Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan, Kreator sampah plastik

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Regenerasi Petani Hanya Harapan Semata?

13 Mei 2019   15:18 Diperbarui: 13 Mei 2019   15:42 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyemprot padi dengan pestisida (dok.pri)

Sebagai warga bangsa kita patut berbangga hati dengan julukan atau sebutan negara agraris seperti yang disandang Indonesia. Negara Agraris sendiri memiliki pengertian, negara yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup (berprofesi) sebagai petani. Sedangkan pertanian dalam arti luas bukan terbatas pada bercocok tanam saja melainkan mencakup bidang perikanan juga kehutanan.

Kilas balik zaman keemasan 

Sebutan sebagai negara agraris memang pantas dan itu tidak berlebihan karena Indonesia sempat berswasembada pangan, yakni pada sekitar tahun 1984. Sungguh sebuah prestasi yang sangat gemilang demi prestise (harga diri) bangsa. Kala itu mantan presiden Suharto berkesempatan berpidato di forum internasional, FAO (Food and Agricultural Organization) dan mengumumkan pada dunia bahwa Indonesia berkecukupan pangan bahkan sanggup mengekspor bahan pangan untuk negara lain.

Lalu apa kiat-kiat atau metode yang diterapkan oleh Pak Harto sebagai pemimpin rezim kala itu. Usia saya masih belasan tahun ketika itu. Namun yang saya tangkap bahwa masyarakat (tani) gencar sekali mendaya gunakan etos kerja bertani. Seolah tak ada profesi lain yang paling mulia selain bertani. Pak Harto sendiri mengaku kalau beliau juga anak seorang petani yang kemudian tumbuh dan berkembang lalu menjadi pemimpin besar negara. Beliau sangat kental dengan dunia pertanian dan dekat sekali dengan rakyat petani.

Dalam banyak kesempatan melakukan kunjungan ke berbagai pelosok tanah air, Pak Harto selalu tampil bukan hanya sebagai pemimpin negara melainkan juga sebagai penyuluh rakyat yang mengerti betul soal apa itu intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi pertanian.

Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) benar-benar menjadi media yang berperan penting dalam menyiarkan jejak langkah Pak Harto dalam memajukan dunia pertanian Indonesia. Pokoknya, gaung upaya memajukan pertanian di Indonesia nyata-nyata terdengar sampai ke telinga anak-anak tak terkecuali saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

Saya masih ingat betul, waktu masih  kelas tiga atau empat SD, guru kami selalu memberikan tugas untuk membuat catatan (ringkasan) tentang tayangan TVRI yang bertajuk Daerah Membangun. Semua siswa diminta menyaksikan acara TV, Daerah Membangun dan keesokan harinya harus mengumpulkan resume tentang tayangan itu. Acara TV Daerah Membangun kerap kali menampilkan profil daerah di berbagai penjuru nusantara yang sedang melakukan pembenahan (pembangunan) berbagai proyek infrastruktur tak terkecuali di sektor pertanian.

Entah siapa yang pertama kali menciptakan singkatan "Kelompencapir" (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan) yang pasti masa-masa itu istilah gaung Kelompencapir begitu menggema dan akrab sekali di telinga kita. Kelompencapir merupakan organisasi petani di pedesaan yang dibentuk untuk menyerap berbagai aspirasi para petani dan demi kepentingan memajukan dunia pertanian itu sendiri.

Selain acara TVRI bertajuk Daerah Membangun, belakangan muncul acara lainnya yang isinya menggaungkan berbagai potensi pedesaan dan kemajuan pertanian di Indonesia yaitu Dari Desa ke Desa dan Kabar dari Desa.

Satu lagi yang masih segar di ingatan saya, kala itu Pak Harto selalu memberikan penghargaan kepada desa-desa mana saja yang sangat maju pertaniannya, terutama tentang bercocok tanam padi. Dampaknya memang luar biasa sekali, hal itu memotivasi para petani di berbagai daerah di tanah air untuk saling berlomba meningkatkan produktivitas pertaniannya. Mereka ingin desanya bagus dan maju pertaniannya serta kelak akan memperoleh penghargaan dari Pak Harto.

Masihkah berswasembada pangan? 

Roda waktu terus berputar dan sejarahpun mulai berubah. Apakah kita saat ini masih bisa mempertahankan gelar sebagai negara yang berswasembada pangan? Jawabannya tentu susah alias berat bahkan tidak lagi mengingat masih sering terdengar kabar bahwa untuk mempertahankan keamanan stok pangan nasional pemerintah masih harus mengimpor beras dari negara lain dan itu jumlahnya tidak sedikit.

Mengapa julukan sebagai negara yang berswasembada pangan semakin memudar atau bahkan hilang sama sekali? Ya mungkin saja karena beberapa hal seperti produktivitas pertanian yang menurun karena jumlah orang yang bekerja di sektor pertanian (petani) semakin berkurang dari tahun ke tahun. Bencana yang melanda berbagai penjuru tanah air selain banjir dan kemarau panjang tak pelak sedikit atau banyak akan meluluh lantakkan sebagian lahan pertanian milik rakyat. 

Khusus untuk orang yang bekerja di sektor pertanian dalam hal ini petani dan buruh tani (penggarap sawah) menjadi bagian yang sangat menarik untuk disoroti. Bagaimanapun juga pertanian tanpa petani jelas tidak mungkin. Meski keberadaan para petani di banyak negara maju sudah digantikan oleh mesin-mesin canggih (mekanisasi pertanian) namun bagaimanapun juga sumber daya petani harus tetap ada. The man behind the gun begitulah bunyi ungkapan asing. Mesin-mesin canggihpun tetap butuh sumber daya manusia (petani) untuk mengoperasikannya.

Menurut informasi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional bahwa pada tahun 2017 jumlah pekerja sektor pertanian sebanyak 35,9 juta orang atau 29,68 persen dari jumlah penduduk bekerja, sebesar 121,02 juta orang. Sementara itu, pada tahun 2018 pekerja di sektor pertanian tercatat 35,7 juta orang atau 28,79 persen dari jumlah penduduk bekerja, sebesar 124,01 juta orang (1). 

Dari data di atas disimpulkan bahwa jumlah petani atau orang yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari tahun 2017 ke 2018. Data jumlah petani pada tahun 2019 belum diketahui secara jelas. Pertanyaan yang muncul sekarang, mengapa jumlah petani menurun? Diduga kuat salah satu alasannya ialah karena para petani (pekerja sektor pertanian) tadi ingin mencari penghidupan yang lebih layak dengan bekerja di luar sektor pertanian (non pertanian) sehingga memutuskan untuk berhenti bertani.  

Sebagian petani kemudian beralih profesi menjadi tukang batu, pemulung, berjualan (berdagang) atau bahkan buruh pabrik. Mereka memutuskan untuk berbondong-bondong ke kota besar sehingga memicu meningkatnya arus urbanisasi. Kenyataan berkata lain, ada sebagian petani yang sukses dengan profesi yang baru ditekuninya dan sayangnya ada pula yang tidak berhasil dengan pekerjaan barunya itu sehingga malah menambah angka pengangguran yang ada di Indonesia.

Untuk kasus tentang sebagian petani yang mulai meninggalkan profesi mulianya itu pernah digaungkan gerakan kembali ke desa. Karena hakekatnya desa juga merupakan daerah berpotensi yang semestinya dikelola secara baik dan bukan untuk ditinggalkan.

Kita patut bersyukur, meski jumlah petani mengalami penurunan dari tahun 2017 ke tahun 2018 namun dari sisi indeks kesejahteraan justru mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) mengalami kenaikan pada tahun 2018 apabila dibandingkan dengan tahun 2017. Pada tahun 2017 indeks NTP dan NTUP berada di angka 101,28 dan 110,24 , sedangkan pada tahun 2018 mencapai 102,25 dan 111,77 (2).

Dikutip dari laman bps.go.id bahwa NTP merupakan indikator bagi kesejahteraan petani. NTP merupakan perbandingan antara Indeks harga yang diterima petani (It) dengan Indeks harga yang dibayar petani (Ib).

Petani tua (dok.pri)
Petani tua (dok.pri)
NTP > 100, Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya, berarti petani mengalami surplus (kelebihan) karena harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. 

NTP = 100, Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya, berarti petani mengalami impas karena kenaikan atau penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan atau penurunan harga barang konsumsinya. 

NTP< 100, Pendapatan petani turun, lebih kecil dari pengeluarannya berarti petani mengalami defisit karena kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. 

Bila indeks NTP dan NTUP baik (tinggi) berarti daya beli petani juga tinggi dan petani semakin sejahtera. Harapannya, jika petani sejahtera maka pertanian di Indonesia akan semakin maju, target swasembada pangan dapat tercapai, kebutuhan pangan tercukupi dan berujung pada kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Regenerasi petani tidak efektif 

Kembali ke masalah menurunnya jumlah petani. Sebagai bangsa, kita pasti menginginkan hal itu untuk tidak berlarut-larut. Maka perlu ditempuh cara bagaimana agar regenerasi (pembibitan / pengkaderan) petani bisa berjalan dengan baik karena bagaimanapun juga profesi sebagai petani itu merupakan profesi yang luhur tak kalah mulianya dengan jenis pekerjaan lainnya.

Coba kita perhatikan data berikut ini. Dari jumlah orang yang bekerja di Indonesia, 44 persennya berprofesi sebagai petani. Lebih dari 80 persen petani di Indonesia berusia lebih dari 45 atau 50 tahun dan umumnya tidak berpendidikan tinggi. Sebuah survei menunjukkan bahwa 70 persen pemuda menganggap menjadi petani adalah pekerjaan (profesi) yang tidak menarik. Lebih lanjut sebanyak 46 persen pemuda pada akhirnya bersedia menjadi petani karena didorong oleh orang tuanya dan 26 persen bersedia menjadi petani karena tidak ada pekerjaan lain.

Malahan ada seorang pengamat dengan berani mengatakan bahwa tidak ada anak muda di Indonesia yang berminat dan bermimpi menjadi petani.

Regenerasi petani merupakan masalah yang cukup serius di banyak negara termasuk yang ada di Indonesia. Regenerasi petani yang efektif ialah para petani (tua) menanamkan falsafah (nilai luhur) bercocok tanam (bertani) kepada anak-anaknya sejak usia dini. Ya seperti kalau menanamkan nilai-nilai moral dan agama di rumah.

Masalahnya sekarang ialah akibat perubahan gaya hidup, para petani tua tadi malah tak ingin kalau nantinya sang anak mengikuti jejaknya yakni menggantungkan hidup sebagai petani. Karena harus diakui berpenghidupan sebagai petani itu cukup berat dan sengsara. Identik dengan kemiskinan dan ketidaksejahteraan. Harus bekerja keras banting tulang, bercucuran keringat, berlepotan dengan lumpur sawah belum lagi kalau sedang terkena naas karena lahan yang baru ditanami secara tiba-tiba direndam banjir, cukup menyedihkan. 

Lulusan SMK Pertanian atau bahkan Sarjana Pertanian tak jarang lebih memilih bidang pekerjaan non pertanian. Kalau toh ada lulusan yang benar-benar berkecimpung dan menekuni dunia pertanian serta benar-benar menjadi petani murni itu saja jumlahnya tidak signifikan dengan lahan pertanian yang ada di Indonesia.

Akibat fenomena di atas yang terjadi bukan upaya regenerasi efektif malah sebaliknya, degenerasi. Anak-anak petani juga enggan mengikuti jejak orang tuanya. Sehingga tak heran bila lambat laun jumlah petani semakin menurun meskipun jumlah penduduk di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ngerinya lagi, menurunnya jumlah petani itu berkorelasi positif dengan menurunnya produksi pangan (beras) nasional.

Kalau anak-anak petani sudah enggan bertani ditambah lagi munculnya fenomena di kalangan para petani tua agar kelak keturunannya tidak mengikuti jejaknya maka jalan pintas yang mungkin ditempuh ialah dengan menjual lahan-lahan pertanian yang ada ke pihak developer perumahan atau pemilik pabrik. Kalau sudah begitu bukan tidak mungkin hasil pertanian (pangan) juga menurun. Lalu bagaimana mungkin swasembada pangan bisa diraih kembali seperti yang pernah digapai pada era 1980 an. 

Jumlah petani semakin berkurang, sementara lahan-lahan pertanian banyak yang dijual ke developer perumahan atau pengusaha pabrik. Akibatnya produksi pangan tidak sesuai harapan alias mengalami penurunan. Swasembada pangan mungkin hanya mimpi apalagi harapan untuk berkedaulatan pangan.

Sedihnya lagi kalau kebijakan yang digulirkan dirasakan merugikan para petani. Kenyataannya, harga beras impor selain lebih murah juga berkualitas bagus bila dibandingkan dengan beras hasil budidaya petani lokal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun