Dalam sebulan pertama menjabat sebagai Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa mengguncang birokrasi dengan sederet kebijakan agresif---dari pembenahan pajak hingga penyuntikan likuiditas Rp200 triliun ke bank-bank BUMN. Tapi di balik tepuk tangan atas keberanian itu, publik menunggu: apakah gebrakan ini akan menjadi fondasi reformasi ekonomi, atau justru eksperimen berisiko tinggi yang mengguncang stabilitas fiskal Indonesia?
Gebrakan Cepat, Langkah Berani
Berita tentang gebrakan Purbaya dalam sebulan pertama menjabat sebagai Menteri Keuangan menyeruak ke berbagai media --- sebuah pertanda bahwa kiprahnya akan diukur tidak dari janji, melainkan dari hasil. Tapi seperti kata Friedrich Nietzsche, "Tanpamu, dunia ini tetap ada, tetapi tanpa artinya." Gebrakan pun bukan sekadar pamer otot --- publik menunggu makna dan dampaknya. Mari kita bedah bersama: apa saja gebrakan itu, apa yang pantas kita harapkan sebagai dampak, risiko apa yang mengintai, dan bagaimana cara mengantisipasinya agar tidak menjadi drama politik yang sia-sia.
Sejak dilantik 8 September 2025, Purbaya Yudhi Sadewa segera mengejutkan banyak pihak dengan sejumlah langkah tegas dan cepat. Di media-media disebutkan minimal enam gebrakan di bidang perpajakan --- antara lain tawaran penurunan tarif PPN, pembenahan sistem Coretax, dan perpanjangan insentif pajak UMKM hingga 2026 --- yang sekaligus menyampaikan bahwa rezim baru ini menghendaki fleksibilitas fiskal yang agresif.
Tapi itu baru permulaan. Di laporan Media Indonesia tergambar dua belas langkah strategis besar: penyuntikan likuiditas Rp200 triliun ke bank-bank BUMN (Himbara), keputusan tak menaikkan cukai rokok pada 2026, restrukturisasi sistem perpajakan lewat tim ahli independen, penarikan anggaran kementerian/lembaga yang tak efisien, PPh 21 yang ditanggung pemerintah bagi pekerja bergaji hingga Rp10 juta, pemburuan penunggak pajak besar, operasi rokok ilegal di level warung dan e-commerce, peningkatan transfer ke daerah menjadi Rp693 triliun, perpanjangan insentif UMKM, perlindungan terhadap industri tekstil lokal dari produk ilegal Tiongkok, penempatan dana pemerintah di bank daerah, dan pembangunan kawasan industri hasil tembakau.
Dari berita-berita lain muncul pula catatan: ia rajin sidak ke bank-bank milik negara dan lembaga bea-cukai guna memastikan eksekusi langkah-langkahnya berjalan; ia menarik kembali dana untuk program "Makan Bergizi Gratis (MBG)" yang penyerapan anggarannya lesu; ia "bersih-bersih" internal DJP dengan memecat puluhan pegawai yang terbukti menyimpang; dan pengurangan anggaran lembaga yang tidak mampu menyerap.
Dampak yang Diharapkan: Antara Optimisme dan Realitas
Apa yang kita harapkan dari gebrakan-geb rakan ini? Idealnya: percepatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, peningkatan penerimaan pajak yang adil dan berkelanjutan, dukungan nyata bagi sektor riil --- terutama UMKM dan industri padat karya, pemerataan pembangunan ke daerah, penguatan kapasitas fiskal daerah, dan transparansi birokrasi yang mengikis korupsi dan pemborosan.
Jika semua disinergikan, dampak yang "diimpikan" bisa berupa pertumbuhan ekonomi 5,5--6 % di akhir tahun, turunnya pengangguran, meningkatnya konsumsi rumah tangga, dan penurunan kesenjangan. Purbaya sendiri menyampaikan optimisme bahwa ekonomi Indonesia dapat dipacu lebih cepat dan langsung bekerja pada instrumen yang ada.
Namun, optimisme tanpa kalkulasi hanya akan menjadi slogan. Publik berharap gebrakan ini tak berhenti di tataran retorika, melainkan membuahkan hasil konkret yang bisa dirasakan masyarakat bawah, bukan hanya headline ekonomi makro yang membanggakan.