"Kehidupan yang tidak terperiksa tidak layak untuk dijalani."
Lebih dari 2.400 tahun yang lalu, Sokrates menggugat seluruh peradaban dengan satu kalimat ini. Hari ini, di tengah banjir distraksi dan kesibukan yang tak ada habisnya, peringatannya justru terdengar lebih mendesak daripada sebelumnya.
Apa Sebenarnya "Hidup yang Terperiksa"?
Dalam bahasa yang lebih akrab di telinga kita sekarang, "hidup yang terperiksa" adalah hidup yang disadari sepenuhnya. Ini adalah kehidupan yang tidak sekadar kita jalani, tetapi juga kita renungkan, kita pahami, dan kita pertanyakan. Kebalikannya adalah hidup dalam mode autopilot - bangun, bekerja, scroll media sosial, tidur, dan mengulangi rutinitas yang sama hari demi hari.
Socrates mengajak kita untuk berhenti sejenak dan mempertanyakan:
- Apakah nilai-nilai yang kita anut benar-benar pilihan kita, atau sekadar tiruan dari sekitar?
- Apakah kita menjalani hidup, atau justru djalankan oleh hidup?
- Apakah kita mengejar mimpi sendiri, atau mimpi yang dipinjam dari orang lain?
Mengapa Pemeriksaan Diri Justru Semakin Sulit Sekarang?
Zaman kita adalah zaman yang dirancang untuk melupakan diri. Setiap detik, ada notifikasi baru, konten baru, tren baru yang menuntut perhatian kita. Kita lebih mudah teralihkan. Pekerjaan menguras energi. Media sosial menguras perhatian. Hingga hampir tidak ada ruang lagi untuk bertanya: "Untuk apa semua ini?"
Kita terjebak dalam apa yang disebut "kesibukan kosong" - sibuk sampai lupa tujuan, produktif sampai lupa makna.
Tanda-Tanda Hidup yang Tidak Terperiksa
Beberapa cirinya mungkin akrab dalam keseharian kita:
- Terus mengeluh tentang pekerjaan, tapi tak pernah berani mencari atau menciptakan yang lain
- Sibuk mengurus hidup orang lain di media sosial, sambil mengabaikan hidup sendiri
- Mengejar gelar, jabatan, dan pengakuan, tanpa pernah bertanya "untuk apa?"
- Merasa hampa di tengah segala kelimpahan materi
Bagaimana Memulai Hidup yang Disadari?