Pulau Flores kini berada dalam pusaran kepentingan besar. Pemerintah pusat dan investor asing ramai-ramai melirik potensi geotermal sebagai "emas hijau" yang konon bisa membawa Indonesia menuju masa depan energi bersih. Namun di balik jargon energi terbarukan, yang muncul justru pertanyaan pedas: siapa sebenarnya yang akan diuntungkan? Rakyat Flores, atau segelintir elit dan korporasi?
Energi Hijau, Retorika Kosong
Kata "energi hijau" seolah menjadi mantra sakti. Pemerintah mengklaim geotermal ramah lingkungan, padahal pengalaman di berbagai proyek membuktikan sebaliknya. Pembukaan hutan, hilangnya sumber air, hingga terganggunya lahan pertanian adalah fakta yang tak bisa disembunyikan. Retorika "hijau" hanya menutupi praktik lama: eksploitasi sumber daya atas nama pembangunan.
Kutukan Kekayaan Alam
Flores menyimpan ironi. Kaya sumber daya, tapi rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Proyek geotermal berpotensi besar memperdalam jurang ini. Listrik yang dihasilkan tidak otomatis dinikmati rakyat Flores. Justru besar kemungkinan energi itu dialirkan untuk industri di luar pulau. Sementara masyarakat adat menanggung kerusakan tanah ulayat dan kehilangan sumber penghidupan. Apakah ini pembangunan, atau bentuk kolonialisme energi gaya baru?
Tanah Ulayat, Harga Mati
Tanah bagi masyarakat Flores bukan sekadar aset, melainkan identitas. Namun proyek geotermal kerap masuk tanpa menghormati hak ulayat. Janji kompensasi hanyalah formalitas untuk menutup praktik perampasan tanah. Warga yang menolak sering kali dicap sebagai penghambat pembangunan, bahkan berhadapan dengan aparat. Apakah pembangunan harus dibayar dengan kriminalisasi rakyatnya sendiri?
Negara Absen, Investor Berkuasa
Fenomena paling mencolok adalah absennya negara sebagai pelindung rakyat. Pemerintah daerah sering tak berdaya menghadapi tekanan dari pusat dan investor. Proyek dijalankan dengan dokumen indah, tapi rakyat tidak pernah benar-benar diajak bicara. Negara seolah-olah berubah menjadi makelar proyek, sementara kepentingan rakyat dijual murah demi investasi.
Masa Depan di Persimpangan
Flores harus memilih: menjadi pemilik sejati energi geotermal atau sekadar penonton di tanah sendiri. Energi ini bisa menjadi berkah jika rakyat ditempatkan sebagai aktor utama, keuntungan dibagi adil, dan lingkungan dijaga ketat. Tetapi jika pola lama eksploitasi diteruskan, maka geotermal hanyalah penipuan baru yang memperpanjang sejarah penderitaan rakyat Flores.
Pernyataan Sikap
Sekretaris Himpunan Mahasiswa Masyarakat Nusa Tenggara Timur (HMMNTT) Tangsel, Hujaifa, menegaskan:
"Kami menolak keras setiap bentuk pembangunan yang hanya menjadikan rakyat sebagai korban. Geotermal di Flores tidak boleh menjadi proyek rakus yang merampas tanah ulayat dan merusak lingkungan. Jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, libatkan masyarakat adat sejak awal, pastikan manfaatnya nyata, dan hentikan praktik kolonialisme energi gaya baru. Flores bukan tanah untuk dijual, melainkan rumah bagi masa depan generasi kami."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI