Â
Oleh : Marzuki Umar, M.Pd.Â
Secara psikologis, pendidikan merupakan energi yang sangat mendasar bagi setiap insan. Dengan adanya pendidikan, setiap insan itu akan dapat membawakan diri ke trayek-trayek yang konstruktif dan kontributif. Jalur penempaan energi esensial ini dapat dijalankan melalui tiga wadah. Adapun wadah yang pertama dan utama adalah rumah tangga di bawah asuhan orang tua. Kemudian, wadah yang kedua adalah lembaga pendidikan (sekolah) di bawah pimpinan pendidik dan tenaga kependidikan. Sementara wadah pendidikan yang ketiga adalah masyarakat, yang dikawal dan diayomi oleh stiap masyarakat lingkungannya.
Melalui ketiga gerbang terapan ilmu pendidikan itu diharapkan setiap generasi akan menjadi insan kamil. Tentu, hal itu tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi orang tua, agama, bangsa, dan negara. Guna memperoleh gelar pendidikan mendasar (insan kamil) ini harus dijalankan dengan berbagai proses. Pihak pengasuh pasti mempunyai metode dan strategi masing-masing di dalam menerapkan sikap, pengetahuan, serta keterampilan terhadap asuhannya itu. Demikian juga dengan anak asuh, mereka harus tetap mengikuti rambu-rambu pendidikan yang diterimanya sembari mengembangkan sayap prestasinya ke arah yang lebih potensial.Dengan begitu, kebermaknaan pendidikan akan dapat dirasakan oleh tiap persona yang menjalaninya.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, pendidikan formal sudah dijalankan mulai tingkat PAUD sampai dengan Perguruan Tinggi, baik Negeri maupun Swasta. Para tamatannya akan memperoleh sertifikasi atau ijazah sesuai dengan jenjangnya masing-masing. Dengan adanya lembar pengakuan akademik tersebut, setiap mereka akan dapat membawa diri ke hal-hal yang berguna bagi dirinya dan masyarakat. Lalu..., buat apa ijazah dan bahkan gelar yang yang telah disandangnya itu? Mungkinkah pekerjaan atau job yang menjanjikan akan segera didapatkannya? Untuk kedua hal ini mari kita teropong dengan saksama perkembangan demi perkembangan yang terungkap dalam masyarakat.
Kiranya sudah menjadi rahasia umum bahwa dengan ijazah itu diinginkan akan mendapatkan pekerjaan yang layak, termasuk menjadi pegawai negeri sipil atau ASN sebutan selama ini. Berbagai upaya dilakukan dengan berbagai dalih agar cita-citanya itu berhasil suka. Namun, pengalaman membuktikan bahwa tidak semuanya dapat menjangkau harapan, bahkan ada yang terpuruk dengannya. Ijazahnya hanya sebagai kenangan sejarah belaka, yang dikoleksikan di dalam albom bersama dokumen-dokumen lainnya.
Guna mengkhatamkan pendidikan idolanya itu, tidak sedikit biaya, tenaga, bahkan perasaan yang dikorbankannya. Hal itu semata-mata agar bisa membahagiakan nantinya. Bagi yang terwujud sudah dan akan menikmatinya dengan aman dan nyaman, sementara bagi yang tidak, duka lara mencacah jiwanya. Tak tertutup kemungkinan penyesalan terbersit dalam dada dengan ungkapan "Buat apa sekolah dan kuliah tinggi kalau akhirnya begini!" Muzakarah akan ketimpangan-ketimpangan yang berbalut duka di balik prasasti yang diraih melalui jalur pendidikan formal, para pemilik sertifikat itu jauh-jauh hari wajib memikirkan secara matang terhadap perkembangan zaman serta peluang-peluang yang akan bergulir pada zamannya itu.
Menindaklanjuti kebimbangan dan ketidakjelasan penghidupan dan penghasilan yang bakal dirasakan, para pecinta ilmu ini harus lebih waspada serta berhati mulia dalam memilih dan memilah keotentikan ijazah perolehannya itu. Dengan begitu, kesusahan  akan berbuah serta berganti dengan keberkahan. Memang hal tersebut adakalanya sulit dimanifestasikan tetapi pepatah jadul "Di mana ada kemauan di situ ada jalan" adalah kata-kata bijak yang tak hilang ditelan zaman. Banyak celah dan sisi yang dapat dimanfaatkan untuk berpikir ke arah yang lebih menguntungkan. Kiranya, jalan mana saja yang perlu ditempuh? Berhasilkah melalui jalan itu sampai ke tujuan? Untuk menjadi bahan pertimbangan terhadap kebermaknaan piagam atau tanda lulus yang akan diraih, penjelasan berikut ini setidaknya akan menjadi pencerahan ke arah yang lebih berguna.Â
Tidak Terlalu Berharap Jadi PNS atau ASN
Pendidikan mutlak dibutuhkan dan diperlukan. Hal itu dikarenakan pendidikan adalah fondamen kehidupan dan penghidupan seseorang. Dengan adanya payung pendidikan dalam diri seseorang itu akan memudahkan dirinya di dalam bertindak seirama dengan ilmu pengetahuan yang digandrunginya. Terlebih di era digitalisasi, yang di dalamnya dipenuhi oleh generasi Y dan generasi Z, pendidikan itu maha penting rasanya. Bagaimana jika setelah tamat pendidikan akan menghadapi yang namanya generasi Alfa dan Boomer nantinya, apabila sang pengelola dan pengayom minim ilmu pengetahuan.
Guna mencapai sasaran yang diinginkan, setiap orang yang akan dan telah mengukir keberhasilan melalui jalur pendidikan, hendaknya tidak terlalu berharap akan diangkat menjadi PNS atau ASN. Berusaha adalah fitrah tetapi terlalu ambisi tergapainya usaha itu akan menjadi resah. Berdiri di jalur tengah akan lebih mengarah.