Bayangkan: sebuah desa---bukan sebidang sawah, bukan sebidang rumah---tetapi sebuah desa dipasang plang "sita", disebut sebagai jaminan utang bank, bahkan sudah masuk proses lelang. Kedengarannya seperti plot sinetron malpraktik tanah yang kebablasan, tapi ini dilaporkan benar-benar terjadi di Kabupaten Bogor: Desa Sukawangi disebut menjadi agunan sejak 1980 dan kabarnya sudah dilelang. Pernyataan itu datang dari Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto---dan publik pun terhenyak.
Desa Bukan Barang Dagangan
Bagaimana mungkin? Logika sederhana mengatakan: desa adalah komunitas, adat, sejarah --- bukan barang dagangan bank. Namun secara hukum peralihan hak atas tanah di Indonesia punya celah birokratis: undang-undang tentang Hak Tanggungan (UU No. 4/1996) memberi jalan bagi tanah bersertifikat (Hak Milik, HGB, HGU) untuk dibebani sebagai jaminan kredit; jika debitur wanprestasi, pemegang hak tanggungan berwenang mengeksekusi dan barang jaminan dapat dilelang. Jadi bila sebuah entitas memegang sertifikat atas sebidang tanah (bahkan tanah yang selama ini dianggap "desa"), bank secara teknis bisa menerima sertifikat itu sebagai jaminan. Praktis---tidak selalu etis.
Celah Agraria dan Tanah Adat
Masalahnya bermula dari konversi dan dokumentasi tanah. Sejak era kebijakan agraria modern, banyak tanah adat dikonversi menjadi sertifikat negara; pemilik adat sering tidak tercatat secara rapi, atau tercatat atas nama perseorangan/badan tertentu---kadang sejak puluhan tahun lalu.
Ketika sertifikat itu menjadi objek transaksi kredit, maka hak-hak kolektif penduduk desa bisa terseret dalam kontrak perdata yang teknis namun mengerikan dalam konsekuensinya. Mahkamah Konstitusi sendiri pernah menyorot bagaimana aturan konversi hak atas tanah berpotensi mengikis hak-hak adat ketika sertifikat diperlakukan sebagai komoditas.
Filter yang Jebol
Lebih miris: prosedur verifikasi dan check & re-check yang seharusnya mencegah "desa jadi jaminan" tampak rapuh---penasihat hukum, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), kantor pertanahan, notaris, serta sistem perbankan harusnya menjadi filter.
Tapi ketika korporasi atau individu membawa sertifikat yang tampak sah, bank cenderung melihat nilai agunan, bukan legitimasi historis komunitas yang tinggal di sana. Akibatnya, klaim kolektif---penduduk asli desa---bisa kehilangan hak tanpa proses pengakuan yang adil. Laporan lapangan bahkan menyebut penduduk diusir dan plang sita dipasang---ruang publik berubah jadi medan konflik hukum dan moral.
Sah Secara Hukum, Adilkah Secara Sosial?