Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Problematika Marketplace Guru: Mau Jadi Guru? Check Out Dulu!

4 Juni 2023   00:45 Diperbarui: 4 Juni 2023   01:01 1188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Animasi dari Pixabay, Gambar dibuat penulis

Problematika Marketplace Guru: Mau Jadi Guru? Check Out Dulu!

Argumen yang dilontarkan pak Nadiem kemarin mengenai Marketplace Guru membuat mahasiswa heboh bukan main, tidak hanya dari semester atas, melainkan juga semester bawah. Hal itu ditandai dengan status mereka yang menggembar-gemborkan Marketplace Guru itu sendiri, seolah Marketplace Guru merupakan blunder terbesar dunia pendidikan abad ini.

Saya kemudian menanyakan kepada mereka apa itu Marketplace Guru, namun nyatanya mereka tidak bisa menjawab sesuai yang saya harapkan, hal yang dalam hal ini membuat saya kecewa berat. Saya percaya bahwa mahasiswa-mahasiswi itu telah terkena penyakit psikologi FOMO (Fear of Missing Out), sehingga artikel ini saya buat bukan hanya sebagai reduksi permasalahan, melainkan juga solusi kepada kawan-kawan saya yang overthingking itu.

Dan maka dari itu, artikel ini akan membahas mengenai Marketplace Guru dengan urutan sebagai berikut; pertama adalah apa itu marketplace guru? Kedua, mengapa Marketplace Guru menjadi masalah? Ketiga, apa yang perlu diperhatikan pemerintah dan masyarakat dalam Marketplace Guru? Keempat, apa yang saya tuntut kepada pak Nadiem Makarim? Dan terakhir, apa solusi yang wajib dilakukan calon guru sebelum datangnya era Marketplace Guru?

Artikel ini saya tulis panjang lebar dan sekali duduk, sehingga saya harap dengan membaca artikel ini maka pertanyaan-pertanyaan mengenai Marketplace Guru sampai akhir bisa terjawab dengan cara yang paling sederhana.


Mari kita bahas!

Apa Itu Marketplace Guru? Mengapa Penting Untuk Dibahas?

Secara sederhana, dari bacaan dan tontonan yang saya lakukan belakangan hari ini, dapat saya simpulkan bahwasanya Marketplace Guru merupakan sistem yang dibuat pak Nadiem Makarim untuk mengatasi masalah dunia pendidikan, yaitu dalam segi masalah finansial guru honorer serta pemerataan pendidikan.

Hal ini merupakan isu penting untuk diselesaikan, terlebih di Indonesia guru honorer begitu banyak dan digaji sangat sedikit. Bahkan tak ayal sampai ada yang menceritakan bahwa guru honorer digaji 150 ribu perbulan, yang tentunya akan membunuh guru itu sendiri.

Guru memang wajib berbasis keikhlasan, akan tetapi keikhlasan tidak bisa mengatasi masalah finansial. Yang artinya minimnya gaji seorang guru merupakan cara terbaik untuk membunuh dunia pendidikan, sebab fokus guru akan terbagi kepada masalah pribadi terus menerus sehingga permasalahan peserta didik yang mesti dituntaskan oleh guru menjadi terbengkalai.

Permasalahan finansial guru akibat minimnya gaji juga menjadi permasalahan pada emosi dari guru itu sendiri dan mengancam profesionalisme seorang guru, sebab jika masalah pribadi seperti finansial tersebut dapat mengganggu profesionalitas dari seorang guru, maka celaka tiga belas! Tidak ayal seorang guru akan melemparkan emosinya ke peserta didik, sehingga masalah yang mestinya bisa diatasi dengan mediasi malah runyam dan ambyar.

Permasalahan finansial para pendidik itulah yang ingin diselesaikan oleh menteri pendidikan kita, bapak Nadiem Makarim, melalui Marketplace Guru. Namun benarkah itu bisa menjadi solusi? Jika itu memang solusi, lalu mengapa hal ini menjadi permasalahan? Pertanyaan ini akan mengantarkan kita pada bab berikutnya;

Mengapa Marketplace Guru Menjadi Masalah?

Tiada angin tiada hujan, sebenarnya Marketplace Guru menjadi masalah bagi kita semua karena dua hal, pertama, Mengapa namanya Marketplace Guru? Kedua, Bagaimana cara kerja sistem Marketplace Guru?

Penggunaan nama Marketplace Guru dinilai masyarakat Indonesia sebagai objektifikasi guru menjadi sebuah barang yang diperjual-belikan. Padahal guru merupakan pekerjaan mulia yang dimana pada profesi itulah peradaban dibangun, dan bahkan sama seperti dokter, guru merupakan profesi sehingga mereka yang mendapatkan gelar 'guru' tentulah memiliki kebanggan, dan nama Marketplace Guru yang membuat guru seolah menjadi barang, adalah masalah.

Yang ditakutkan jikalau pak mentri ngotot menggunakan nama Marketplace Guru, maka kedepannya stigma guru bukanlah menjadi orang yang dimuliakan, melainkan hanya sekedar barang. Para peserta didik maupun orang-orang akan dengan mudah mengatakan 'kamu disini karena kamu dibayar' bukan lagi tentang 'kamu disini karena kamu dibutuhkan'.

Padahal, guru mestilah dijunjung baik secara gaji maupun profesi, sebab di pundak dan tangan merekalah peradaban di titipkan. Kualitas SDM Indonesia ditentukan oleh seberapa berkualitas guru mereka, itulah mengapa jika yang menempati profesi keguruan adalah mereka yang tidak pedulian, dzalim, dan hanya menerima gaji buta, maka peradaban suatu bangsa akan terancam; hal itu dikarenakan guru tidak dapat melahirkan output yang berkualitas, dan bahkan melahirkan generasi yang menghancurkan bangsanya sendiri. Tetapi jika seorang guru memiliki kualitas yang unggul baik dari segi intelegensi dan mental, maka manusia-manusia sekelas Helen Keller masih bisa dibentuk oleh mereka.

Dan dalam hal ini, atas kemuliaan tersebut nama guru yang disamakan seperti ikan tongkol di Shopee jelas membuat para guru dan calon guru menjadi murka.

Pemilihan diksi yang salah menjadi masalah, sebab nama marketplace guru merendahkan identitas seorang guru. Jika kita menalar pak Nadiem Makarim yang memang memiliki latar belakang pebisnis, tentu nama marketplace merupakan nama yang keren bagi beliau, tapi saya percaya 100% bahwa nama Ruang Guru jauh lebih keren dari nama yang beliau tawarkan.

Itulah mengapa nama Marketplace Guru sebaiknya diganti, dan ada beberapa tawaran nama yang belakangan ini mencuat, misalnya Ruang Talenta. Akan tetapi nama Ruang Guru menurut saya jauh lebih keren walau pak Nadiem akan mengalami masalah copyright (hak cipta) dengan pemilik Ruang Guru itu sendiri.

Jadi saya rasa, sudah saatnya mahasiswa maupun anak-anak zaman now yang kece dengan pemilihan bahasa yang keren dan wadidaw muncul ke publik dengan nama-nama baru untuk menggantikan nama Marketplace Guru. Dan jika pak Nadiem kesusahan mencari nama, beliau mesti sowan ke Jaksel (Jakarta Selatan), konon bahasa umat manusia terlahir dari sana.

Kemudian, masalah yang lebih urgent; Bagaimana sih cara kerja Marketplace Guru?

Hal ini sebenarnya yang menjadi permasalahan Marketplace Guru, karena bapak Nadiem Makarim belum menjelaskan secara gamblang mengenai bagaimana sistem itu bekerja, persyaratannya, serta bagaimana bentuk serta model dari Marketplace guru itu sendiri. Sehingga hal ini kemudian menjadi pertanyaan besar dari kalangan bawah seperti saya.

Dari beberapa artikel dan tontonan yang saya baca, disebutkan bahwasanya Marketplace Guru bukan untuk semua orang. Yang jelas ada persyaratan yang mesti ada disana, dan Marketplace Guru sudah jelas ada untuk kalangan tertentu saja.

Saya sendiri melihat ini dengan perspektif yang baik, maksudnya adalah bahwasanya Marketplace Guru---jika memang ditujukan oleh guru-guru honorer---maka akan mempermudah guru dalam menemukan sekolah yang memang pantas untuk diri mereka dan sekolah, sehingga terjadinya simbiosis mutualisme antara kedua belah pihak.

Namun tentu saja, sekali lagi problematikanya adalah kita sama-sama ketahui bahwa Marketplace Guru belum kita lihat bentuk dan modelnya, sehingga ditakutkannya nanti adalah Marketplace Guru tidak jauh berbeda dengan situs komersial lainnya, dan bahkan bisa jadi tidak jauh berbeda dengan situ BO online yang menggunakan sistem bintang satu-bintang lima.

Sebab jika itu terjadi, akan adanya permasalahan yang sangat besar dan saya takutkan. Hal yang akan saya bahas pada bab berikutnya:  

Apa Yang Perlu Diperhatikan Pemerintah Dan Masyarakat Dalam Marketplace Guru? Dan Mengapa Itu Penting Untuk Diperhatikan?

Pertama, hal yang mesti diperhatikan adalah model dan bentuknya. Seperti yang saya paparkan sebelumnya, jika model dan bentuk tersebut belum jelas bagaimana, maka susah untuk menentukan baik dan buruknya Marketplace Guru itu sendiri. Dan disini, saya sedikit takut kalau sistemnya seperti situs komersial berbintang? Mengapa?

Well, saya merupakan mahasiswa PGMI dari Universitas Islam Negeri Mataram, dan saya secara sadar mengatakan bahwa teman-teman kuliah saya semua adalah cewek-cewek cantik, dan tentu masih ada jutaan mahasiswi cantik yang akan menjadi calon guru. Dari hal ini tentu pembaca tahu arahnya akan kemana, betul, saya memiliki ketakutan dan kecurigaan jika nantinya permasalahan syarat yang ada di Marketplace Guru menjadi permasalahan bukan dari segi kualitas intelektual, melainkan fisik.

Dengan adanya sistem bintang satu-bintang lima, maka problematikanya adalah bahwa itu akan menjadi ancaman nyata untuk mereka. Bisa jadi pihak sekolah yang bler atau kepala sekolah yang mesum dan memiliki akses ke Marketplace Guru tersebut melakukan ancaman terhadap guru tersebut dengan mengatakan 'Kalau kamu tidak mau main dengan aku, maka akan kuberikan bintang satu!' maka sudah jelas guru tersebut yang lugu dan membutuhkan uang untuk makan, akan memberikan 'keperawanan' mereka, sehingga hal ini akan membuat guru bukan lagi seorang guru, melainkan bitch order yang dapat ditemukan di tempat lokalisasi. Dan hal itu jelas-jelas akan merusak nama baik lembaga pendidikan serta hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pendidik, hal yang di kemudian hari akan membuat profesi keguruan menjadi tamat.

Kedua, tentu saja sistemnya. Namun hal ini tentu tidak bisa kita gemborkan terlalu banyak karena bapak Nadiem Makarim masih belum bersuara lebih. Namun disini saya ingin fokus pada perhatian saya terkait Curiculum Vitae atau CV yang akan diajukan calon pendidik kepada Marketplace Guru.

Jika nantinya guru diwajibkan mengupload foto, maka bukankah hal itu akan menjadi diskriminasi? Karena halo effect itu ada serta stigma kamu cantik-kamu aman masih merajalela, sehingga dalam hal ini kemungkinan mereka yang lebih cantik akan dipilih dibandingkan mereka yang tidak dianggap cantik? Maka bukankah itu merupakan diskriminasi?

Lalu jika memang saya terlalu paranoid, bagaimana jika nantinya calon guru melakukan manipulasi data? Dengan cara apa? Tentunya dengan cara membuat kemampuan maupun skill yang diada-adakan juga, sehingga nantinya apa yang diinginkan oleh sekolah tidak sesuai harapan; mau kucing dapat singa, mau singa malah dapat kucing. Tidak sesuai.

Saya berpikir sejauh itu bukan tanpa sebab, melainkan sadar bahwasanya karakter kejujuran sudah terancam punah di Indonesia. Saya rasa kita sepakat bahwa di negara kita tipu menipunya nomor satu, dari kalangan yang paling atas, sampai kalangan yang paling bawah. Kita mengkonsumsi kebohongan setiap hari seperti nasi, sehingga kepercayaan laksana ayam mekdi bagi kalangan santri; susah untuk dicari.

Ketiga, masih dalam permasalahan diskriminasi. Apakah ada batasan tertentu dalam hal ini? Jika memang Marketplace Guru ini ada untuk para guru honorer, dan kemudian sekolah memiliki hak untuk mencari kualifikasi guru sesuai seperti mereka mau; maka bukankah para sekolah bisa mematok kualifikasi yang terlalu tinggi yang menjerumuskan kepada diskriminasi? Misalnya berpenampilan menarik. Bagaimana bisa berpenampilan menarik menjadi indikator? Guru honorer bahkan tidak sanggup membeli baju baru dengan uang 150 ribu!

Dan bagaimana jika patokannya adalah umur, bagaimana Marketplace Guru menyelamatkan guru honorer yang semakin menua dan sedang menunggu diangkat menjadi PNS? Bukankah itu termasuk diskriminasi juga?

Lalu kemudian mengenai diskriminasi skill, bukankah Marketplace Guru hanya cocok untuk para calon guru muda yang akan mengangkangi guru honorer menua lainnya? Anggaplah nanti sekolah disana ingin guru yang pandai mengajar olahraga, sementara si guru honorer tua hanya pandai di olahraga. Maka bukankah itu membunuh guru honorer tua nantinya? Sebab jangankan olahraga, senam pun bisa encok! Dan akan menjadi awkward momen dimana guru olahraga masuk UKS dengan dibopong siswa.

Saya sendiri paham, Marketplace Guru ini juga merupakan salah satu solusi untuk pemerataan pendidikan sehingga sekolah mendapatkan guru yang didambakan. Kendati hal ini masih meninggalkan masalah, tapi hal ini masih bisa didiskusikan. Dan itulah mengapa saya memiliki beberapa tuntutan;

  • 1. Jika memang nantinya Marketplace Guru menggunakan sistem bintang satu-bintang lima, maka pemerintah mesti menciptakan sistem banding antara kedua belah pihak, yaitu adalah guru dan sekolah. Takutnya adalah sekolah memberikan bintang satu kendati guru memberikan pelayanan yang maksimal, sehingga dalam hal ini pihak guru dan pihak sekolah mesti di mediasi.

Hal ini jelas juga bisa menimbulkan masalah, bagaimana jika pihak yang melakukan mediasi bisa di suap oleh pihak sekolah yang lebih kaya? Bukankah karir guru tersebut akan punah untuk selama-lamanya hanya karena sekolah menang atas tuntutan bintang satunya? Marilah kita renungkan sama-sama.

(Jujur, renungan saya mengacu kepada satu hal; menggunakan artificial intelegent. Dan itupun masih menjadi masalah sebab artificial intelegent hanya mengetahui putih dan hitam, sementara manusia adalah warna-warni itu sendiri. Atau secara sederhana, kita tidak bisa mempercayakan artificial intelegent dalam masalah ini.)

  • 2. Jika memang nantinya Marketplace Guru menggunakan CV, maka tentunya ada syarat yang dibuat kementrian pendidikan terkait CV tersebut, termasuk template CV yang digunakan dan dipatenkan oleh sistem. Mengapa? Karena guru honorer itu kemungkinan tidak tahu cara membuat CV itu bagaimana, sehingga jika pemerintah menyediakan, maka akan menyelamatkan mereka dengan efektif serta efisien.
  • 3. Sistemnya tentu saja tidak boleh mengacu kepada diskriminasi, artinya adalah indikator-indikator keguruan yang tidak terlalu diperlukan sebaiknya dihapus, misalnya berpenampilan menarik atau cantik. Dan kemudian mengenai diskriminasi fisik, kita perlu berdiskusi bagaimana dengan guru yang berintelektual dan kompeten tapi memiliki cacat fisik, sebab tidak etis jika harus mengesampingkan mereka; guru adalah guru, dan pendidikan kita mesti mulai melihat manusia sebagaimana manusia, bukan dari fisik, status sosial, dan harta mereka.

(Lalu bagaimana dengan umur? Hal ini perlu kita renungkan dan diskusikan.)

  • 4. Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi skill, sebab Marketplace Guru maupun sekolah pasti akan membuat sistem supply and demand yang ada kebutuhan, ada orang. Maka tidak memungkinkan nantinya sekolah membutuhkan calon guru yang pandai berbahasa Inggris maupun keterampilan tertentu; akan tetapi bagaimana jika calon guru dari suatu daerah nyatanya tidak memenuhi hal tersebut? Maka untuk hal ini, sebaiknya pemerintah mengadakan kelas khusus tertentu seperti kurikulum merdeka, tempat dimana calon guru bisa kursus dan mendapatkan sertifikasi 'layak' untuk diletakkan.

Itupun jika profesi guru di sekolah tersebut tidak diserobot oleh orang yang lebih kompeten terlebih dahulu. Dan tidak diserobot oleh mereka yang punya orang dalam.

Dan untuk menyelesaikan masalah itu, saya percaya hal ini bisa terjadi di PPG. Di PPG pemerintah bisa membuat sistem pelatihan yang mengacu pada skill tertentu atas dasar observasi pada suatu daerah dan menemukan apa yang dibutuhkan pada daerah tersebut. Sehingga hal ini saya percaya bisa menyelesaikan masalah ketimpangan supply and demand.

  • 5. Tentunya nama Marketplace Guru sebaiknya dirubah; saya memiliki tawaran nama, yaitu adalah Guru Merdeka. Kendati mereka memang tidak merdeka-merdeka amat karena harus menunggu untuk dipilih, namun dengan nama Guru Merdeka maka mereka bisa diindikasikan telah tersambung dengan Kurikulum Merdeka, dan memiliki kapabilitas terhadap kurikulum tersebut.

Akhirnya, bab terakhir pembahasan; 

Apa yang mesti dilakukan mahasiswa maupun calon guru yang akan menempuh zaman Marketplace Guru?

Memahami medan laga yang akan kita hadapi, maka setidaknya ada beberapa hal yang mesti dilakukan calon guru untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan.

1. Perbanyak Prestasi

Marketplace Guru akan membuat dan sekaligus memaksa kita untuk menuju ranah kualitas dibandingkan kuantitas. Akan banyak calon guru yang tidak kompeten kehilangan pekerjaan, dan digantikan mereka yang kompeten.

Itulah mengapa sebaiknya dari sekarang mulai mengoleksi piagam, sertifikat, dll disertai ilmu untuk berjaga-jaga. Jika memang ada lomba silahkan ikut, yang penting dapat sertifikat dan ilmunya. Karena sertifikat maupun ijazah memang bukan bukti konkret kalau kamu memiliki ilmu dalam bidang itu, akan tetapi itu adalah bukti kamu pernah mencoba.

Dan setidaknya sertifikat membuat kita (sekolah) lebih percaya dibandingkan hanya omong kosong belaka.   

2. Ikut Organisasi

Saya paham sekarang orang-orang mayoritas mengatakan bahwa masuk organisasi merupakan kesalahan yang fatal. Namun jika anda mempercayai saya, saya menyarankan untuk masuk organisasi. Mengapa?

Ada privilege dan skill tertentu yang hanya bisa didapatkan di organisasi. Kemampuan bersosial, berargumentasi, kemampuan transedental, spiritual quotient, adversity quotient, itu jauh lebih meningkat jika berada di organisasi. Percaya atau tidak, hal-hal semacam ini hanya akan menjadi teori di Tiktok, Instagram, maupun media sosial lainnya, namun di organisasi, hal ini bisa diimplementasikan.

Tentunya dalam berorganisasi juga harus pilih-pilih, tidak semua program kerja maupun orang di organisasi itu baik dan membawa ke jalan yang benar. Maka disinilah kemampuan 'memilih' kita dicoba serta kemampuan kita bertanggung jawab atas pilihan yang kita ambil diuji.

Alasan utama mengapa saya menyarankan aktif di organisasi setidaknya ada dua; pertama bisa jadi Marketplace Guru maupun sekolah memiliki syarat aktif organisasi, kedua, privilege.

Saya di masa perkuliahan mengikuti organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan saya berkembang jauh lebih pesat di organisasi ini. Memang kemampuan bersosial dan skill-skill lainnya bisa didapatkan tanpa harus berorganisasi, tapi tidak dengan privilege.   

3. Bahasa Inggris Menjadi Wajib

Marketplace Guru dengan sistemnya akan menyatukan kita semua, dan jika anda merupakan seseorang yang berasal dari suatu daerah, maka bahasa Inggris menjadi wajib untuk dipelajari.

Hal ini sederhana, sebab banyak sekolah-sekolah yang ada di pedalaman dan daerah belum tersentuh bahasa Inggris, sementara keinginan sekolah melihat peserta didik dapat menguasai bahasa alien tersebut akan meningkat.

Sehingga dalam hal ini, kendati kita memiliki minat dan bakat dalam seni atau pelajaran tematik lainnya. Mereka yang menguasai bahasa Inggris akan dipilih dan dimuliakan.

4. Baca Buku dan Tingkatkan Literasi

Saya rasa hal ini sudah jelas, namun sebagai mahasiswa saya jarang menemukan pembaca di kampus. Padahal hal itu akan menuntun mereka untuk mendapatkan impian mereka lebih cepat.

Dalam persoalan membaca, maka pilihannya ada dua; membaca yang kita inginkan, atau membaca yang kita butuhkan. Sebaiknya untuk memilih yang nomor dua, akan tetapi apapun pilihannya, pastikan untuk konsisten membaca.

Bahkan jika kita mau meluangkan 30 menit---tetapi fokus--setiap hari untuk membaca, maka itu jauh lebih baik.

Akhir Tulisan

Pada akhirnya, Marketplace akan membawa kita pada suatu era baru dimana kita akan bersaing dengan banyak calon guru lainnya. Mereka yang tidak kompeten akan hancur, dan mereka yang memiliki keberuntungan akan berjaya.

Berikut saya paparkan artikel beserta hal-hal yang masuk dalam atensi saya, serta beberapa masalah yang saya tinggalkan agar kita diskusikan bersama.

Saya percaya bahwa pak Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan ingin menyelesaikan problematika pendidikan yang ada, namun tentunya pemerintah akan selalu ada dalam atensi masyarakat dan mahasiswa; menjaga agar tidak keluar jalur.

Sekian. Terima kasih sudah membaca. Dan sampai jumpa.

Tertarik membaca opini saya lainnya? Baca Juga:

(Jika anda sampai tahap ini, anda sudah membaca 2700 kata, hasil berjam-jam validasi dan menulis, juga bacaan serta tontonan saya. Terima kasih sudah menghargai karya ini, share kepada teman anda yang overthingking jika diperlukan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun