Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan, Kreator sampah plastik

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Regenerasi Petani Hanya Harapan Semata?

13 Mei 2019   15:18 Diperbarui: 13 Mei 2019   15:42 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyemprot padi dengan pestisida (dok.pri)

Roda waktu terus berputar dan sejarahpun mulai berubah. Apakah kita saat ini masih bisa mempertahankan gelar sebagai negara yang berswasembada pangan? Jawabannya tentu susah alias berat bahkan tidak lagi mengingat masih sering terdengar kabar bahwa untuk mempertahankan keamanan stok pangan nasional pemerintah masih harus mengimpor beras dari negara lain dan itu jumlahnya tidak sedikit.

Mengapa julukan sebagai negara yang berswasembada pangan semakin memudar atau bahkan hilang sama sekali? Ya mungkin saja karena beberapa hal seperti produktivitas pertanian yang menurun karena jumlah orang yang bekerja di sektor pertanian (petani) semakin berkurang dari tahun ke tahun. Bencana yang melanda berbagai penjuru tanah air selain banjir dan kemarau panjang tak pelak sedikit atau banyak akan meluluh lantakkan sebagian lahan pertanian milik rakyat. 

Khusus untuk orang yang bekerja di sektor pertanian dalam hal ini petani dan buruh tani (penggarap sawah) menjadi bagian yang sangat menarik untuk disoroti. Bagaimanapun juga pertanian tanpa petani jelas tidak mungkin. Meski keberadaan para petani di banyak negara maju sudah digantikan oleh mesin-mesin canggih (mekanisasi pertanian) namun bagaimanapun juga sumber daya petani harus tetap ada. The man behind the gun begitulah bunyi ungkapan asing. Mesin-mesin canggihpun tetap butuh sumber daya manusia (petani) untuk mengoperasikannya.

Menurut informasi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional bahwa pada tahun 2017 jumlah pekerja sektor pertanian sebanyak 35,9 juta orang atau 29,68 persen dari jumlah penduduk bekerja, sebesar 121,02 juta orang. Sementara itu, pada tahun 2018 pekerja di sektor pertanian tercatat 35,7 juta orang atau 28,79 persen dari jumlah penduduk bekerja, sebesar 124,01 juta orang (1). 

Dari data di atas disimpulkan bahwa jumlah petani atau orang yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari tahun 2017 ke 2018. Data jumlah petani pada tahun 2019 belum diketahui secara jelas. Pertanyaan yang muncul sekarang, mengapa jumlah petani menurun? Diduga kuat salah satu alasannya ialah karena para petani (pekerja sektor pertanian) tadi ingin mencari penghidupan yang lebih layak dengan bekerja di luar sektor pertanian (non pertanian) sehingga memutuskan untuk berhenti bertani.  

Sebagian petani kemudian beralih profesi menjadi tukang batu, pemulung, berjualan (berdagang) atau bahkan buruh pabrik. Mereka memutuskan untuk berbondong-bondong ke kota besar sehingga memicu meningkatnya arus urbanisasi. Kenyataan berkata lain, ada sebagian petani yang sukses dengan profesi yang baru ditekuninya dan sayangnya ada pula yang tidak berhasil dengan pekerjaan barunya itu sehingga malah menambah angka pengangguran yang ada di Indonesia.

Untuk kasus tentang sebagian petani yang mulai meninggalkan profesi mulianya itu pernah digaungkan gerakan kembali ke desa. Karena hakekatnya desa juga merupakan daerah berpotensi yang semestinya dikelola secara baik dan bukan untuk ditinggalkan.

Kita patut bersyukur, meski jumlah petani mengalami penurunan dari tahun 2017 ke tahun 2018 namun dari sisi indeks kesejahteraan justru mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) mengalami kenaikan pada tahun 2018 apabila dibandingkan dengan tahun 2017. Pada tahun 2017 indeks NTP dan NTUP berada di angka 101,28 dan 110,24 , sedangkan pada tahun 2018 mencapai 102,25 dan 111,77 (2).

Dikutip dari laman bps.go.id bahwa NTP merupakan indikator bagi kesejahteraan petani. NTP merupakan perbandingan antara Indeks harga yang diterima petani (It) dengan Indeks harga yang dibayar petani (Ib).

Petani tua (dok.pri)
Petani tua (dok.pri)
NTP > 100, Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya, berarti petani mengalami surplus (kelebihan) karena harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. 

NTP = 100, Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya, berarti petani mengalami impas karena kenaikan atau penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan atau penurunan harga barang konsumsinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun