Tempat itu selalu kita lewati saat ingin latihan keluar kota. Dan ayah selalu mengajakmu untuk makan nasi jamblang di tempat itu. Masih ingat tidak?", tanya ayah sambil tersenyum.
Aku mengangguk.
"Ingat, Yah...", jawabku.
"Kamu harus tahu sejarah di tempatmu sendiri, baik budayanya maupun makanannya. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebab melalui sejarah inilah Aa akan mendapatkan hikmah dan ilmu yang banyak. Termasuk nanti sejarah pada ilmu beladirimu...", lanjut ayah.
Aku mendengarkan ucapan ayah dengan seksama.
"Nah, Sega Jamblang Tulen ini mempertahankan cita rasa asli nasi jamblang yang diwariskan Mbah Wulung. Pada saat menginjak generasi ketiga atau era Mak Zaenah dan Katrawi, nasi jamblang ini begitu populer sehingga menjadi ikon Kota Cirebon...", lanjut ayah.
"Ayah, kalau nasi jamblang ini menjadi ikon kota Cirebon, pada saat itu bagaimana caranya nasi jamblang ini bisa menyebar ke banyak tempat?", tanyaku penasaran.
"Nah... pertanyaan bagus!", jawab ayah dengan bersemangat. Kulihat ayah mengubah sedikit letak posisi tempat duduknya.
"Saat itu, nasi jamblang dipasarkan menggunakan sistem 'pengeber' atau dijual kembali oleh orang-orang dengan cara berkeliling Cirebon.
Pada awalnya, lauk menu nasi jamblang masih sederhana saja seperti tempe, tahu, sambal goreng, ikan 'panjelan' atau 'jambal roti', serta dendeng atau daging saja.", lanjut ayah.
Aku melihat ayah mengeluarkan daging atau dendeng dari bungkusan milikku.