Mohon tunggu...
Siti Marwanah
Siti Marwanah Mohon Tunggu... Guru - "Abadikan hidup melalui untaian kata dalam goresan pena"

"Tulislah apa yang anda kerjakan dan kerjakan apa yang tertulis"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rasa (21) Gejolak

22 Januari 2021   16:40 Diperbarui: 22 Januari 2021   16:46 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kring...kring...kring
Dering panggilan masuk dari ponselnya membuat Aisyah terjaga dari tidur siang. Diraihnya gawai yang tergeletak di kasur. Tidak ada nama tertera, hanya deretan nomer asing yang masuk. Merasa tidak mengenal nomer tersebut dia membiarkan ponsel itu terus berdering hingga panggilan itu terhenti. Tidak berapa lama gawai itu kembali berbunyi, ternyata nomer yang sama memanggil lagi.
Setengah enggan Aisyah menerima panggilan itu.
"Hallo," Terdengar suara seorang laki-laki. Setelah mengucapkan salam. Pria itu langsung membuka percakapan.
"Apakah benar ini nomer saudara Aisyah Larasati?" Pertanyaan terlontar dari seberang sana.
"Ya betul!" Ini siapa?" Tanya Aisyah balik Dengan suara sedikit parau, maklum baru bangun tidur.
"Fadli!"

Jantung Aisyah berdetak kencang, napasnya tertahan, suaranya terasa tersekat di kerongkongan, dia tidak bisa berbicara saat dia tahu lelaki yang menelpon adalah pria yang sedang bermain di benaknya dari tadi.
Dia menarik napas panjang berusaha menguasai diri.
"Hallo," suara Fadli menyadarkan Aisyah dari ketegangan yang dia rasakan.
Hallo, pak dokter," jawab Aisyah dengan nada kaget. " Darimana pak dokter tahu nomor saya?"
Tanpa menjawab pertanyaan Aisyah, Fadli balik bertanya.
"Bagaimana keadaan kakimu, apakah masih terasa nyeri?"
"Alhamdulillah, sudah lumayan membaik walau masih terasa nyeri." Ucap dengan nada bergetar.
"Kapan pak dokter ada waktu, ada yang ingin saya bicarakan," ajak Aisyah.

Fadli tidak membuang kesempatan atas ajakan Aisyah, dia langsung mengatakan "Bagaimana kalau sekarang, sekalian saya ingin melihat kondisi kakimu. Biar saya yang ke rumahmu, kamu kirim saja alamatnya. lewat whatshapp.
Belum sempat Aisyah menolak, namun ponsel sudah dimatikan. Akhirnya dengan berat hati dia mengirim alamat bengkel sang bapak agar lebih mudah ditemukan.

Disambarnya handuk yang tergantung di tali, dia langsung menuju kamar mandi. Dia ingin terlihat fress di depan Fadli saat dia datang.
Aisyah mematutkan diri di depan cermin yang tergantung di tembok kamar. Gamis hijau muda bermotif ceria menambah kesegaran di wajah gadis dengan polesan make up seadanya.

Mobil Jazz metalik langsung melaju di jalanan yang padat menuju alamat yang tertera di ponsel. Tidak sulit mencari alamat tersebut karena berada di jalan utama. Fadli memarkir mobilnya sedikit menjauh dari bengkel yang dicari. Dia berjalan menghampiri dan terdengar seseorang memanggil namanya.
"Pak dokter, mau kemana, mungkin saya bisa bantu.?" Suara lelaki tua langsung bangkit dari duduknya, begitu melihat pria berpenampilan rapi berjalan ke arahnya.
"Bukannya bapak, orang tua dari Aisyah?" Tanya Fadli memastikan ingatannya.
"Betul, saya pak Sukri, bapaknya Aisyah yang pak dokter rawat dulu," jawab lelaki itu sembari membungkuk dan menyilangkan kedua tangannya sejajar dengan lutut.

Lelaki berpenampikan rapi itu pun menyampaikan maksudnya untuk bertemu Aisyah. Setelah minta ijin kepada pelanggan pak Sukri mengantar Fadli ke rumahnya yang tidak terlalu jauh. Mereka pun berjalan beriringan, sesekali terdengar percakapan antara keduanya.
"Ais, ada tamu yang mencarimu, panggil lelaki paruh baya itu setelah dia sampai di depan rumahnya. Setelah mempersilahkan tamunya duduk, Pria tua berambut putih itu pun berlalu mencari putri sulungnya di dalam.

Pandangannya di arahkan ke sekeliling rumah sederhana ini. Ada rasa haru berkecamuk di batin Fadli melihat rumah gadis yang diimpikan selama ini. Tidak pernah terbayang dan terbersit dalam pikirannya kondisi tempat tinggal keluarga ini yang seadanya.

Fadli langsung berdiri saat melihat Aisyah berjalan dengan kaki tertatih keluar sembari membawa nampan yang berisi dua gelas teh ingin membantu namun dengan lembut gadis itu menolak
"Tidak apa-apa silahkan duduk," ucapnya sambil meletakkan cangkir di depan Fadli.
Mereka duduk berhadapan.
"Silahkan di minum, maaf hanya ada teh!" Suara gadis itu kembali merendah.
Saat keduanya sedang asyik berbicara, Pak Sukri pamit kepada tamunya untuk melanjutkan pekerjaannya di bengkel.

"Katanya ada yang ingin kamu bicarakan?" Tanya Fadli mengingatkan Aisyah.
"Oh, ya. Ada hal yang ingin saya tanyakan. Sejak keluar dari rumah sakit ada satu hal yang mengganggu pikiran saya. Waktu itu saya langsung mencari tahu namun hasilnya nihil. Hingga akhirnya jawabannya saya dapatkan hari ini."
Tampak wajah Fadli kebingungan belum bisa menebak arah pembicaraan Aisyah, namun dia tidak ingi menyela maupun memotong pembicaraan. Dia tetap diam mendengar penuturan gadis yang duduk di depannya.
"Satu hal yang saya harapkan dari pak dokter yaitu kejujuran." Ucap Aisyah penuh penegasan.

Gadis itu mengeluarkan beberapa kertas dari saku gamisnya dan memperlihatkannya kepada Fadli.
"Bukankah ini tanda tangan pak dokter yang ada di surat keterangan istirahat yang saya minta beberapa hari yang lalu?"
"Ya, betul," jawab Fadli disertai anggukan.
Aisyah kembali membuka kertas yang satunya lagi.
"Silahkan pak dokter amati kedua tanda tangan yang ada di depan pak dokter, bukankah itu sama?" Sembari memberi kode dengan jarinya.

Lelaki itu sudah bisa menebak arah pembicaraan  Aisyah. Dia sempat melihat nominal uang di kertas kedua yang disodorkan Aisyah. Bibirnya bisu tidak tahu apa yang harus diucapkan, rasa bersalah menggeroti hatinya.
"Apakah pak dokter yang membayar biaya rumah sakit saya, dan apa alasannya?" Tanya Aisyah dengan nada kecewa.

Fahri menyeruput teh mencoba menghilangkan kekakuannya. Untuk beberapa saat suasana hening, ditariknya napas panjang. Sambil memperbaiki posisi duduknya dia pun berucap.
"Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa. Saat itu saya tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan pak Sukri tentang biaya rumah sakit. Saya langsung membayar semua tagihan rumah sakit, tanpa bertanya terlebih dahulu kepada kalian, saya khawatir kalian tersinggung." Kembali dia menyeruput tehnya.
"Saya pikir uang ini tidak sebanding dengan apa yang sudah kamu lakukan pada keluargaku dulu, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih kami,"
"Maaf, kami memang orang miskin, namun kami tidak suka dikasihani. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada pak dokter tapi insyaallah dana yang sudah pak dokter keluarkan itu akan saya cicil sedikit demi sedikit." Ungkap Aisyah.

Awalnya Fadli menolak, baginya semua yang dia lakukan itu ikhlas dan tidak perlu dikembalikan. Tapi Aisyah tetap saja bersi keras akan mengembalikan uang itu sedikit demi sedikit.  Dia tidak ingin berhutang jasa pada siapa pun. Lelaki itu pun menerima alasan Aisyah dengan memberi kelonggaran. Pengembaliannya sejumlah kemampuan keluarga Aisyah tanpa harus dipaksakan.

Ada rasa lega di hati Aisyah setelah dia bertemu dengan orang yang membantu biaya pengobatannya. Kecanggungan masih terasa diantara mereka. Sesekali terlihat senyum merekah di wajah keduanya. Tanpa terasa cahaya matahari sudah redup saat dokter Fadli pamit pulang. Tak lupa lelaki itu memberi kode akan menghubunginya lagi nanti.

Minggu demi Minggu berlalu, bulan demi bulan terlewati. Pertemuan demi pertemuan mereka jalani membuat kedua insan ini terlihat semakin akrab.  Bagi Aisyah ada hal yang  tidak dapat dipungkiri tentang Fadli. Pria itu memiliki karisma yang sulit untuk di tepis, seakan ada Magnit kuat menyelimuti, membuat siapa saja yang melihatnya ingin terus memandang wajahnya. Lelaki itu dipenuhi oleh daya tarik yang sulit diterjemahkan dalam kata-kata, pesonanya terlalu kuat, wajahnya tampan tak berlebih. Kumis tipis bertengker di atas bibirnya yang tipis menambah kesan kedewasaan.

Kebaikan itu memang selalu menang dan selalu bisa menjadi jalan untuk merubah seseorang. Allah maha baik, kita tidak pernah tahu rahasia Allah untuk setiap mahluknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun