Mohon tunggu...
Muhammad Dahlan
Muhammad Dahlan Mohon Tunggu... Petani -

I am just another guy with an average story

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tontu

23 Juni 2017   08:08 Diperbarui: 23 Juni 2017   09:20 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


“Apa benar demikan, Nak?” Ibunya mengulang pertanyaan bapaknya demi melihat Badrun hanya tertunduk diam tidak menjawab. 


“Kami tidak mempermasalahkan siapapun gadis yang kau pilih untuk kau persunting sebagai istri, tetapi dia pilihanmu saat ini memiliki ikatan kekerabatan yang tingkatannya lebih tinggi darimu. Ingatlah, bapakmu seorang imam dan khatib yang selalu memberi pengajaran dan peringatan tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dikerjakan sesuai tuntunan agama. Lantas apa kata orang jika anak sang imam dan khatib sendiri yang melanggar ajaran agama?” bapaknya menyambung percakapan.


“Hendak kemana kami sembunyikan wajah kami mendengar gunjingan masyarakat setiap harinya. Kau tahu dengan baik bahwa kita tinggal di kampung kecil yang sebagian besar warganya saling kenal satu sama lain. Demikian pula dengan cerita, baik maupun buruk, akan beredar dengan cepat dan menjadi rahasia bersama. Ibarat kata, suara jarum yang jatuh ke tanah di sini turut terdengar oleh mereka yang tinggal di seberang sungai sana,” ibunya kembali menimpali melihat Badrun yang sejak tadi tertunduk dan terpaku membisu di atas kursi rotan.


“Sekali lagi bapak dan ibumu meminta kau menghentikan keinginan terlarang kalian. Simpan saja hasrat tak pantas itu di gudang hati terdalam. Hubungan kalian tak akan pernah sampai kemana-mana. Semakin kalian menguatkan diri bertahan melawan, semakin terluka kalian pada penghujungnya!” Bapaknya mengultimatum seraya berdiri dari kursi, meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya.


Sepanjang malam Badrun tidak bisa tidur karena terganggu memikirkan anjuran yang lebih dia maknai sebagai ancaman yang telah menjadi kesekian kalinya dari kedua orangtuanya. Dia merasa berada di persimpangan dilema, tak menemukan cara untuk mendapatkan restu dan tiada jalan keluar untuk membebaskan diri. Kebuntuan pikiran berujung pada keputusan melepaskan diri dari belenggu yang mengungkungnya, keputusan yang telah dia rencanakan sejak beberapa hari lalu. Melarikan diri.


Ditinggalkannya rumah di tengah malam buta menuju jalan raya untuk kemudian menumpang bus antarprovinsi. Dia pergi seorang diri. Dua jam lebih awal dari kesepakatan waktu yang dia buat dengan seorang gadis yang ingin turut serta sebagai pelarian.



Badrun mendatangi seorang kenalan yang sebelumnya telah berjanji akan memberinya tumpangan hunian dan pekerjaan. Amran, seorang pemborong bangunan yang pernah membeli batu gunung dari Kerayan yang diangkut menggunakan kapal menyusuri Sungai Telake, lalu menyeberangi lautan untuk sampai ke Balikpapan. Amran mempekerjakan Badrun sebagai seorang pengawas pekerjaan konstruksi yang dia peroleh dari pemilik proyek. Ditekuninya pekerjaan dengan penuh dedikasi sebagai bentuk terima kasihnya kepada Amran yang telah berkenan menampungnya. 


Pada tahun ketiga, Badrun berubah pikiran untuk meninggalkan pekerjaannya. Hal itu bermula ketika dia mengerjakan pembuatan komplek perumahan di kawasan permukiman baru di perbukitan Salok Cinta. Salah seorang warga setempat yang bekerja padanya menawarkan tanahnya.


“Sebenarnya bapak tidak pernah berkeinginan menjual tanah warisan satu-satunya yang tersisa dari leluhur kami, namun saat ini anakku yang baru saja masuk SMA terus merengek minta dibelikan sepeda motor. Meskipun dia bisa memakai sepeda motor kami satu-satunya, tetapi sepertinya dia malu menunjukkan sepeda motor tua kami ke sekolahnya yang berada di tengah kota,” ujar pekerjanya itu sambil menyodorkan surat keterangan kepemilikan tanah.


“Tampaknya kau tidak cocok tinggal di tengah keramaian dan lebih memilih kawasan perbukitan yang terpencil, belum lagi ada orang bermukim di sana dan lebih sunyi dibanding kampung halamanmu nun jauh di seberang teluk sana?” Demikian tanggapan Amran mendengar penuturan Badrun yag pamit berhenti bekerja dan memilih berkebun.


Badrun seorang diri mengerjakan membuka lahan dengan menebang pepohonan sungkai dan bambu, menebas semak belukar dan padang rumput, mencangkul permukaan tanah guna memperbaiki strukturnya untuk selanjutnya ditanami dengan tanaman jeruk, jambu, jagung, pepaya dan salak. Dibangunnya sebuah rumah kecil terbuat dari kayu sungkai  bertiang tinggi di pintu gerbang jalan masuk kebun seluas dua hektar persegi berpagarkan kayu sungkai dan bambu. Hasil panen dari kebun buahnya dia pasok kepada pedagang buah di Pasar Manggar dan kawasan wisata Pantai Manggar. Begitulah Badrun melakoni hidupnya selama belasan tahun, terasing sendiri hidup di atas perbukitan yang di malam hari dia akan duduk termenung seorang diri berjam-jam lamanya menatap cahaya lampu jalan raya dan kendaraan yang melintas, cahaya dari lampu rumah penduduk serta kerlap-kerlip lampu dari perahu nelayan, baik yang tengah berlayar maupun sedang bersandar di sepanjang garis pantai tepi laut nun jauh di bawah sana. Berkilo-kilometer jaraknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun