Ketika Disiplin Jadi Dalih, dan Kekerasan Dapat Pujian --- bahkan Hadiah Umrah
Babak Baru Dunia Pendidikan: Ketika Telapak Tangan Lebih Keras dari Akal Sehat
Di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan karakter, kita tampaknya masih lebih percaya pada kekuatan telapak tangan ketimbang kekuatan akal sehat. Baru-baru ini publik dihebohkan oleh kisah dari SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak. Seorang kepala sekolah menampar murid yang kedapatan merokok. Aksinya membuat ramai dunia maya --- sebagian menilai itu tindakan tegas, sebagian lain menyebutnya kekerasan yang tak pantas dilakukan oleh seorang pendidik. Murid-murid pun bereaksi: ratusan siswa mogok belajar, menolak masuk kelas sebagai bentuk protes terhadap perlakuan terhadap teman mereka.
Namun babak berikutnya justru lebih absurd daripada adegan sinetron pendidikan. Menurut laporan Kompas (18 Oktober 2025), kepala sekolah tersebut dikabarkan mendapat hadiah umrah setelah kasus ini viral. Dari tamparan yang semestinya menjadi bahan refleksi, tiba-tiba muncul tiket menuju Tanah Suci. Masyarakat bertanya-tanya: apakah ini ironi, satire, atau potret jujur wajah pendidikan kita yang makin kabur antara disiplin dan kekerasan?
Ketegasan yang Dihadiahkan: Ketika Kekerasan Disucikan
Di mata sebagian publik, tamparan itu dianggap "tegas", "mendidik", bahkan "menyelamatkan generasi." Tapi jika ketegasan diukur dari seberapa keras tangan mendarat di pipi siswa, maka kita sedang kehilangan arah. Disiplin bukan berarti kekerasan, apalagi bila dilakukan di hadapan publik dengan dalih moral. Lebih mengherankan lagi, tindakan seperti ini justru mendapat balasan berupa penghargaan spiritual --- umrah, simbol kesalehan seorang Muslim.
Apakah kita kini hidup di zaman ketika kekerasan bisa ditebus dengan ibadah? Ketika tangan yang menampar dianggap tangan yang menegakkan aturan, bukan tangan yang melukai martabat seorang anak? Jika benar, maka ini bukan sekadar kabar ganjil --- ini tanda sakit sosial. Kita sedang menyaksikan bagaimana moralitas bisa dibungkus religiusitas, dan kekerasan disulap menjadi ketulusan.
Pelajaran yang Salah: Disiplin, Ketakutan, dan Penghargaan
Pendidikan seharusnya melahirkan manusia yang beradab, bukan murid yang takut. Tamparan bukan lagi soal emosi sesaat, melainkan cermin dari budaya kekuasaan yang belum berubah: guru dan kepala sekolah masih dianggap boleh melakukan apa saja demi "mendisiplinkan" murid. Sementara murid yang merokok memang bersalah, tetapi kekerasan bukanlah cara terbaik untuk menyadarkan --- itu hanya memperpanjang rantai kekerasan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Yang lebih menyakitkan adalah pesan moral yang muncul di masyarakat. Ketika seorang kepala sekolah yang menampar murid justru mendapat hadiah umrah, anak-anak belajar satu hal berbahaya: bahwa kekerasan bisa mendapat penghargaan, asal dibungkus dengan niat baik dan doa. Murid yang ditampar belajar bahwa tubuhnya tak berdaulat; guru belajar bahwa emosi bisa dilimpahkan tanpa konsekuensi; masyarakat belajar bahwa moral bisa dinegosiasikan.