Fenomena anggota dewan berjoged di ruang parlemen memunculkan kritik tajam karena dianggap sebagai simbol ketidakpekaan terhadap penderitaan rakyat. Di tengah krisis ekonomi, pengangguran, dan pelayanan publik yang mengecewakan, aksi joged itu dipandang sebagai ironi—pesta di atas luka rakyat.
Dari perspektif komunikasi kritis, joged bukan sekadar hiburan, melainkan pesan simbolik yang memperlihatkan jarak emosional antara wakil rakyat dan masyarakat. Tindakan tersebut menunjukkan kemiskinan sensitivitas politik serta degradasi makna parlemen, dari forum serius pengambilan keputusan menjadi arena hiburan internal.
Fenomena ini menggambarkan trivialization of power, ketika kekuasaan direduksi pada hal-hal remeh, sementara persoalan substansial terabaikan. Akibatnya, muncul luka simbolik dan hilangnya kepercayaan rakyat.
Kesimpulannya, martabat parlemen hanya bisa dipulihkan jika wakil rakyat menghadirkan empati, bukan pesta simbolik. Parlemen adalah rumah rakyat, sehingga setiap tindakan anggotanya harus mencerminkan tanggung jawab moral. Joged harus diganti dengan kerja, pesta dengan empati, dan panggung politik harus kembali pada hakikatnya: melayani rakyat, bukan melukai mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI