Mohon tunggu...
Maurin Vny
Maurin Vny Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang penulis amatir.

Booklover.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gara-gara Over Generalisasi dan Pelabelan

27 Agustus 2019   05:35 Diperbarui: 27 Agustus 2019   05:47 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Distorsi kognitif adalah kesalahan logika dalam berpikir, serta adanya kecenderungan untuk berpikir berlebihan dan tidak rasional (source:www.pijarpsikologi.com). Ada setidaknya sebelas jenis kesalahan logika dalam berpikir, yaitu: 

  • Filter mental 
  • pemikiran hitam dan putih
  •  pemikiran "harus"
  • standar ganda
  • loncatan ke kesimpulan
  •  membaca pikiran
  • personalisasi
  • penalaran emosi
  • pembesaran dan pengecilan
  • over generalisasi
  • Pemberian cap/pelabelan

Sesuai judul, saya hanya akan membahas kedua jenis distorsi kognitif tersebut, yaitu over generalisasi dan pelabelan. Mengapa kedua itu? 

Jadi, setelah bermalam-malam saya berpikir (karena saya makhluk nokturnal) ternyata kedua hal yang sebenarnya berbeda ini bisa menjadi satu kekuatan yang tentunya tidak akan berdampak positif, melainkan semakin negatif. Tanpa disadari, hal ini sering terjadi di masyarakat, entah dalam skala kecil sampai skala besar, namun apakah mereka menyadari hal buruk ini?  Mari kita lebih dahulu mengetahui penjelasan tentang overgeneralisasi dan pelabelan ini. 

 Over Generalisasi

Distorsi kognitif ini terjadi saat kita terlalu menggeneralisasi sesuatu. Misalnya, seseorang pernah gagal dalam menjalani ujian SBMPTN, ia merasa dirinya sudah lebih siap, lebih rajin, dan lebih besar peluang lolos SBMPTN dibanding seorang temannya yang pemalas namun kaya raya.

Ia berpikir bahwa temannya itu menyogok kampus, jadi semenjak itu ia berpikir bahwa semua Universitas menerima sogokan dari calon mahasiswa kaya sehingga ia trauma untuk mengikuti ujian-ujian selanjutnya. Distorsi pemikiran ini menempatkan suatu pengalaman buruk sebagai norma untuk pengalaman di masa depan. 

Pelabelan

Distorsi kognitif ini membuat kita memberi label pada siapapun, baik itu orang lain ataupun kita sendiri. Padahal, setiap orang punya banyak sisi dan tidak mungkin satu label dapat mendeskripsikan keseluruhan sisi seseorang.

Misalnya, kita mendapat kritik dari atasan, lalu langsung mencap diri sendiri bodoh dan tidak kompeten. Lalu membuat kita tidak bersemangat saat bekerja, padahal kritik yang didapat hanya tentang satu bagian kecil dari keseluruhan tanggung jawab di kantor. Atau, saat kita mencap seseorang bodoh, maka segala yang ia lakukan akan salah bahkan walaupun sebenarnya tidak begitu. 

Dari penjelasan di atas, saya cukup yakin bahwa kedua hal tersebut adalah penyebab keributan dan kesalahpahaman yang marak terjadi. Masyarakat kita yang terbagi atas individu-individu yang ikut dalam berbagai kelompok, sering menggeneralisasi berlebihan terhadap kelompok lainnya. 

Contoh: ketika seseorang memiliki perangai buruk, semisal senang berjudi. Lalu orang tersebut diketahui tergabung ke dalam sebuah kelompok yang berisikan beberapa remaja sebayanya. Dengan mudahnya orang-orang menilai bahwa semua anggota di kelompok tersebut pasti senang berjudi, padahal kenyataannya belum tentu seperti itu.

Padahal manusia itu unik, ia tidak bisa sama persis seluruhnya dengan orang lain, bahkan kembar identik sekalipun. Apalagi biasanya  digeneralisasikan bahwa si A dan si B pasti sama-sama berperangai buruk, tentu saja karena mereka teman satu kelompok dan satu tongkrongan. 

Pada awalnya kita hanya menilai seorang individu dengan kelompoknya, jika si individu tersebut dermawan, maka orang menganggap ia pasti masuk ke kelompok filantropis yang semua anggotanya sudah pasti dermawan. Hingga akhirnya, terjadilah pelabelan terhadap sebuah kelompok.

Pelabelan ini dapat membahayakan. Karena sekali memberi cap buruk kepada sesuatu, maka terus-terusan kita akan memberi cap buruk kepadanya. Sulit untuk mengembalikan pemikiran kita yang salah. 

Ini adalah contoh paling nyata yang pernah saya alami sendiri. Ketika sekolah belum ada zonasi, kami para calon siswa digiring bahkan ditempa untuk memasuki sekolah "favorit" yang butuh perjuangan karena persaingan sengit. Siapapun yang lulus ke sekolah favorit, maka orang-orang sudah menganggap mereka anak-anak yang pintar dan hebat. Malang untuk yang tidak lulus, terpaksa "terbuang" ke sekolah biasa saja atau bahkan sekolah yang sudah dilabeli dengan label buruk.

Misalnya saja sekolah yang terkenal dengan siswanya yang hobi tawuran, sekolah yang banyak masalah, sekolah dengan akreditasi rendah, dan lain sebagainya. Jelas sekali perbedaan antara bumi dan langit. 

Bayangkan, bagaimana bisa kita menyamakan  ratusan siswa yang diterima dengan ribuan siswa yang bersekolah di sana. Sekolah bagus bukan berarti bebas minus, sekolah buruk bukan berarti tidak memiliki nilai plus di dalamnya.

Ketika sudah ada label baik dan buruk seperti itu, sangat sulit untuk memperbaiki citra khususnya bagi si "sekolah buruk". Sekalipun mereka mendapatkan prestasi, tidak ada pihak luar yang mengapresiasi, karena yang dilihat adalah keburukannya saja. Sebaliknya, ketika ada suatu masalah di sekolah dengan label baik, orang-orang luar masa bodoh dengan hal itu, toh tetap bagus. 

Lebih buruk lagi ketika satu orang yang berbeda dengan orang-orang lain dalam kelompoknya, tetapi terpaksa dicap sama seperti kelompoknya. Orang-orang tidak melihatnya sebagai individu, namun sebagai kelompok. Diingatkan kembali, tidak semua individu dalam sebuah kelompok memiliki kesamaan persis karakteristik dan sifat. Jadi, tidak sah jika kita hanya melihat dari luar secara sekilas. 

Sangat disayangkan, pemikiran/logika yang salah dan tidak rasional ini sudah lama dibiasakan dan terus terjadi sampai saat ini, bahkan menurut saya sudah sampai tahap berlebihan dan besar-besaran. 

Jangan pernah menyamakan hal yang tidak sama.

Sekian hasil pemikiran saya kali ini, semoga muncul kesadaran untuk berusaha membenarkan pemikiran dan logika yang salah demi kehidupan sosial dan kondisi psikologis yang lebih baik. Terima kasih Kompasianer!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun