"Mau sampai kapan kamu seperti ini? Kalau kamu gak makan nanti sakit."
"Biarin aja aku sakit, biar sekalian aku ikut sama kakak!"
"Kamu bicara apa, sih? Kamu harus tetap hidup. Kamu masih punya masa depan dan juga punya cita-cita. Kamu gak boleh kaya gini terus,"
"Tapi aku udah gak punya kakak. Aku sayang sama kakak, Bu."
"Ibu tahu kamu sayang kakak. Jangankan kamu, ibu dan ayah juga sayang sama kakak. Tapi kakak udah gak ada, kita harus bisa mengikhlaskan kakak pergi."
"Tapi aku gak mau kakak pergi, Bu."
"Vita, Tuhan yang menciptakan kakak di dunia ini, dan Tuhan juga yang berhak atas hidup dan mati kakak. Tuhan menitipkan kakak pada ayah dan ibu sebagai anak kita, dan menjadi kakak buat kamu. Sebagai manusia, dan orang yang ada di sekeliling kakak, kita harus bisa menerima rencananya untuk kakak, karena kita tidak bisa menentang kehendak-Nya."
Aku hanya bisa menangis mendengar kata-kata ibu yang menasehatiku untuk bisa merelakan kakak pergi. Kakak tidak butuh tangisan dariku, yang ia butuhkan adalah doa, agar ia bisa di tempatkan di tempat yang terbaik di sana. Buat apa aku menangis? Sampai aku menangis darah pun kakak tidak bisa hidup kembali.
Ibu menenangkanku di dalam pelukannya ketika aku menangis sampai tersedu-sedu. Ibu selalu ada di sampingku di saat aku benar-benar rapuh menerima semua ini. Ketika aku mau bilang ke ibu bahwa aku mau makan, tiba-tiba dadaku kembali terasa sesak, aku kesulitan bernafas. Apa Tuhan mendengar ucapanku tadi dan akan mempertemukanku pada Kakak?
Apa Tuhan juga marah denganku karena aku tidak bisa memaafkan teman-temannya Kakak?
Oh, tidak! Tuhan, aku menarik ucapanku tadi. Aku ingin tetap hidup di dunia ini bersama ibu dan ayah, aku ingin memperbaiki diriku menjadi yang lebih baik lagi, dan aku juga ingin meraih cita-citaku. Aku semakin kesulitan bernapas. Ibu, tolong aku! Aku akan menuruti kata-kata ibu. Dan teman-teman kakak, aku memaafkan kalian.
Berlanjut...