Mohon tunggu...
Mawaddah Perabawana
Mawaddah Perabawana Mohon Tunggu... Lainnya - Ù…

Aku seorang penakut. Lalu, Pram pernah berkata "menulis adalah sebuah keberanian"

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korelasi Tuntutan Hukum Pidana Mati Terhadap Psikologis Korban Asusila

22 Agustus 2022   20:22 Diperbarui: 24 Agustus 2022   10:14 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlu diketahui, hukum yang dijalankan di Indonesia merupakan implementasi dari hukum Islam yang bersifat dinamis sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman, walaupun tidak mencakup keseluruhan. Tonggaknya ialah sila pertama Pancasila yang menjalin pada sila-sila setelahnya, sehingga memunculkan hakikat bangsa Indonesia yang tidak bertolak belakang pada syariat Islam. Di sisi lain, hal ini tentu tidak menutup perspektif agama non-Islam. Hukum Indonesia bersifat transparan dan masyarakat Indonesia dapat mengetahui serta menganalisisnya secara langsung.

Hukuman mati berdasar hukum Islam diperbolehkan jika terkait dengan hukum hudud (sanksi yang telah ditetapkan oleh Allah) meliputi qishash, hudud, dan ta'zir. Had (bentuk tunggal atau mufrod dari hudud) sendiri mencakup had zina, mencuri, membangkang, hingga murtad. Dari macam-macam had yang telah ditetapkan dalam Islam, apakah kasus asusila berupa pemerkosaan terhadap anak di bawah umur termasuk dalam kejahatan yang diancam hukuman mati?

Pendalaman kasus Herry Wirawan sampai pada jenis kasus yang terjadi, apakah ini termasuk kasus pemerkosaan atau perzinaan? Sebab antara pemerkosaan dan perzinaan terdapat perbedaan yang signifikan. Apabila yang terjadi adalah tindak pemerkosaan, berarti muncul pihak pelaku dan korban, di mana korban mengalami pemaksaan dan kekerasan.

Akan tetapi, jika yang terjadi adalah perzinaan, maka pelaku adalah kedua belah pihak yang terlibat tanpa ada korban, dengan kata lain pelaku melakukan tindakan dengan adanya dasar tanpa paksaan dan saling menikmati.

Berdasar kronologi kasus yang diungkapkan oleh Diah Kurniasari selaku ketua P2TP2A Garut, motiv lain kasus Herry Wirawan ini juga melakukan eksploitasi dan pemberdayaan terhadap korban. Di satu sisi korban dipaksa dan dimanfaatkan untuk memenuhi nafsu kejinya, namun di sisi lain korban juga diberdayakan dengan jaminan pendidikan komplet dengan biayanya.

Sejauh tindakannya tersebut, pelaku mampu membungkam para korban dan menyimpan busuknya bangkai di dalam lembaga pendidikan Islam. Melalui konsep "guru adalah panutan bagi murid", pelaku berhasil mempengaruhi para korban dalam waktu yang lama, bahkan hingga lahir anak ke dua dari salah satu korban. Sebegitu patuhnya para murid terhadap sang guru, sang predator seks. Itulah laqob yang disematkan pada pelaku.


Ulama mengkategorikan pemerkosaan sebagai perzinaan, maka hukumannya ialah had zina. Bagi pelaku yang belum menikah hukumannya adalah cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Jika pelaku sudah menikah, maka hukumannya adalah rajam. 

Dalam kasus pemerkosaan, maka yang dikenai hukuman hanya pelaku saja, sedang korban dikecualikan. Al-Qur'an surah al-An'am ayat 145 menjelaskan "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Benarkah Hukuman Mati yang Diinginkan Korban Terhadap Pelaku?

Tentu saja, para korban menginginkan kasus tersebut tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Namun apa boleh buat? Seolah kaca yang jatuh kemudian pecah, para korban ingin kembali utuh, tetapi para orang tua ikut tertatih, semua tidak bisa kembali utuh.

Tuntutan hukum pidana mati yang dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat ditolak oleh Komnas Perempuan dan Komnas HAM. Buah dari hukuman mati yang diharapkan mampu membuat jera para pelaku tindak asusila dianggap gagal dan melanggar Hak Asasi Manusia.

Komnas HAM menganggap, hukuman mati telah merenggut hak asasi manusia yang mutlak ada sejak manusia itu lahir. Hak hidup setiap orang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun (non derogable rights). Begitu pula dengan Komnas Perempuan yang menganggap hukuman mati bukanlah problem solving yang tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun