GUGUR GUNUNG
Kamar ini berukuran cukup luas, dilengkapi pula dengan alat pendingin. Namun entah kenapa hatiku berasa tidak menentu. Kupandangi lagi jam dinding di kamarku yang saat ini menunjukkan pukul sepuluh lewat lima puluh menit. Aku gelisah karena rasa penasaranku. Kakek tua yang kulihat tadi pagi benar-benar menyita pikiranku seharian ini. Siapakah beliau?
Aku segera bergegas bangun dari tempat tidurku. Segera aku berjalan cepat keluar rumah menuju taman. Saat ini aku mengenakan celana pangsi warna hitam dengan kaos hitam berlengan pendek. Setelah menutup pintu, dengan sedikit berlari aku menuju ke taman didekat rumahku. Taman dimana aku menjumpai kakek tua yang mengerti ilmu Tapak Geni dengan sangat baik.
Tidak berapa lama, aku sudah sampai di tengah taman. Kupandangi kesekeliling yang nampak sepi. Sudah tidak ada orang yang bermain di taman pada jam sebelas malam. Bahkan para gelandanganpun tidak ada disini. Aku menuju tempat dimana tadi pagi aku bertemu dengan kakek tua itu. Nampaknya kakek tua itu belum datang.
"Biarlah kutunggu ia disini...", ucapku dalam hati.
Belum sempat aku duduk, aku dikejutkan dengan tepukan ringan di bahu sebelah kananku. Sontak aku menjadi sangat terkejut, dan sekejap mata reflekku bereaksi untuk melakukan tangkisan atas sambil memutar tubuh. Hanya sepersekian detik saja setelah tepukan itu hinggap di bahu kananku.
Namun aku dibuat terkejut bukan kepalang. Tangkisanku hanya mengenai udara kosong. Padahal aku sangat yakin kalau bahu kananku kena tepuk oleh tangan seseorang yang entah siapa. Tentunya itu bukan tepukan jin atau demit karena aku selalu diajari oleh ayahku agar selalu takut pada Allah dan bukan pada jin atau demit atau sejenis itu.
"Reflekmu bagus juga anak muda..."
Tiba-tiba terdengar suara berat ditelingaku. Arahnya dari belakang tubuhku. Langsung aku balik badan menuju arah suara tersebut. Terlihat kini seorang kakek tua sedang duduk didepanku berjarak kurang lebih tiga meter.
Aku kembali terkejut. Tiga meter! Itu adalah jarak yang cukup jauh dibandingkan suara yang aku dengar yang nampaknya lebih cocok disebut suara dari jarak kurang dari satu meter. Sangat jelas ditelingaku. Tidak mungkin diucapkan dengan jarak lebih dari tiga meter. Aku mulai sadar, kakek tua di hadapanku ini bukanlah orang sembarangan. Langsung kukuasai keterkejutanku. Segera aku berjalan mendekat dan kemudian memberikan penghormatan dengan membungkukkan badan.
"Terimalah salam hormatku kek... Maafkan atas kelancanganku...", ucapku sambil membungkukkan badan.