibilang usil, nakal, dan tak mau kalah. Aku mengaku dia pandai, hingga pernah ia menentang rumus yang diberikan oleh guru kami pada mata pelajaran Matematika. Sebutlah Bu Ariesta guru itu. Guru muda yang baru mengajar saat kami kelas 5.

Di suatu ketika saat mengajar salah satu materi rumus matematika. Y saat mengerjakan tugas tidak menggunakan rumus yang diberikan. Meskipun hasiilnya sama dan benar, maunya Bu Ariesta Y mengikuti rumus yang diberikan sesuai di buku teks. Y, saat itu mengeyel tetap pada caranya sendiri. Katanya, kalau ada rumus yang beda tapi hasilnya sama dan benar, kenapa tidak boleh digunakan. Akhirnya, Y pun mempratikkan rumusnya dalam mengerjakan soal. Ia mengerjakan di papan tulis. Tanpa ada rasa gugup, ia menulis. Menghitung perkalian berapa pun tanpa menunggu lama. Seakan-akan perkalian berapa pun hasilnya sudah terekam di otaknya. Ia ingat semua perkalian. Aku dan teman-teman menatap lekat dari bangku. Begitu pula dengan guruku. Selesai. Hasilnya telah ditemukan. Setelah diperiksa dengan garapan guru, hasilnya sama.

Sebagai guru, Bu Ariesta memberi apresiasi luar biasa padanya. Sering soal dijadikan bahan diskusi. Jawaban dicari bersama, siapa yang mampu menjawab bisa dibagikan kepada teman lain. Semua teman mencoba mengotak-atik rumus dan angka, sehingga dapatlah suatu jawaban. Hingga pernah di suatu kesempatan, dalam satu soal, terdapat 3 jawaban yang berbeda. Karena mendapati itu, semua jawaban ditulis di papan tulis. Dan telah usai, ketiga jawaban itu didiskusikan bersama.

Pelajaran semakin sulit. Traget materi semakin banyak. Guna mempersiapakan try out dan ujian nasional harus banyak mengerjakan soal. Hal itu selalu diingatkan oleh pembina upacara saat upacara hari Senin berlangsung. Itu pula sering dilontarkan para guru yang mengajar di kelas, hingga rasanya waleh mendengar. Aku tahu maksud mereka selalu mengingatkan, karena ujian semakin dekat. Tidak ada banyak waktu untuk sekadar bermain-main tidak jelas.

Bosan juga kan kalau selalu dihadapkan pada soal. Tentunya mata, hati, dan pikiran butuh refreshing supaya tidak jenuh dan bosan. Ya paling tidak bermain bisa mengurangi beban karena mencari jawaban atas soal yang ada. Apalagi kalau sudah berhadapan dengan soal berhitung,, hmm. Semangat sih semangat kalau menemukan jawaban. Akan tetapi, kalau satu atau dua atau tiga soal tidak selesai pada jawaban, atau jawaban yang ditemukan tidak ada di alternatif jawaban, mendadaklah semangat turun. Kalau sudah begitu harus diistirahatkan sebentar. Lalu jika sudah fresh kembali dikerjakan dengan hati tenang.

Belum persiapan ujian nasional, tentunya harus melewati ujian sekolah. Tepat, diujian ini ada dua tahap, yaitu pengetahuan dan keterampilan. Hampir semua mata pelajaran ada praktiknya. Sebutlah IPA, harus praktik kalau biologi yaitu daur hidup makhluk hidup, proses terjadinya hujan, proses fotosintesis, dan lainnya. Sedangkan fisika, misalnya menyalakan lampu menggunakan baterai, proses terjadinya bunyi, dan lainnya. Ribet sekali kan. Namun, ada yang super ribet tapi menyenangkan. Yaitu pada ujian praktik Seni Budaya. Praktik yang aku ingat adalah menyanyikan lagu nasional dan lagu pilihan, membuat kerajian dari janur kelapa, dan membuat anyaman dari kertas.

Satu minggu tepat di ujian praktik Seni Budaya, aku dan teman-teman berlatih membuah kerajinan dari janur kelapa. Dibantu oleh Ayah, kami membuat kreasi macam ketupat. Ada yang berbentuk segi empat, lampu, persegi panjang, kodok, dan lainnya. Kata Ayah, janur yang digunakan harus bagus, tidak boleh rusak. Kalau rusak, ya jadi tapii hasilnya tidak memuaskan. Pemilihan warna pun juga memengaruhi, karena ada janur warna kuning, ada pula janur warna hijau. Kebetulan ayah pandai membuat ketupat, setiap sore hari, rumahku ramai dikunjungi teman-teman. Mereka ingin diajari membuat ketupat. Tidak saja berlatih di rumah, kadang kala teman-teman membawa janur ke sekolahan, supaya mereka bisa terus berlatih membuat kreasi dari janur.

Kreasi dari janur kelapa, tidak mengharuskan membuat ketupat. Boleh membuat dadu, keris, manukan, dan lainnya. Akan tetapi, instruksi dari guru Seni Budaya diharapkan anak-anak bisa membuat ketupat. Sehingga ketika lebaran tiba tidak bingung harus membeli janur yang dihargai seribu satu ketupatnya. Instruksi itu kalau diterjemahkan sama halnya wajib. Tidak apalah, lagi pula membuat ketupat itu asyik, tapi harus teliti jangan sampai memasukkan ganda.

Hari ujian tiba. Di mulai dengan ujian sekolah, selama satu minggu ujian pengetahuan. Kemudian, minggu selanjutnya adalah ujian praktik. Senang menyenangkan di ujian kali ini. Karena ujian praktik bagi saya sama dengan bermain. Hanya saja ini permainan yang serius karena dinilai untuk menciptakan poin besar. Hari demi hari, aku jalani ujian praktik dengan senang. Tiba, dipenutup ujian, diadakannya masak bersama. Pesertanya adalah siswa kelas 6 dan sebagian guru. Aku masih ingat. Kala itu membuat nasi pecel lele. Sejumlah 36 siswa dibagi menjadi beberapa bagian. Ada yang fokus pada perlelean, persambelan, perminuman, perlalapan. Kala itu aku mendapat bagian perlelean.

Pengalaman menarik berbaur dengan para lele yang sebentar lagi akan lahap dimakan. Pertama, membunuh para lele, membersihkan, kemudian mengategorikan ukuran lele, kecil dan besar. Kedua, menyiapkan dan membuat bumbu lele. Di antaranya ada bawang putih, ketumbar, sedikit kunyit. Semua bahan itu dihaluskan di cobek. Tak lupa diberi garam dapur. Setelah bumbu halus, dicampurlah lele dan bumbu ke dalam baskom besar. Ketika mencampurkan diberi sekit air, lalu dibiarkan beberapa menit supaya bumbu merasuk ke dalam ikan lele.

Wajan panas, lele siap digoreng. Setalah semua selesai, mulai dari goreng lele, membuat sambal, dan lalapan, serta minuman es degan, kami menyantap makanan penuh lahap. Maklum, karena aktifitas pra masak cukup menghabiskan energi. Tapi tidak papa, senang rasanya karena kami mengerjakan dengan kerja sama, gotong royong.

***

Kelulusan sekolah dasar sudah berlalu. Setelah dinyatakan lulus, kemudian syukuran kecil-kecil, aku mulai dihadapkan pada pilihan sekolah. Ayah menginginkan aku untuk ke Tsanawiyah. Sedangkan aku ingin di sekolah umum saja, SMP. Motivasi Ayah memasukkan aku ke Tsanawiyah supaya ilmu agamaku bertambah. Senang sebenarnya belajar agama, apalagi sejak masuk sekolah nilaiku dimata pelajaran PAI selalu mendapatkan nilai 9, sementara pelajaran yang lain ya 9 dan 8. Aku takut masuk di sana. Setelah mendengar cerita dari berbagai orang, sekolah di sana nantinya harus mampu hafalan surat-suratan, bisa mengerjakan dan berbicara bahasa arab. Aku tidak siap.

Belajar banyak, mendalami agama kuyakini baik. Akan tetapi, bagaimana aku bisa membayangkan bila setiap hari harus setor hafalan surat dan bahasa arab. Sudahlah, aku putuskan untuk tidak. Daripada aku tinggal di rumah sendiri dengan perasaan yang tiidak nyaman. Aku menjadi ingat kata guruku saat TK, "Semua tempat adalah doa. Cintai tempatmu berpijak. Jika tidak, kau tidak dapat apa-apa." Kata-kata itu membanting kepala. Tak ingin aku tak dapat apa-apa. Sebab, cita-citaku besar. Cita-citaku tinggi, dan cita-citaku mulia. Kalau saja aku di sana tidak senang, nyaman, dan bahagia, bagaimana aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan idam-idamkan.

SMP 1 Kec. Sawoo adalah rumah yang kupilih setelah lulus dari sekolah dasar. Aku bersama teman di hari kedua pendaftaran mulai memasukkan persyaratan. Mulai dari foto, tanda kelulusan, formulir pendaftaran, nilai rapot, dan persyaratan lainnya. Tiba di bibir sekolah baru, kutemukan wajah, nuansa, aroma, dan warna baru. Berbagai teman dengan latar belakang berbeda. Aku mulai berkenalan dan diajak kenalan dengan mereka. Beberapa mereka, ada yang berasal dari Desa Sawoo, Pangkal, Kori, Ngindeng, Tumpuk, Blumbang, Kleco, Kacangan, Ngondang, Grogol, dan lain-lainnya. Dari berbagai pendaftar, syukurlah aku diterima sekolah di sana. Kala itu, ada sekitar 7 anak tidak diterima karena nilai ujian tidak mencukupi, yaitu hanya 17 koma sekian.

Pendaftaran sudah, pengumuman sudah. Tibalah, sebagai siswa harus melewati msa MOS. Semua siswa dilakukan dengan berbagai kegilaan dari Kakak kelas. Sebagai contoh saja, rambut dikepang sebanyak 10 di hari pertama, kemudian 15 di hari kedua, dan 20 di hari ketiga. Belum tas yang harus dibawa, juga tidak berwujud. Karung ghoni, tas becek, tas kresek, tahu kan? Ya, itulah tas yang dipakai sekaligus wadah untuk memasukkan semua persyaratan yang harus dibawa. Kesal. Kesal sekali kalau ingat masa itu. Betapa bodohnya aku mau dikerjain Kakak angkatan semacam itu? kalau saja aku sadar bahwa itu bentuk pembullyan aku pasti menentang diminta dan disuruh barang-barang yang aneh-aneh itu.

Beruntunglah, hanya berjalan 3 hari masa kebodohan itu. Segera aku menikmati pelajaran. Hari pertama masuk kelas, diadakan sesi perkenalan. Aku ditempatkan di kelas C. Kelas yang berisi 28 siswa itu beragam. Mereka berasal dari berbagai sekolah. Ya, hanya aku sendiri yang tidak memiliki teman satu lulusan. Sementara teman lain, paling tidak satu pasti ada. Karena itulah saat mencari teman duduk, aku bingung. Karena belum terlalu kenal. Saat itu pula, kududuki saja bangku yang kosong. Tak berapa lama, ada yang menyapaku. Cewek. Iya, namanya Firli. Dia dari SD 1 Ngemplak.

Firli anaknya kecil sepertiku. Ya, lebih tinggian dikit dia. Firli ingin duduk di sebelahku. Dengan senang hati, aku memberikan duduk padanya. Hari pertama di kelas, semua masih canggung. Saat istirahat, aku masih duduk-duduk di bangku kelas sendiri. Sementara Firli, teman sebangku itu, sudah keluar duluan tanpa mengajakku. Sesekali aku mondar-mandir di depan kelas. Kulihat beberapa anak bercengkerama di kelas, di luar kelas, di kantin, dan di dekat lapangan kecil depan kelas 7.

Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku dari belakang saat aku berdiri menghadap Barat. Sontak aku kaget. Orang itu adalah Eko Isma Wahyu Setiono. Isma sapanya, mengajakku berkenalan. Kebetulan, kami sama-sama tinggal di Sawoo bagian selatan. Tepatnya, Desa Tumpuk. Desa tersebut hampir perbatasan Trenggalek. Kami sama-sama naik bus ketika berangkat dan pulang sekolah. Isma kala itu, cukup banyak ngobrol, hingga di akhir obrolan. Ia menawarkan pulang bersama. Maksudnya, dari kelas menuju halte bus pulang bersama. Aku pun tersenyum dan mengaggukkan kepala. Semenjak itu, kami sering bersamaan. Tanpa ada janji, kami sering berangkat satu bus. Kemudian tiba di kelas paling dulu. Ya, kalau tidak aku ya dia. Kalau aku sih kadang terlambat karena terkadang bus yang datang dari Trenggalek sampai di daerahku sudah penuh.

Duduk di kelas 7, satu per satu warna mulai terlukis. Warna bersama teman. Warna bersama guru, dan warna bersama Kakak kelas. Warna-warna itulah menjadi susunan warna yang indah jika diresapi. Hidup, ya hidup adalah warna. Ada warna yang mengenakkan dan warna yang tak mengenakkan jika dipandang dalam jarak dekat dan lekat. Warna bersama teman tak selesai digoreskan. Setiap teman, ada cerita. Apalagi teman saat SMP, khususnya teman sekelas adalah mereka teman yang setia selama tiga tahun. Ya semenjak masuk sampai keluar tetaplah satu kelas, tidak berubah dan dibentuk lagi. Dikesempatan ini, akan aku ceritakan beberapa teman sekelasku terlebih dahulu.

Firly Wijayanti. Teman sebangku yang menyenangkan untuk bercerita. Awal bertemu, gegara ia mencari teman duduk. Gadis bertubuh kurus tipis ini tinggal di Desa Ngemplak Sawoo. Setiap hari berangkat sekolah jalan kaki bersama saudaranya yang juga sekolah di sini. Selain itu, juga ada teman seangkatan yang rumahnya juga sekitar rumahnya. Ia bernama Uun. Mereka pagi-pagi, sekitar pukul 6.10 ia menyusuri jalan sepanjang kurang lebih 1,5 kilometer dengan bersepatu.

Katanya, jalan lebih sehat dan sekaligus senam jantung. Kalau siang ya panas. tapi kalau sudah terbiasa, justru panas dan hujan menjadi sahabat yang paling jujur, katanya. Sesekali, pernah temanku satu ini naik bus. Itupun karena alasan yang jelas, misal bangun kesiangan atau lagi tidak enak badan. Kadang pula ia diantar oleh Ayahnya, ketika pulang kampung. Maklum saat itu ayahnya sedang merantau mencari upah. Atau bahasa keakrapan orang desa golek upo (mencari sesuap nasi).

Agnes Ferninda Exi Wardanu. Sahabatku satu ini adalah sosok yang paling suka bercerita padaku. entah bercerita tentang ayahnya yang akan, telah, dan sudah mempunyai anak dari Ibu yang kedua, tentang adik kelas yang sempat dipacari, tentang makanan kue bolong tengah (kami menyebutnya) yaitu donat, dan tentang tempat-tempat wisata. Serta, kadang ia bercerita tentang sahabat-sahabatnya yang sempat mencuri perhatiannya. Iya, seperti kisahnya saat kami duduk di kelas 1. Cerita punya cerita ia naksir dengan kakak angkatan. Tak dinyana-nyana, ternyata lelaki taksiran itu sedang PDKT dengan sahabat kecil.

Semenjak tahu itu, perlahan Agnes melepas rasa kagum dan cintanya pada Kakak kelas itu. sampai kabar terakhir, keduanya sudah jadian. Sungai banjir. Hujan membadai. Guntur memecah cakrawala. Agnes menangis. Antara kaget dan tak percaya kabar itu. tapi boleh buat, mereka memang saling suka. Sementara, Kakak itu belum kenal, bahkan tahu sahabatku itu. Bagaimana akan suka, coba?

Selain cerita ketertarikan terhadap lawan jenis. Paling sering Agnes bercerita tentang keluarganya. Ia rindu pada Ibunya yang sekarang tinggal di Blitar. Semenjak perceraian dengan ayahnya, ibunya jarang menengoknya. Rindunya terbatas suara ditelepon, dan tulisan dipesan telepon genggam. Setelah gejolak perceraian itu merenggut kebahagiaan. Terdengarlah kabar, bahwa Ayahnya akan menikah dengan seorang wanita.

Dari sekian panjang cerita, tak kusangka calon dan sekarang sosok wanita yang menjadi ibunya itu adalah tetangga desa. Tapi jika ditanya, aku belum pernah tahu dan ketemu dengan orang itu. maklum, ternyata wanita itu lama kerja di luar negeri. Semenjak pernikahan yang kedua itu, Ayah Agnes jarang menjenguknya yang saat itu tinggal bersama Neneknya. Ikut dengan istrinya di Desa Ngemplak Kidul. Belum lagi, semenjak istrinya mengandung dan memiliki anak, Ayah Agnes lebih jarang ke rumah lama. Sebab, sibuk dengan anak dan istrinya. Ditambah pekerjaannya yang memungkinkan hadir setiap hari di kantor desa.

Tiga tahun, kami bersama. Kami mengikuti ekstra yang sama yaitu PMR. Kami menghabiskan waktu di SMP untuk bergabung di ekstra itu. Asyik, menyenangkan, penuh tantangan. Kami dikenalkan dan diajarkan bagaimana menjadi seorang penolong di lingkungan sosial. Diajarkan pula bagaimana cara membiasakan diri menjaga kesehatan. Mulai dari kebiasaan mencuci tangan dan kaki. Bisa dihitung jari, Agnes pula pernah menjemput aku saat kami ada ekstra PMR. Ia menjemputku ke rumah di hari Minggu siang.

Kejadian yang paling aku ingat adalah, saat kami berangkat bersama. Dia menjemputku, kebetulan masih mandi. Ayah dan Ibuku menjamunya dengan membuatkan pelem kocok (buah mangga yang dipotong seperti rujak, lalu dikocok dengan bumbu garam dan gula secukupnya. Bisa juga diberi cabe untuk menambah citarasa). Bertempat di bawah pohon belimbing samping rumah, mereka menikmati itu. Canda dan tawa terdengar dari kamar. Aku senang, Agnes bisa tertawa di rumahku karena hari-hari itu tengah dirundung kesedihan gara-gara Ayahnya yang lebih memilih istri keduanya daripada menemaninya keluar, entah ke mana.

Dwi Saputro, teman beda kelas ini cukup membuatku harus banyak mencuri waktu. Berawal dari kesukaan band yang sama, yakni ST12. Kami sering bertemu untuk sekadar berbagi lagu atau menyanyi bersama. Kala istirahat tiba, kami saling bertemu di kelas atau di depan kelas. Temanku satu ini royal dan cukup menyenangkan. Kadang ia juga ulah yang aneh-aneh. Pernah terjadi ketika ada latihan Pramuka. Karenanya terlambat bosan mendapat materi tentang pramuka, ia bermain klotekan sambil bernyanyi. Kabetulan Kakaknya tertib, jadi Dwi dihukum untuk menyanyi di depan sekitar 100-an anak pramuka sambil joget. Tanpa malu, ia melakukan itu.

Gilang Adi Prasetyo. Teman satu ini paling beda di antaranya teman lelakiku. Hitam dan kurus. Meski begitu, temanku ada yang suka dengannya. Entah sudut mana yang disukai. Kalau aku sih berteman dengannya ya, gegera dijadikan 'mak jomblang' temanku itu. Tepat, di kelas 1, aku belum punya telepon genggam. Saat itu aku dimanfaatkan temanku untuk hubungan dengannya. Jadi cerita punya cerita, temanku SMS-an dengan Gilang atasnamaku. Ahh, kurasa ini benar-benar konyol. Itulah awalku bersahabat dengan Gilang. Teman lelakiku yang dijuluki 'lutung' itu.

Tak lama, akhirnya terbongkarlah penyamaran itu. Dia sempat marah. Bagiku ya biar tak ambil pusing. Tapi di sisi lain aku kasihan dengan sahabat kecilku. Aku tahu dia suka dengan lutung itu. Jadi, terpaksa aku berusaha baikan dan menyatukan kedua sahabatku itu. Akhirnya mereka pun ... Sementara aku, sering dijadikan 'nyamuk' saat mereka bertemu. Tiga tahun lebih sedikit mereka pacaran, akhirnya mereka putus entah gara-gara apa. Meski begitu keduanya masih komunikasi meski terbatas waktu.

Tika Laysa, Surya Wiyuni (petrik), Candra, Siti Nurjanah, dan masih banyak lagi temanku saat SMP. Ya, kalau dihitung satu kelas saja ada 36. Sedangkan satu angkatan ada lima kelas dengan masing-masing tiga puluh menuju empat puluh. Mereka semua teman-temanku dan ditambah Kakak senior. Cerita di SMP adalah awal aku memiliki banyak teman dari berbagai daerah. Karenanya, asyik tahu gaya mereka.

Di SMP ini pula aku kenal yang namanya mencontek dengan membawa buku saat ujian. Ya, kecurangan itu diajari oleh temanku. Sebenarnya, temanku bukanlah tipe pencontek. Tetapi karena iri dengan mereka yang rata-rata bisa mendapat nilai bagus. Akhirnya, kecurangan itu terjadi. Malah tragisnya, ketika ujian akhir sekolah dan kebetulan teman sebangku adalah Kakak senior. Aku diajari mencontek.

Tiga tahun. Kisah di balik cerita. Cerita di antara kisah satu per satu tergores. Bagaimana pelajaran di mulai mengenal hati mulai goyah. Ketertarikan antar lawan jenis mulai tumbuh tunas-tunas. Ia menjalar ke setiap sudut kekosongan. Ada ruang sepi. Ada waktu yang indah bila diisi. Ada pula tempat yang mau dinaungi. Tergodaku, pada beberapa teman dengan mengisi di selakangan waktu dengan hal yang sebenarnya menakutkan, tapi mengasyikkan. Ya, aku mulai mengenal 'pacaran' di masa ini.

Ada hasrat untuk memiliki. Namun, ada ketakutan yang jauh. Ya, kisah cinta yang kudengar, memang ada kalanya suka dan duka. Seperti dalam cerita-cerita yang sering aku baca di novel saat di perpustakaan. Tragis. Cinta kata sebuah lagu Dmasiv sebagai 'pembunuh'. Sementara menurut Dirly, cinta itu membodohkan. Sedangkan kata, Armada, cinta itu buta.

Bercerita tentang cinta, sebenarnya ada cinta yang tak rupa pembunuh, tak bermaksud membodohkan, dan tak menjadikan buta. Cinta suci. Cinta tulus. Juga cinta dari hati tanpa pamrih. Cinta dengan perbuatan, bukan saja kata manis. Cinta orang tua adalah cinta nyata. Kan kuceritakan bagaimana cara kedua orang tuaku mencintaiku mendampingi masa di mana aku mulai mengenal cinta dari luar, yang kutahu cinta semu itu akan menjadi pembunuh besar.

Sesal. Memikirkan cinta menyita waktu belajar. Fokus pada masa depan. sempat gegara galau, gelisah tak jelas. Berdampak pada nilai rapot. Bilamana dirangking aku di awal semester kelas 1 mendapat peringkat ketiga. Berjalan ke sini nilaiku naik turun gegara persoalan cinta. Tetapi, tersadarku terlalu lama. Menikmati masa kebodohan.

Ayah dan Ibu adalah wujud cinta nyata. Selama aku belajar di SMP, setiap pagi selalu membangunkanku. Pukul setengah lima, Ayah menjenguk kamar guna membangunkanku. Hal itu dilakukan setelah ayah usai salat subuh di masjid. Dengan sabar, aku dibangunkan. Kadang pula, Ibu juga membangunkan. Yang jelas ayah dan ibu tertib membangunkanku. Setiap pagi pula, Ibu memasakkanku. Ya, setiap pagi beragam menunya. Kadang lauk tempe goreng, tumis kangkung, kerupuk, nasi kering, mie goreng, telur dadar, dan masih banyak lagi. Sarapan sederhana, yang penting pagi perut diisi. Keluargaku, sarapan itu wajib. Aturan ini berlaku sejak dulu. Terlebih saat aku mulai sekolah, kata Ayah sarapan wajib. Kalau tidak sarapan tidak usah berangkat sekolah.

Sampai hati aku ingat, dulu semasa TK, kadang karena tidak ada bahan untuk sarapan. Sebelum masuk kelas, Ayah mengajakku ke toko kecil yang menjual sarapan seperti nasi pecel. Aku sering sarapan di toko itu. ayah dengan kasih sayangnya menyuapiku. Karena jika tidak aku akan terlambat masuk. Maklum makanku lama sekali waktu itu. berjalan ke sini, hingga aku SMP, aturan itu tidak berubah. Apapun makanan di rumah, harus sarapan seadanya. Baju seragam sekolah, terkadang masih juga disetlikakan oleh Ibu. Sebenarnya aku sudah bisa menyetrika baju sendiri. Namun, dasar aku yang pemalas jadi tidak menyempatkan waktu. Yah, rasa capek kadang menyerang. Sebab, pagi-siang sekitar pukul 1 di sekolahan. Sampai rumah kadang jam setengah tiga sampai jam empat. Pokoknya sesuai kondisi, karena terkadang busnya terlambat. Kalau tidak begitu dari kota sudah penuh.

Itulah tiga tahun awal menikmati naik Bus. Berangkat dan pulang dari sekolahan naik Bus. Cerita terlambat karena tidak dapat bus, cerita harus menggantung di bibir bus, menjadi cerita tersendiri dalam hidup. Aku sangat menikmati. Meski kadang kesal dan jengkel banyak goda akan dan usai sekolah. Hingga pernah di suatu ketika, harus menelepon rumah gara-gara belum mendapat bus, sementara waktu sudah dikumandangkan adzan. Kalau sudah begitu, Ibu paling khawatir. Dan selalu menungguku di tepi jalan raya, menjemput pulang. Maklumlah, keluarga kami belum memiliki kendaraan pribadi. Jadi urusan keluar-masuk rumah, kami memanfaatkan Jasa Raharja.

Pulang sekolah, di hari Senin-Kamis, aku membantu mengajar di TPA. Ya, setelah dulu menjadi santri, sekarang ketika duduk di kelas 2, aku diminta membantu mengajar---berbagi ilmu dengan santri baru. Kegiatan di TPA cukup padat. Selain mengajar pada sore hari mulai pukul 2-5, ada pula kegiatan rutin setiap hari Jumat mengikuti pelatihan qiro' dan tartil di Desa Mlarak. Tepatnya sekitar Pondok Darussalam Gontor, atau Pasar Gandu, Siman. Kemudian, pada hari Minggu wage, ada arisan rutin TPA se-Kortan Sawoo.

Tiga tahun masa SMP terlewati begitu indah. Tentunya, indah karena mampu melewati semua tahap yang ada. Sukanya. Dukanya. Jika dipikir semuanya terasa berat. Namun, begitu kita menjalankan dan melaksanakan semua, rasanya berubah ringan. Dan, kemudian hanya terlontar kata 'oh' di akhirnya. Ya. Dari situ aku yakin. Semua keadaan, tugas kita adalah membuatnya sahabat. Kita harus memandang dan berpikir mampu melakukan, menuntaskan, hingga mencapai sesuatu. Kendati itu, apa yang ada dipikiran tentang bagaimana rumitnya, bagaimana ribetnya semua itu hanya dalam pikiran semu. Yakinlah, bisa untuk mencoba dan melakukan sebelum ada kata 'ya sudah'.

***

Menjadi pelajar tingkat sekolah menengah atas menjadi sebuah anugerah tersendiri bagiku. Mengapa demikian? Karena banyak dari teman lulusan SMP yang tidak melannjutkan studinya. Seperti denganku. Dulu, Ibu sempat iya atau tidak menyekolahkan aku lagi. Sebab, biaya sekolah pasti ramai, adikkku masih sekolah yang nantinya akan banyak kebutuhan, kebutuhan rumah yang terus meningkat, sementara terkadang ada 'seretnya' masalah pemasukan uang. Mengandalkan panen rumah tidak bisa menjamin 80% cukup. Karenanya, harus ada ide bagaimana bis sekolah lancar, pas-pasan, ya paling tidak minimal tercukupi.

Ayah menyetujui, mendukung penuh niatku ingin melanjutkan studi. Bahkan, di suatu hari, Ayah sempat berkata, "Anak zaman sekarang dipasrahi cangkul, belum tentu jadi. Tapi kalau dipasrahi ilmu, insya allah mereka ada keinginan lebih dibandingkan lainnya." Masuklah aku mendaftar sekolah di SMA 1 Jetis. Banyak orang bertanya-tanya kenapa aku masuk SMA bukan SMK seperti teman lainnya. Singkat saja, aku merasa di SMK akan banyak praktik sedikit pengetahuan. Sedangkan di SMA adalah sebaliknya. Aku tahu hidup itu memang yang paling dibutuhkan adalah praktik. Namun pikirku, praktik itu kan berawa dari pengetahuan yang diterima. Lagi pula, saudaraku Aziz ia masuk SMA setelah tamat SMP. Dan, kebetulan di kampungku banyak yang mengambil SMA daripada SMK.

Pagi-pagi buta, aku dibangunkan Ibu. Rasa malas menjadi teman. Semenjak libur setelah kelulusan---wisuda, banyak waktu yang kusia-siakan. Termasuk bangun pagi yang terlambat. Sebenanrya usai subuh, aku sudah bangun untuk salat. Namun, karena ribuan alasan, entah dingin, malas, masih ngantuk akhirnya aku memutuskan untuk menarik selimut ulang. Seperti pagi itu. tepat pukul setengah lima, Ayah membangunkanku untuk salat. Nah, karena masih kantuk gara-gara tidur kemalaman, aku tarik selimut. Bentar kemudian, pukul lima Ibu gantian membangunkanku.

Masih hangat di tidur pagi. Berusaha aku memosikakan bangun sebelum Ayah atau Ibu marah. Sebab, hari itu adalah hari pendaftaran SMA. Bersiap-siap. Semua berkas persyaratan aku masukkan dalam tas. Tak lupa, aku berkali-kali melakukan cek-up takut ada persyaratan yang tertinggal.

Tanjap gas! Aku bersama saudaraku Aziz menuju calon sekolah. Kebetulan, saudaraku satu ini juga belajar di sana. Dia sudah kelas 3, sedangkan aku akan kelas 1. Tanpa tes, hanya mengiso formulir, dan wawancara sedikit. Tak nyana, panitia PPDB ada yang sudah aku kenal. Beliau Bu Siti. Awal kenal Bu Siti adalah gara-gara saya pernah ke rumah guru SMP, bernama Bu Utik Handayani. Bu Utik, sapanya adalah guru bahasa Indonesia. Cantik, pintar, ramah, murah senyum, kata-katanya motivatif, dan ke-Ibuan. Beliau masuk daftar guru idola yang kesekian. Ya, tersebab baru diajar ketika kelas 2, itupun bergantian dengan guru satunya Bu Endang.

Masa pendaftaran usai. Hari pertama masuk kelas, terasa begitu asing. Kulihat satu per satu teman kelas. Mereka dari berbagai desa, mulai dari ujung timur, utara, selatan, dan barat. Teman yang aku kenal pertama kali adalah Anis Fitriah. Dia anak desa Maguan. Lulusan dari SMA 2 Sambit. Semasa MOS, aku sebenarnya sudah tahu dia saat perkenalan di hadapan semua teman. Hanya saja aku belum ngbrol saat itu. Justru ketika MOS, teman yang aku kenal adalah cowok. Dia asli Jawa Barat yang saat itu menetap di Bibis Sambit. Anaknya baik, ramah, enak diajak ngbrol, dan playboy. Aku hampir saja kepincut dengannya.

Kemudian ada Afandi. Afandi adalah teman kedua yang aku kenal  saat MOS. Sebab, masa MOS, aku setiap hari bersamanya. Tepatnya menunggu bus bersama. Afandi asli Maluku, tapi menetap di desa Blumbang Sawoo. Dia anaknya ramah, mudah bergaul, asyik, lucu, tidak bisa berbicara bahasa Jawa, dan gupuhan. Ia paling panik kalau ada apa-apa, misal tidak mendapat bus hingga pulang sore, atau panik karena perlengkapan MOS tidak terpenuhi. Tiga tahun, sampai lulus Afandi menjadi sahabatku. Bahkan, meski terpisah kelas dia IPA-1 dan aku IPA-2 kami pernah belajar bersama dalam rangka mengikuti lomba OSN Geografi. Aneh bukan?

Ya, meski kami anak IPA. Tetapi oleh guru, bernama Bu Edy diajukan untuk lomba OSN Geografi. Karena di antara siswa masa kelas 1 yang menurut Bu Edy lebih menguasai mata pelajar itu, adalah aku dan dia. Aku senang-senang saja saat ditawari maju di lomba tersebut. Karena di sisi lain, suka dengan mata pelajaran IPS Geografi. Ya, dari pelajaran itu, aku seakan melihat kejadian alam, di langit, di bumi, di luar angkasa, dan seluruh jagat raya. Aku jadi tahu, tentang dunia---gejala sosial dan lainnya.

Afandi, aku merasa kehilangan padamu. Setelah berpisah kedua kalinya, karena melanjutkan sekolah, ada kenangan kebersamaan yang terbesit. Suatu ketika, aku merasa teramat kehilangan padamu, karena kau telah dipanggil Tuhan gara-gara sakit paru-paru. Kau terbaring di rumah sakit sekitar kampusmu di Solo. Tubuhnya yang dulu gendut menjadi kurus. Semoga kau tenang di sana, ya Afandi.

Terlalu mendayu jika bercerita tentang masa lalu. Okelah, lanjut. Masa di kelas satu begitu banyak yang aku persiapkan---adaptasi dengan teman, dan lingkungan utamanya karena sekolahku dekat dengan sawah. Kalau musim panen, misalnya selalu terganggu oleh suara tlaktor membalikkan tanah yang akan ditanam. Kemudian, suara selep padi ketika memanen. Kadang pula, ada ular kecil yang masuk kelas. Entah itu ular sawah atau ular sungai. Sebab, depan kelasku itu ada sungai kecil.

Masuk di kelas 2 SMA, aku sudah pandai bersahabat dengan lingkungan, teman, guru, dan semuanya. Bahkan, aku cukup terkenal di sekolah. Alasanya: (1) penjual kripik keliling kelas saat istirahat, (2) pernah menjuarai lomba qiro antar kelas, (3) menjadi bagian dari OSIS, (4) sering terlambat dan pulang sekolah paling akhir karena tidak dapat bus, dan (5) termasuk siswa datang paling awal.

Sejak kelas 2, aku melakukan bisnis kecil-kecilan. Yaitu jualan kripik keliling kelas saat istirahat. Kripik yang aku jual, ada kripik kentang, ketela rambat, singkong, dan pisang. Kripik-kripik itu ada empat varian, yaitu asin, gurih tawar, manis, dan pedas. Nah, dari sekian teman-teman yang paling disukai adalah pedas, dan asin. Setiap hari aku membawa 20-30 bungkus kripik seharga lima ratusan. Bisnisku kripik banyak yang suka. Bahkan ada beberapa teman yang sempat memborong, ada juga yang pesan khusus.

Tak hanya teman-teman. Para guru pun banyak yang membeli. Biasanya kalau ketika mengajar, beberapa guru membeli di kelas. Kadang pula membeli saat aku melewati kantor guru. Ya, awalnya aku malu mau menawarkan kripik pada guru-guru. Tapi siapa yang menduga, sampai ada dua, tiga, empat guru yang memesan kripik untuk acara arisan keluarga dan camilan di rumah. Senang rasanya. Banyak yang suka dengn kripik. Karenanya itu, aku PD saja saat menjajankan. Hasil jualan, kembali ke modal untuk membeli minyak goreng. Kalau untuk bahan adalah hasil kebun. Beruntunglah, di kebun, menanam bahan untuk kripik.

Setiap pulang sekolah, Ibu mulai menggoreng kripik. Sementara Ayah memasah calon kripik. Usai aku makan siang, segera menggantikan Ibu menggoreng. Hmm, jangan ditanya, meski aku sedikit manja, aku juga bisa melakukan urusan rumah tangga. Terbukti, Ayah paling suka kalau aku masakkan sayur sup dan ikan goreng. Sedangkan adikku, mendapat bagian membungkus kripik itu. namun sebelum itu, kripik-kripik itu aku bumbui dulu, misal manis atau pedas. Kalau sudah selesai barulah dimasukkan ke bungkusan kripik. Terkadang misal gorengnya sampai sore hari, kripik-kripik itu dibungkus pada malam hari. Baru paginya, kripik siap dijualkan.

Bisnis kripik berjalan hingga kelas 3. Tepat di pertengahan semester 1, bisnis itu perlahan tak tertib karena bahannya menipis. Tak apa, aku sudah mendapat banyak pengalaman bisnis kecil-kecilan. Dari pengalaman bisnis kurang lebih satu tahun lebih itu, ada pelajaran penting jatuh-bangun saat berbisnis itu biasa. kita perlu ingat, ketika kita di atas, tak boleh sombong, lupa bagaimana perjalanan mulai dari merangkak, kemudian bisa berdiri. Sedangkan ketika di bawah, kita tak boleh menyerah. Akan ada waktu di mana di atas, karena roda terus berputar.

Aku adalah pemimpi kecil. Sejak kecil mimpiku besar. Aku memiliki cita-cita ribuan yang ingin aku capai semua. Ingin, ingin, dan selalu ingin selalu muncul. Semua cita-cita kutulis di buku catatan harian. Hampir seratus cita-cita yang aku tulis, termasuk cita-cita ingin menjadi pawarta di media. Ya, aku pernah berkeinginan menjadi pawarta. Sebenarnya harapan itu tidak pernah terpikir. Hanya saja, ada salah satu guru yang pernah mengatakan, "Letakkan potensimu pada tempatnya. Kalau kamu pandai bicara bisa menjadi penyiar seperti di radio dan televisi."

Kata-kata itu dilontarkan Bu Edy saat kami duduk di depan ruang TU. Beliau menilai aku pandai bicara. Karenanya, beliau menyarankan untuk menyumbangkan suara di media. Usai obrolan yang cukup panjang itu, aku selalu teringat. Tak sadar bahwa ada ada kelebihan dibidang dunia suara. Tak nyana, suntikkan kata-kata itu menjadi gema dalam diri. Aku belajar menjadi penyiar secara mandiri lewat mendengarkan siaran di radio. Mengapa radio tidak televisi? Karena aku tidak memiliki televisi. Ehh, tepatnya punya, tapi tidak bisa dipakai. Lalu, apa artinya?

Aku hobi mendengarkan acara di radio. Ya, memang itu hiburanku satu-satunya. Hp, sebenarnya ada. Tapi kendala paketan. Jadi hiburan di Hp ya mendengarkan lagu juga foto-foto. Setiap hari, ketika tidak ada kegiatan aku banyak menguping radio. Siaran yang biasa aku putar adalah Gema Surya, Romansa, Rahayu, Duta, Songgolangit, dan masih banyak lagi. Kadang aku coba, menirukan gaya siaran para penyiar radio.

Selamat pagi pendengar, kembali bersama saya, Suci Ayu Latifah di pagi yang cerah ini. Kembali radio kesayangan Ponorogo ... menyapa hari-hari Anda. Pada kesempatan ini saya akan menemani pagi Anda dua jam on air. Beranjak pukul 8 hingga 10 waktu indonesia barat.

Salam buat pendengar yang sedang bekerja, tetap semangat. Dan kepada pelajar Ponorogo, terus belajar menggapai cita-cita. Ya, kali ini dalam tema ... bagi pendengar kesayangan radio ... bisa titip salam dan request lagu. SMS atau telepon di nomor .... Oke, saya tunggu. Mari bersama kita dengarkan sebuah lagu dari .... Cekidot.

 

Demikian itu latihan ketika aku menjadi penyiar. Senang rasanya bisa menyapa saudara di udara. Tak hanya harapan. Suatu sore, ketika mendearkan stasiun radio 99,2 FM radio Songgolangit, menginformasikan lowongan menjadi penyiar. Aku tertarik mendengarnya. Kemudian aku konsultasi kepada orang tua untuk mencoba memasukkan lowongan. Awalnya orang tua tidak mengizinkan, dengan alasan: (1) lokasi siaran jauh dari rumah, (2) masih sekolah, (3), takut mengganggu prestasi dan kegiatan sekolah, (4) sebentar lagi fokus belajar untuk ujian.

Benar, alasan-alasan itu. Tapi, aku tidak menyerah, aku terus meyakinkan kepada kedua orang tua bahwa bisa membagi waktu sebaik mungkin. Akhirnya, setelah beberapa pertimbangan, ayah dan ibu memberi kesempatan. Keduanya mengizinkanku memasukkan lowongan dan melakukan masa training selama kurang lebih tiga bulan. Bismillah, lamaran aku kirimkan, dan diterima salah satu pekerja di sana. Yaitu Mas Rizki. Setelah banyak mengobrol, ternyata Mas Rizki belum lama menjadi penyiar di situ. Dia banyak cerita masa trainingnya. Ya sukanya apa dukanya apa. Dia masih kuliah di IAIN semester 5 jurusan PAI.

Selang beberapa waktu, setelah cukup mengobrol, aku pamit pulang. Namun sebelum itu, datanglah senior penyiar laki-laki. Kami sempat ngobrol sebentar. Baiknya, laki-laki bertubuh tinggi itu mengajakku masuk ruang on air. Ya, perkenalan awal katanya. Bagaimana kondisi saat on air. Alangkah terkejutnya aku. Ada perangkat-perangkat yang dioperasikan. Berhadapan dengan mikrofone, komputer dan sound.

Tak berapa lama, aku segera pamit karena hari sudah sore. Di perjalanan, aku membayangkan saat on air. Apa yang harus aku lakukan, lagu apa yang aku putar, dan bagaimana supaya pendengar tertarik dengan acara siaranku. Dan yang paling penting, bagaimana cara mengondisikan suasana siaran asyik dan enak didengar, tidak garing. Aku terus berlatih siaran. Saat masak, di kamar mandi, saat menyapu, dan sebelum tidur. aku membayangkan menjadi penyiar yang banyak digemari pendengar. Doaku sebelum tidur.

Masa training. Didampingi Kak Vegha, aku siaran. Pertama kali siaran aku duet dengan penyiar senior itu. Sedikit, sedikit aku masih terlihat gugup dan kebingung. Namun, setelah berjalan ke sini mulai akrab dengan kondisi. Perlahan, aku pun dilepas untuk membawakan acara sendiri. Saat itu, yang aku bawakan adalah acara campursari. Karenanya itu, aku banyak mencari tentang lagu campursari, supaya ketika mengobrol via telepon dengan pendengar tidak terlihat kurang tahu lagu yang diminta. Ya, seakan-akan saat on air saya harus terjun secara totalitas.

Menjadi bagian dari tim siaran terasa ada tantangan sendiri. Bagaimana kita diminta membawakan sebuah acara dengan asyik, renyah, dan hati-hati. Mau dibawa dan hendak ke mana semuanya tergantung pada pembawa acara. Kelancaran dan keluwesan harus dilatih. Keakraban komunikasi sangat diperhatikan. Kita berbicara, suara di dengar oleh ribuan telinga. Kalau membawakan acara dengan baik akan ada nama, dan penilaian dari para pendengar.

Di suatu waktu saat siaran, ada seorang penelepon. Ia mengenal siapa aku. padahal ketika siaran, aku menyebutkan nama samaran. Ternyata, dia adalah temanku SMP. Ya, jelas saja ia kenal. Sebab, dia termasuk dekat denganku saat SMP. Kebetulan pernah satu kelompok saat melakukan perkemahan. Jelasnya, dia hapal dengan suaraku, yang cempreng dan khas ini.

Belum ada satu tahun berkecimpung di dunia penyiaran, aku mendadak tidak ada kabar. Tidak siaran. Tidak masuk kantor. Aku keluar dengan kasar-tidak pamitan. Alasan ini aku lakukan karena takut bila ada yang mengikatku, seperti Mas Ryan. Kekhawatiran kedua orang tuaku benar. Mereka pernah bilang, kalau sekolah disambi kerja, nanti akan ada masalah di belajar. Hal itu aku rasakan benar. Bukan nilaiku turun tidak. Akan tetapi, fokus belajar untuk ujian jadi terbelah karena kepikiran siaran. Akhirnya, aku memutuskan mengundurkan diri dengan cara tak sopan.

Ketika beberapa rekan menghubungi, awalnya aku tidak menjawab. Hingga senior menghubungi via telepon. Aku tidak angkat tapi setelah itu kukirimkan pesan singkat pengunduran diri. Untungah mereka mampu memahami. Pesannya, aku diharapkan bergabung lagi setelah urusan ujian telah usai. Aku tidak menyanggupi iya. Dan juga tidak menolak.

***

Satu per satu ujian terlewati. Mulai dari try out hingga tiga kali, lalu dilanjut ujian sekolah, baik praktik maupun tulis, dan terakhir ujian nasional. Setiap hari aku berlatih mengerjakan soal-soal ujian. Di antara keenam mata pelajaran: bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Matematika, Kimia, Fisika, dan Biologi, yang paling aku suka adalah bahasa Indonesia. Kemudian Kimia dan Biologi. Matematika adalah pelajaran yang biasa saja, tidak suka dan suka. Karena aku merasa suka misal bisa mengerjakan soal dan jawabannya ketemu. Tetapi tidak suka, misal mengerjakan tapi jawabannya tidak ada di opsi jawaban.

Sedangkan bahasa Inggris tidak terlalu suka karena sejak dulu memang tidak suka mengerjakan soal Inggris. Yang kusuka adalah membaca teks bahasa Inggris. Fisika, sebenarnya lumayan suka. Tetapi sukanya diurutan empat setelah Biologi. Cara belajarku menghadapi materi berhitung, aku membuat potongan kertas kecil-kecil. Dari kertas-kertas itu, kemudian aku tulis rumus-rumus penyelesaian, dan aku tempel di pintu. Sampai sekarang tempelan rumus itu masih ada.

Ujian sekolah berlangsung. Selama satu minggu penuh, fokus pada ujian tulis. Kemudian ujian lisan dan praktik di minggu selanjutnya. Ujian praktik yang paling aku suka adalah pertama, mata pelajaran Biologi. Yakni ada praktik uji makanan, uji perkembangan tumbuhan, hafalan nama-nama tulang manusia, menggambar sel tumbuhan atau hewan, dan lainnya.

Ujian Biologi bagi saya cukup menguras ingatan karena aku harus menghapalkan bagian dari tubuh manusia, dibagi menjadi beberapa bagian, seperti kepala, tulang belakang, tangan, dan kaki setiap bagian itu diminta menghapalkan nama tulang menggunakan bahasa latin. Selanjutnya, ujian yang hampir sama, kedua adalah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Ujian praktiknya, berupa hapalan beberapa surat pilihan dan wajib, nama dan sifat Allah 99 (asmaul husna), kemudian ada praktik wudhu, tayamum, mengurusi jenasah hingga menguburkan. Pengalaman lucu ketika ujian ini adalah ketika tidak hafal bacaan salat jenasah, aku mencontek di kertas kecil. Kertas itu aku genggam.

Ketiga, ujian seni budaya. Yaitu mendapatkan tantangan untuk membawakan sebuah tarian bebas, lalu dipentaskan dihadapan semua warga sekolah. Kali itu, aku lupa tari apa yang aku tarikan. Yang jelas komentas penonton lumayan bagus, hanya saja, beberapa gerak memang belum aku kuasai. Aku rasa memang tarian itu cukup rumit, dan waktu latihan kebentur dengan lainnya. Selain mata pelajaran itu, sebenarnya masih ada serpihan-serpihan ingatan, seperti dalam mata pelajaran fisika, yaitu praktik mengukur berat suatu benda. Kemudian mengukur jarak jatuhnya suatu benda. Nah ujian inilah yang paling gagal menurutku. Karena, aku di awal memang tidak terlalu paham praktik di pelajaran fisika.

Ujian praktik sekolah terlewati. Tinggal satu ujian lagi, yaitu ujian nasional. Masih tekun dalam belajar. Kala bosan menyapa, aku obati dengan bernyanyi. Ya, aku suka sekali menyanyi. Bagiku, ketika aku bisa berteriak menyanyikan lagu kesayangan, semua beban, rasa, dan apapun yang tidak enak lenyap sendiri. Kabur bersama angin lewat suara. Lagu adalah hipnotis. Mampu menyemangati, mampu membangkitkan. Tapi lagu pula mampu menghanyutkan dan membuat kita larut ke dalamnya.

Lewat. Ujian nasional usai. Aku tak ingin banyak menceritakan soal ujian buruk itu. Karena aku tahu, kala itu hasil ujian tidak berarti apa untuk masuk ke perguruan tinggi. Bahasa kasarnya ujian hanyalah simbolik. Syarat dari kelulusan. Itu saja. Ribuan kebersamaan sebentar lagi usai satu per satu. Bersama teman, juga bersama guru.

Guru masa menengah atas yang paling meninggal sisa di hati adalah Bu Marni, Bu Edy, Pak Agung, dan Pak Slamet. Bu Marni, guru cantik yang mengajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bu Edy adalah guru geografi, sekaligus pendamping ekstra pramuka. Awalnya, aku tidak begitu suka dengan guru ini. Karena galak dan pelit nilai. Namun, karena aku saat kelas 1 ditunjuk untuk ikut OSN Geografi menjadi tertarik padanya. Cara mengajarnya enak, penyampaian materi mudah dipahami. Dan lebih menonjolkan pelajaran yang ada di alam. Misal ketika memelajari tentang jenis batu. Guru itu membawakan beragam jenis dan bentuk batu.

Sementara Pak Agung, adalah guru TIK selama tiga tahun. Meski terkenal sedikit rumit dalam pemberian tugas. Akan tetapi, sebenarnya tidak begitu rumit dalam bayangan. Guru TIK ini, baik sekali. Ia telaten menemani murid-muridnya saat mengerjakan tugas di Lab Komputer. Ketika pukul 2.30, guru-guru lain pulang, beliau menemani muridnya hingga pukul 4.

Aku banyak pengalaman dengan beliau tentang bagaimana membuat blog, poster, slogan, logo, dan banyak lagi. Baginya, aku termasuk murid yang aktif bertanya. Beliau tak bosan, selalu menampung semua pertanyaanku. Senang. Asyik belajar dengan guru yang satu ini. Kalau Pak Slamet adalah guru tersabar. Beliau senantiasa memotivasi murid-murid untuk latihan karawitan. Kebetulan aku menjadi bagian dari ekstra itu sebagai vokal. Tiga tahun berturut-turut aku diminta untuk menjadi vokal (paduan suara) langgam Jawa. Untuk vokal utamanya meminjam salah satu sinden muda di Ponorogo. Namanya Mbak Riska. Syukurlah, selama tiga tahun itu, kelompok kami selalu mendapat peringkat. Hingga juara umum.

***

Kuliah. Ya aku kuliah usai lulus SMA di STKIP PGRI Ponorogo. Mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2015 R. Di kampus aku mendapat teman yang beragam. Ada yang dari Sumatera, NTT, Jawa Barat, dan lain-lain. Mereka memiliki kekhasan yang berbeda-beda. Seperti temanku Ida. Ia berasal dari Flores, NTT. Di Ponorogo, Ida ikut bersama Neneknya yang tinggal di Keniten. Kalau bicara lucu, logatnya khas sekali.

Masuk di dunia perkuliahan, aku mengikuti UKM Himpunan Mahasiswa Penulis (HMP). UKM tersebut merupakan wadah bagi mahasiswa yang suka di dunia tulis-menulis. Alasan mengikuti UKM tersebut karena aku suka menulis, dan ingin menjadi penulis. Sejak duduk di SMP aku sudah mulai suka menulis. Ya waktu itu tulisanku adalah puisi ekspresif. 

Bersambung...

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun