Label unggul melekat kuat dalam dunia pendidikan. Guru berpacu mengejar predikat unggul. Piala-piala, sertifikat, dan bukti fisik dikumpulkan untuk terlihat meyakinkan.
Di balik label UNGGUL, level literasi peserta didik berada di angka mengkhawatirkan. Cakupan penilaian kurikulum seakan mengaburkan kedalaman bernalar dan berpikir siswa di sekolah.Â
Level kecerdasan siswa pun acapkali tidak mencerminkan kemampuan memecahkan masalah. Mereka belum terbiasa berpikir kritis dan condong mengikuti permintaan kurikulum.
Sulit membedakan siswa cerdas alami karena kemampuan pribadi. Umumnya, labelisasi kecerdasan terukir dalam angka-angka buatan untuk mendongkrak nama sekolah.
Ketika PISA mengeluarkan hasil, level membaca siswa-siswi Indonesia meresahkan banyak orang tua. Terlebih melihat gambaran perilaku siswa di media sosial, labelisasi kecerdasan semakin terpampang ke permukaan.
Sejauh mana siswa-siswi Indonesia unggul?
Di area publik, tulisan-tulisan pengingat bahkan gagal dipahami oleh masyarakat umum. Larangan buang sampah sembarangan jarang dihiraukan. Himbauan tidak merokok sering diterjemahkan sebagai ajakan merokok.
Orang tua siswa berharap banyak pada guru. Terkhusus dalam hal penilaian anak-anak mereka. Nilai rendah dianggap memalukan dan perlu dirubah.
Orientasi pada nilai 'memaksa' guru mengaburkan makna asemen. Jumlah siswa-siswi cerdas bertambah mengikuti momen sakral akhir masa sekolah.
Literasi guru-guru di sekolah juga bermasalah. Labelisasi guru unggul tidak selalu mencerminkan kemampuan mengajar di ruang kelas. Sertifikat-sertifikat hasil pelatihan sekedar memenuhi angka kredit.