Mohon tunggu...
Muhammad Dahlan
Muhammad Dahlan Mohon Tunggu... Petani -

I am just another guy with an average story

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tontu

23 Juni 2017   08:08 Diperbarui: 23 Juni 2017   09:20 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Badrun masih lagi termangu menatap pesan WhatsApp dari Maizurah yang dia baca sambil berteduh di bawah pohon akasia di tepi jalan menurun dari atas bukit. Ditatapinya lekat-lekat foto empat orang perempuan berbeda generasi yang tengah duduk di lantai mengelilingi dua buah baki besar penuh berisi nasi yang dilumuri santan. Di sisi baki terdapat daun pisang yang telah dipotong-potong berbentuk segi empat dan tali rafia. Dua anak perempuan Maizurah yang beranjak remaja tersenyum jenaka menghadap kamera sambil memperlihatkan buras yang mereka buat. Maizurah yang membuat foto selfie memandang datar, nyaris tanpa ekspresi dan lebih tepat dikatakan tatapan mata misterius. Ibunya menghadap ke samping dengan kepala sedikit tertunduk tengah mengikat buras dan tampak tidak menyadari jika Maizurah diam-diam membuat foto selfie. Badrun terpaku lebih lama menatap wajah ibunya dan Maizurah. Betapa waktu telah menorehkan pahatan yang lebih dalam di wajah kedua orang perempuan bersepupu itu. Badrun membatin.
 Badrun disergap rasa bersalah, gelisah, dan gugup. Suaranya tertahan, sejenak terdiam, mulutnya kaku tanpa bisa terucap. Bulir bening mengalir di pipinya. Dia rogoh saku celana kanan, lalu diambil sapu tangan dan membersihkan kedua matanya. Badrun tiba-tiba merasa teramat sangat ingin pulang kampung sesegera mungkin guna meminta ampun dan maaf kepada kedua perempuan yang telah lama tersakiti oleh ulah darah muda yang menguasainya dulu sehingga terlalu mudah membenci. Juga kepada bapaknya. Begitu juga kerinduan pada kampung halaman, serta Sungai Telake dengan tontunya. 


Tontu. Entah berapa lama sudah dia tidak mendengar kata itu dan nyaris hilang dari perbendaharaan katanya. Tontu merupakan anugerah dari kemurahan hati Sungai Telake yang menghadiahkan ikan, udang serta seluruh binatang air lainnya kepada warga yang bermukim di sepanjang tepi sungai. Tontu, yang belum tentu tejadi setahun sekali, bermula ketika hujan deras terjadi selama berhari-hari di tanah hulu menyebabkan debit air sungai bertambah secara drastis dan arus deras menggerus dan mengaduk dasar sungai, sehingga partikel tanah terangkat dan menjadi lumpur yang mengotori seluruh sungai dan menyebabkan seluruh binatang air menjadi keracunan lumpur. Ikan dan udang muncul di permukaan air dan berebut berenang menuju pantai.
Badrun bertekad melarung kapal-kapalan kertas kedukaan yang dia lipat dengan rapi berbilang belasan tahun lamanya bersama tontu yang mencuci Sungai Telake.


Aku akan pulang sore ini untuk berlebaran di kampung. Tak usahlah kau sampaikan berita ini kepada orangtuaku agar kau terbebas dari anggapan mereka bahwa engkau mengetahui keberadanku sejak dulu lagi.


Demikan balasan singkat Badrun seraya melanjutkan perjalan dan berhenti di depan mesjid kecil di kaki bukit, menyerahkan dua keranjang besar buah-buahan, yang sedang ditunggu penjual buah di Pantai Manggar, kepada warga yang tengah bergotong royong mempersiapkan shalat ied besok. Setelah itu Badrun bergegas pulang.

“Penumpang Long Kali turun dimana?” supir mini bus sekonyong-konyong bertanya dengan suara keras memecah lamunan Badrun dan mengejutkan penumpang lain yang tertidur. Badrun segera menoleh keluar. Hujan telah reda, namun masih menyisakan gerimis. Dia coba mencoba menerka  ada di kawasan mana sekarang, tetapi lampu yang masih lagi belum menyala membuat dia tidak bisa mengenali tempat di luar sana yang diselimuti gelap gulita.


“Tidurkah penumpang Long Kali? Ini sudah di Gunung Koramil,” supir kembali bertanya sambil menurukan kecepatan kendaraan dan menoleh ke belakang beberapa saat.
Badrun berusaha mengingat dan mencari tempat perhentian yang kira-kira masih ada. Dia khawatir akan menyebut nama tempat yang boleh jadi sudah tidak ada lagi sekarang, dan tiba-tiba terlintas tempat sekolahnya dulu.



“Saya turun di depan Gedung Serba Guna, Pak”


Hawa dingin menusuk tulang menyambut Badrun ketika turun dari angkutan umum. Dihisapnya dalam-dalam nafas udara kampungnya sehingga terasa lapang dadanya. Dikenakannya penutup kepala jaketnya guna menghindari buliran gerimis lembut membasuh wajahnya. Diraihnya telepon genggam dari kantung jaket, sempat dia lihat jam pada layar telepon genggam menunjukkan pukul 20.30. Dengan cahaya kecil dari senter telepon genggam Badrun melangkah menelusuri titian kayu ulin diantara Gedung Serba Guna dan Penginapan Faridah menuju jalan Pasar Lama. Di bagian belakang terdapat Madrasah Ibtidaiyah tempat dia dulu menimba ilmu. Badrun ingat pada masa kecilnya dia sering melompat dari bangunan sekolah berupa gedung kayu berkolong tinggi ke titian ulin saat bermain kejar-kejaran dengan teman-teman sekelasnya pada jam istirahat.
Selepas turun dari titian ulin dia memasuki jalan beraspal menuju kawasan Pasar Lama. Dari cahaya samar-samar senter telepon genggam dan penerangan redup dari pelita dan lilin di depan rumah warga, Badrun bisa mengetahui bahwa bentuk permukiman warga masih tetap sama seperti dulu, namun bangunan pasar telah berganti. Saat tiba di depan jalan masuk pasar, Badrun heran menatap mesjid di kawasan pasar itu tampak sepi dan tidak terdengar lantunan takbir malam lebaran atau orang yang keluar masuk mesjid untuk membayar zakat. Mungkin kegiatan tersebut telah lebih awal dilaksanakan lantaran gelap gulita karena mati lampu. Badrun menerka dalam hati.
Dipalingkannya pandangan ke arah bekas dermaga ponton penyeberangan di tepi sungai di belakang mesjid, tampak banyak kelebatan cahaya senter dan suara gaduh orang-orang. 

Untuk beberapa saat Badrun hanya diam termangu di persimpangan jalan tanpa melanjutkan perjalanan menuju rumahnya di perumahan dalam pasar. 


Seorang anak menjelang remaja dengan senter kepala yang dililitkan pada dahinya muncul dari arah tepi sungai. Badrun bergegas menghentikan langkah anak tersebut untuk bertanya, ”Apakah tontu telah tiba?”


Anak remaja tanggung itu mengarahkan senternya ke wajah Badrun untuk mengetahui siapa orang yang menghentikan dirinya, “Tontu tidak sempat terjadi lantaran hujan deras tiba-tiba turun di sekitar desa Tualan hulu sana dan tak lama kemudian terjadi banjir,” anak remaja itu menerangjelaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun