Mohon tunggu...
SITI MARIYAM
SITI MARIYAM Mohon Tunggu... Wiraswasta - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

I Love You My Brother (Part 5)

28 November 2022   00:00 Diperbarui: 28 Februari 2024   10:05 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tetap terdiam berdiri di posisiku ini sambil memegang erat tongkatku. Aku tidak mempedulikan marahan orang-orang yang sedang berkendara, dan tidak juga mempedulikan suara klakson kendaraan mereka yang memberitahuku untuk segera pergi dari tempatku berdiri, karena posisiku ini menghalangi jalannya mereka. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena takut akan salah melangkah yang mengakibatkan aku celaka.

Kepanikanku semakin menjadi-jadi. Aku hanya bisa memanggil-manggil ibu dan kakak, berharap mereka berdua bisa menolongku di sini. Tapi kakak tidak mungkin menolongku, ia sedang ujian di sekolah. Sedangkan ibu, aku tidak tahu entah di mana keberadaannya.

Namun, tidak lama kemudian aku mendengar seseorang berteriak memanggilku dari kejauhan sana. Teriakkannya terdengar cemas. Aku mengenali teriakkan itu. Teriakkan itu? Itu teriakkan ibu. Ya, itu ibu. Aku langsung memberitahu ibu di mana aku berada, walau sebenarnya ibu sudah tahu di mana aku berada setelah mendengar panggilanku yang memanggilnya.

Baca juga: Ceklis Biru

          "Ibu, aku di sini. Tolong aku Bu, aku takut."

         "Iya, kamu jangan ke mana-mana ya. Ibu ke sana." Jawab ibu yang kembali berteriak dengan nada kecemasan.

Aku menuruti ucapan ibu tersebut. Aku tetap diam di tempatku berdiri sambil terus memegang erat tongkatku. Hanya tongkat itu yang kini setia menemani setiap langkahku, memudahkan aku berjalan ke manapun aku melangkah. Karena dengan adanya tongkat penunjuk jalan, aku bisa lebih tahu ada apa saja di depan langkah-langkah yang akan aku lewati. Meski dia tidak bermata, setidaknya ia bisa menjadi mata untukku, agar aku bisa melangkah dengan baik.

 "Kamu gak apa-apa, kan, sayang? Ibu khawatir banget sama kamu," ibu bertanya ketika kami sudah berada di tempat yang lebih aman.

"Aku gak apa-apa, kok, Bu. Makasih, ya." jawabku dengan kondisi yang sudah tenang.

 "Kenapa kamu bisa sampai ke jalan raya?" Ibu kembali bertanya.

"Aku lapar, Bu, aku mau makan. Tadi, kan, ibu bilang ibu ada di luar, makanya aku keluar buat bilang ke ibu. Tapi pas udah di luar aku panggil-panggil, Ibu gak jawab aku. Aku coba cari ibu, sampai akhirnya aku ke jalan raya. Maafin aku, Bu, udah buat ibu khawatir." Aku menjelaskan semuanya.

"Ibu gak tahu kalau kamu bakal ke luar. Tadi ibu pergi ke rumah tetangga sebelah. Maafin ibu juga, ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun