Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pergolakan Ketatanegaraan dalam Pengesahan RUU Cipta Kerja

7 Oktober 2020   17:21 Diperbarui: 7 Oktober 2020   17:24 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: www.tempo.com

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan DPR sangat identik dengan kepentingan publik. Bahkan nasib rakyat secara keseluruhan. Tidak semua produk legislasi harus ditolak. UU diperlukan. Adanya Parpol juga penting bagi proses berjalannya demokrasi dan pemerintahan.

Perlu digaris bawahi. Masukan. Kritikan dan suara keras publik juga harus diperhatikan. Jangan abaikan. Begitu banyak suara keras dari publik. Penolakan baik sebagian pasal-pasal atau secara keseluruhan UU. Baik dari akademisi, praktisi, LSM, pergerakan mahasiswa dan semua elemen masyarakat. Khususnya buruh dan pekerja.

Lalu sebenarnya apa RUU Cipta Kerja? Dengan metode omnibus law ada sekitar 79 UU dikodifikasi menjadi 1 produk RUU. Ada sekitar 1244 pasal. Ada revisi dalam UU yang pernah ada. Ada penambahan dan penghapusan. Bahkan ada norma hukum baru yang tercantum dalam RUU tersebut. Secara umum ada 11 point atau klaster atau pengelompokan dari bidang tertentu. Hal tersebut yaitu Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan, Pemberdayaan dan Perlindungan UMK-M, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Investasi, Administrasi Pemerintah, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi. Itu secara umum pengelompokannya.

Proses Legislasi

Sebagaimana diketahui bahwa RUU Cipta Kerja atas inisiatif pemerintah. Draft utuh baru beredar ke publik setelah resmi di serahkan pada DPR pada Februari 2020. Hal ini berbeda ketika usul dari DPR ada tahapan Penyusunan (Komisi, Harmonisasi, dan Penetapan Usul). Baru pembahasan baik di tingkat 1 dan 2. Tahapan legislasi dari UU juga dapat dari DPD selain dari Pemerintah dan DPR. Pun juga dari gabungan diantara mereka. Domain saat pengusul itu berbeda prosesnya dari ketiga elemen tersebut.

Tahapan di DPR sebagai proses legislasi dan kinerja dengan pihak pengusul dilanjutkan yaitu proses Pembahasan baik tingkat 1 dan 2. Pada tingkat 1 proses di Badan Legislatif (Baleg). Kemudian di Badan Musyawarah (Bamus) untuk dijadwalkan pada pembahasan tingkat 2 (akhir) di Sidang Paripurna DPR untuk pengesahan sebuah RUU.

Kritikan

Sejak Februari 2020 atas inisiatif pemerintah draft RUU Cipta Kerja diserahkan pada DPR. Pembahasan dari pemerintah terkesan sangat tertutup. Pasca penyerahan tersebut publik bergejolak. Semua elemen bangsa ikut protes. Memberikan saran, kritik dan masukan bersama. Pasca adanya pandemi pembahasan bahkan rencana pengesahan tanggal 16 Juli 2020 pun ditunda. Pada Agustus 2020 pembahasan pun dilanjutkan. Wajar jika publik terus protes memberikan suara. Tahapan Pembahasan I bergulir lagi tanggal 19 Agustus 2020. Panja pun terus bekerja memfasilitasi adanya pembahasan tersebut. Saat itu pembahasan pada Bab III saja belum menyeluruh.

Suara publik berhasil saat meredam pengesahan RUU KUHP dan RUU HIP. Walau masih kalah saat RUU KPK. Pembahasan RUU Cipta Kerja terlalu cepat pembahasan di tingkat 1 saat di Badan Legislatif (Baleg). Jadwal tanggal 8 Oktober 2020 dirubah tanggal 5 secara tiba-tiba. Dari Badan Musyawarah (Bamus) langsung dijadwalkan pada pembahasan tingkat 2 dalam sidang Paripurna DPR. Jeda ruang publik makin dibungkam. DPR kurang menyerap aspirasi. Saat sidang pun bagi yang kontra dibatasi hak suaranya. Ada manipulasi forum. Bahkan ada indikasi mematikan mikrofon secara sepihak.

Omnibus Law adalah metode. Digunakan buat penyederhanaan, pencabutan/penambahan pasal-pasal dari 79 UU. Redaksional "Omnibus Law" awalnya saat masih draft dimasukan dalam konsideran. Pasca disahkan jadi tidak ada. Dihilangkan. Dari judul saja. Dulu salah ketik. Draft sudah diserahkan pada DPR tiba-tiba diganti. Pembahasan sangat tertutup. Perubahan apa saja kurang jelas. Sampailah pada akhir pembahasan tingkat 1 di Baleg tanggal 3 Oktober. Dilanjutkan ke Bamus. Jadwal dimajukan tiba-tiba dari jadwal tanggal 8 Oktober. Dadakan sidang Paripurna DPR tanggal 5 Oktober.

Hasilnya seperti apa?. Lebih baik kita tunggu agar masuk lembaran negara saat diundangkan dan ditanda tangani Presiden. Biar jelas pasal-pasal dan redaksional kata dan per kalimat. Kita masih ingat pasca disahkan dalam Paripurna DPR saja. Dulu saat RUU KPK masih dianggap salah ketik soal umur pimpinan KPK. Hal-hal kecil dan aneh tersebut. Buat trust publik runtuh. Kita juga tidak tahu pasca pengesahan substansi aslinya akan seperti apa?. Untuk meminimalisir adanya hoax. Walau pembenaran sudah dilakukan oleh pembuat UU. Itu adalah versi mereka. Publik sudah cerdas menyikapi dan memberikan argumentasinya tandingannya.

Jalan Solusi

Tentunya masih ingat ketika ada penolakan keras oleh publik saat mau pengesahan RUU Pilkada dan RUU Pemda. Keributan ada di mana-mana. Akhirnya sah menjadi UU. Presiden SBY langsung mengeluarkan 2 Perppu. Presiden SBY langsung turun tangan. Mengeluarkan Perppu bersamaan menghapus pasal-pasal yang kontroversial. Demokrasi langsung di tingkat daerah tetap ada. Bukan perwakilan lagi. Kenapa dengan kasus tersebut?. Itu kasuistis kasus legislasi yang kontoversial. Tentunya juga tidak kalah panas adalah saat RUU KPK, tapi hasil RUU ini tidak ada Perppu.

Sekedar flash back 2 RUU tersebut (Pilkada dan Pemda) lebih memberikan penjabaran norma hukum yang lebih detail. Awalnya terkait pemilihan kepala daerah masih menginduk di dalam UU Pemda. Pasca proses legislasi tersebut, ada pengeluaran norma hukum terkait pemilihan kepala daerah masuk sebagai RUU tersendiri (RUU Pilkada).

Lalu sikap Presiden Jokowi terhadap RUU Cipta Kerja tersebut? Justru memberikan angin segar memberikan legalitas (Surpres)  pengesahan sebagai draft dari pemerintah. Memberikan jeda waktu maksimal 100 hari dapat selesai di DPR. Presiden sebagai simbol dari pemerintah tidak menunjukan sikap penolakan walau sudah mendapat respon publik. Justru memberikan legalitas agar ditindak lanjuti untuk mendapat pembahasan bersama lagi. Dengan memaksimalkan Panja DPR.

Lalu langkah konstitutional sekarang bagaimana? Ada 2 langkah yaitu, Pertama adalah UJI MATERI di MK. Hasilnya? Bisa dibatalkan sebagian pasal atau UU seluruhnya (seperti dulu UU BHP). Ataukah senasib hasil RUU KPK (jadi UU) masih terhenti? Kedua adalah jika Presiden Jokowi berani keluarkan PERPPU. Seperti halnya dulu Presiden SBY pasca sah UU Pilkada dan UU Pemda. Tertanggal 2 Oktober 2014, SBY keluarkan 2 PERPPU (No.1 atas pembatalan UU No. 22 dan No. 2 atas perubahan/pembatalan UU No. 23). BERANI?. Apakah Presiden berani mengambil langkah progresif mengeluarkan Perppu?. Kita tunggu saja.

Akan kita kawal bersama. Pasca pengesahan tersebut. Akan seperti apa?. "Berpotensi Pekerja atau Rakyat Menderita dan Investor Bahagia". Ini sejalan dengan tujuan utama dari Pasal 1 ayat (1) UU Cipta Kerja. Bukankah bungkusan luar adalah "investasi" dan "proyek"?. Sebelum buah dalam analisis pasal per pasal. Bukan tidak paham isi pasal-pasalnya seperti apa saja. Bungkusan luar sudah mencerminkan tujuan dari UU tersebut.

Penulis: Saifudin atau Mas Say

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun