Penderitaan yang kita alami seminggu terakhir ini sama sekali belum sepadan sebagai imbalan bagi kebusukan hati, kepincangan akal, dan kebobrokan moral yang kita selenggarakan beramai-ramai beberapa tahun terakhir ini. Itu pun siapa yang sungguh-sungguh menderita? Lihatlah ke jalanan, mal-mal, plaza, siaran TV, berita koran. hampir semuanya masih senang-senang saja, masih cengengesan dan pencilakan.
Maka, silahkan meneliti sendiri apa sebenarnya yang engkau alami hari-hari ini. Baik engkau sebagai individu, engkau sebagai anggauta masyarakat, engkau sebagai warga negara, engkau sekeluarga, engkau sebagai hamba Allah. Apakah Tuhan sedang memberimu peringatan, ujian, ataukah hukuman, atau semua unsur itu ada sekaligus dalam pengalaman kita.
Syukur kalau engkau diperingatkan, berarti masih disayang dan dibukakan kemungkinan untuk selamat. Silahkan teliti mana reformasimu? Sudah empat tahun, ternyata bohong ya. Mana demokrasimu. Mana kinerja amanah wakil-wakilmu. Ulangi lagi kutukan-kutukanmu dan sesekali ucapkan kepada dirimu sendiri: jangan-jangan kau kandung Suharto(mudah-mudahan beliau diterima disisiNya) di sel-sel darahmu. Jangan-jangan kau bekerja di perusahaan hasil money laundering-nya Cendana(maaf sekarang, mungkin sudah berganti rupa). Siang hari kau teriak-teriak demo, sambil bawa hand phone dan fasilitas uang cipratan hasil penjualan senjata internasional yang memerlukan pasar konflik di Timur Tengah dan Indonesia Raya dengan kamuflase demokratisasi, HAM, serta tindakan hukum lainnya dan otonomi daerah.
Kalau engkau dan para aktivis pahlawan-pahlawanmu itu berteriak -"Adili Suharto (mudah-mudah Pak Harto diampuni kesalahannya kalau itu memang salah) !", "Berantas KKN!" dst-dstnya tapi apakah karena engkau berpikir hukum, ataukah karena diam-diam engkau menyimpan ucapan "Mestinya aku dong yang kaya raya seperti Onasis, George Sorosh, atau siapa yach yang mau jadi contohnya". Bukankah yang sekarang baik yang dipemerintahan atau juga swasta melakukan hal yang sama persis, bahkan lebih parah, dibanding pelaku-pelaku era yang mereka kutuk? (mungkin Gusdur dan Pak Harto disana tersenyum-senyum saja melihat kelakuan generasi berikutnya)
***
Sebagian dari kita mungkin diuji oleh Allah. Kalau diuji, berarti disediakan derajat yang lebih tinggi. Atau mungkin di banyak konteks, kita memang dihukum oleh Tuhan. Di-adzab.
Tapi, adakah orang yang keberatan dengan adzab Allah? Bukankah engkau masih terus bergembira ria dengan proyek-proyek dulinan, produk-produk picisan main-main, tayangan-tayangan senang-senang, pemuatan gambar dan berita celelekan?
Tapi, sementara ini bergembiralah karena rahmat Tuhan memang berbeda dengan barokah-Nya. Rahmat itu universal. Silahkan maling dan korupsi, Anda tidak dihalangi oleh Allah untuk tetap merasakan enaknya makan sate, nikmatnya memangku hostess, dan nyamannya mengambil uang rakyat di kas kantor. Rahmat itu diperuntukkan bagi siapa saja (sampeyan percaya) ada; kyai, maling, pengojek, pencopet, mubalig, pelacur. Siapa pun yang namanya manusia.
Tapi kalau barokah tidak demikian. Silahkan sukses kaya raya berkuasa di muka bumi dan saya tidak akan mengatakan kepada Anda "belum tentu hidup Anda barokah" - karena Anda toh tidak membutuhkan barokah. Bahkan, Anda belum tentu butuh Tuhan. Yah ngaku saja dech: kalau Tuhan juga membebaskan Anda dari sholat, puasa, berbuat baik dst - Anda senang kan? Sholat dan ibadah itu tidak enak bagi kebanyakan kita. Maka, kalau Tuhan kasih tulisan di langit "Mulai hari ini Kubebaskan kalian dari kewajiban sholat!", kita akan bersorak- sorai dan pesta-pora.
Bahkan, kalau Tuhan tidak ada, malaikat tidak ada, surga tidak ada, Nabi dan Agama tidak ada - asalkan Anda punya uang banyak: Anda mau kan?
***