Baru saja menjabat sebagai Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa langsung menyalakan obor perang melawan mafia cukai di tubuh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai---institusi yang seharusnya menjadi garda pengawal arus keluar-masuk barang negara, tapi justru lama dikenal publik sebagai "ladang basah" permainan kotor. "Paling beking rokok ilegal itu orang Bea Cukai sendiri," kata Purbaya, lugas, tanpa tedeng aling-aling. Sebuah pernyataan yang menampar keras wajah lembaga yang selama ini gemar menampilkan citra reformasi birokrasi.
Kita patut mengapresiasi keberanian itu. Tidak banyak pejabat yang mau mengakui borok di tubuhnya sendiri, apalagi menyebut terang-terangan bahwa yang menjadi biang kerok adalah "orang dalam." Namun, sebagaimana pepatah Jawa, "Gusti ora sare"---Tuhan tidak tidur---rakyat pun sudah lama tidak buta. Masyarakat di lapangan tahu betul bahwa bisnis rokok ilegal, pelintasan barang selundupan, dan kongkalikong bea masuk bukan sekadar ulah pelaku kecil, tetapi melibatkan jaringan dalam yang menggurita hingga ke pusat.
 Masalah Lama, Wajah Baru
Kisah tentang bobroknya Bea Cukai bukan cerita baru. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2023 mencatat bahwa potensi kebocoran pendapatan negara di sektor cukai bisa mencapai Rp7--10 triliun per tahun, sebagian besar dari peredaran rokok ilegal. Ironisnya, rokok-rokok itu bisa beredar luas justru karena adanya "restu" tak tertulis dari oknum aparat di lapangan.
Siklusnya klasik: pengusaha kecil ditekan, pengusaha besar dilindungi. Uang pelicin berpindah tangan dengan dalih "biaya keamanan." Seperti kata filsuf Prancis Voltaire, "Kekuasaan tanpa pengawasan adalah resep pasti untuk korupsi." Dan Bea Cukai selama ini, tampaknya, terlalu lama menjadi dapur tanpa ventilasi.
Namun, membersihkan lembaga seperti Bea Cukai tidak semudah mencuci noda pada seragam. Ini bukan soal individu, melainkan soal sistemik: rekrutmen yang tak transparan, pengawasan yang lemah, sanksi yang tak menjerakan, serta budaya "asal aman, asal setor."
Gebrakan Sesaat atau Reformasi Sejati?
Publik masih ingat jargon "reformasi birokrasi" yang sudah berkali-kali diulang setiap pergantian menteri. Hasilnya? Kita seperti menonton drama lama dengan pemeran baru. Gebrakan sesaat, sorotan media, lalu hening---hingga kasus serupa mencuat lagi dengan aktor yang sama.
Purbaya tentu tidak ingin terjebak dalam siklus "panas-panas tahi ayam"---hangat sebentar, lalu dingin di meja birokrasi. Ia memerlukan strategi sistematis: memperkuat sistem audit internal yang independen, menggandeng PPATK dan KPK untuk memantau aliran uang tak wajar pegawai, serta membuka kanal pelaporan publik yang benar-benar dilindungi.
Selain itu, digitalisasi sistem pengawasan perlu dipercepat. Pengawasan berbasis AI dan pelacakan barcode pada pita cukai bisa menutup celah manipulasi manual. Transparansi adalah musuh utama mafia, dan teknologi bisa menjadi senjata paling ampuh dalam perang ini.
 Harapan di Tengah Skeptisisme
Tentu, publik masih menyimpan skeptisisme. Setiap menteri datang dengan jargon "bersih-bersih," tapi para mafia birokrasi seperti virus yang kebal terhadap obat moralitas. Mereka hanya bersembunyi, menunggu momen aman untuk muncul kembali.
Namun, kali ini, ada sedikit alasan untuk berharap. Purbaya dikenal sebagai teknokrat dengan reputasi akademis dan integritas tinggi, bukan politisi yang mencari pencitraan. Ia bukan sekadar ingin tampil keras, tapi ingin memperbaiki sistem dari akar. Pertanyaannya: apakah ia akan mendapat dukungan penuh dari jajarannya? Ataukah justru akan dilawan secara halus oleh mereka yang merasa nyaman di zona abu-abu?
Jalan Panjang Melawan Mafia
Bersih-bersih Bea Cukai bukan pekerjaan seminggu atau sebulan. Ini perjuangan melawan jaringan kepentingan yang sudah berakar puluhan tahun. Tapi seperti kata Bung Hatta, "Korupsi bukan hanya kejahatan terhadap negara, tapi pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan."
Jika Purbaya benar-benar konsisten, gebrakannya bisa menjadi babak baru dalam reformasi Kementerian Keuangan---bukan sekadar membersihkan institusi, tapi mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap negara.
Kini, bola ada di tangan Purbaya. Rakyat menunggu, bukan sekadar untuk melihat berapa banyak pejabat yang dicopot, tapi seberapa dalam akar busuk itu dicabut. Karena bila bersih-bersih ini hanya berhenti di permukaan, maka ia akan menjadi episode lain dari sinetron panjang bernama "Reformasi Setengah Hati."
Dan sejarah tak pernah memberi tempat bagi setengah keberanian.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
