Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Artis ke Politikus, Yusril, Prabowo dan Jalan Pintas Mengkhianati Reformasi

7 September 2025   10:49 Diperbarui: 7 September 2025   10:49 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yusril Ihza Mahendra (Hukum Online)

"Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat," kata Abraham Lincoln. Tapi di Indonesia, kadang-kadang rasanya lebih tepat ditambah embel-embel: "...asal rakyat jangan salah pilih, asal jangan pilih artis, asal jangan terlalu bebas, karena nanti partai politik tersinggung."

Yusril Ihza Mahendra, guru besar hukum tata negara sekaligus politisi kawakan, baru-baru ini melontarkan pernyataan yang membuat alis banyak orang terangkat: Undang-Undang Pemilu perlu diubah agar artis tidak lebih dipilih daripada orang berbakat. 

Dari kejauhan, argumen ini terdengar logis: tentu kita ingin yang terpilih adalah pemimpin berkualitas, bukan sekadar bintang sinetron dengan penggemar fanatik. Namun, begitu kita dekati, aroma sesungguhnya mulai terasa: bukankah ini sekadar pintu belakang untuk membahas isu lama---mengembalikan sistem pemilu tidak langsung?

Ya, isu ini bukan baru. Sejak Prabowo Subianto duduk di kursi RI-1, wacana untuk mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah dan bahkan DPR sudah beberapa kali dilempar. Prabowo sendiri pernah mengatakan, sistem demokrasi langsung di Indonesia "mahal, penuh konflik, dan tidak sesuai dengan budaya gotong-royong." Terdengar manis, seperti iklan deterjen yang menjanjikan hidup lebih bersih dan murah. Tapi benarkah begitu?

Mari kita telanjangi pelan-pelan.

---

Jalan Pintas yang Mengkhianati Reformasi

Reformasi 1998 berdarah-darah, dan salah satu buah manisnya adalah pemilu langsung: rakyat punya kuasa penuh menentukan presiden, gubernur, bupati, wali kota, hingga anggota DPR. Hak rakyat dipulihkan, meski dengan segala kekurangannya. Lalu sekarang, ada wacana mengembalikan wewenang itu ke DPRD atau ke partai politik dengan dalih kualitas.

Pertanyaannya: kualitas siapa? Rakyat? Atau kualitas lobi-lobi di balik layar yang lebih mirip pasar malam politik?

Jika kepala daerah kembali dipilih DPRD, maka yang menang bukan rakyat, melainkan partai politik. Dan partai politik bukanlah lembaga yang steril dari kepentingan. Biaya politik akan tetap mahal, hanya saja uangnya berpindah dari "serangan fajar" ke "serangan lobi." Dari amplop ke rakyat menjadi amplop ke partai. Dari mulut harimau ke mulut buaya.

Mengkhianati pemilu langsung sama saja mengkhianati semangat reformasi. Kita bisa bertanya kepada para pahlawan mahasiswa 1998 yang berguguran: apakah darah mereka tumpah hanya untuk diganti oleh sistem lama yang busuk?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun