Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Irasionalitas dan Absurditas Menari di Atas Akal Sehat: Potret Kewarasan yang Dirundung Gerhana

5 Juli 2025   22:51 Diperbarui: 5 Juli 2025   22:51 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Absurditas (merathim.com)

"Ketika kebodohan dipertontonkan, dan disambut dengan tepuk tangan, di situlah panggung irasionalitas menjadi panglima."--- Anatole France, Sastrawan Prancis Peraih Nobel

---

Di negeri yang mengaku menjunjung tinggi demokrasi dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi pemersatu, kita justru menyaksikan kenyataan tragis: logika ditertawakan, fakta dikubur, dan nalar publik diracuni oleh absurdnya permainan kuasa dan opini liar. Rasionalitas yang seharusnya menjadi fondasi kebijakan publik dan arah bangsa malah disingkirkan demi sensasi, kepentingan sempit, dan upaya memanipulasi ingatan kolektif.

Mari kita mulai dari panggung paling absurd: tuduhan ijazah palsu terhadap Presiden Jokowi. Isu ini bukan hanya muncul sebagai rumor, tapi dipelihara berbulan-bulan hingga menyerupai mitos urban. Padahal, Universitas Gadjah Mada sudah mengonfirmasi legalitas ijazah, KPU sudah meneliti berkas, kepolisian pun menyebutnya tidak berdasar. Tapi bagi para penganut cocoklogi dan konspirasi digital, fakta-fakta itu seperti suara jangkrik yang diabaikan. Mereka lebih percaya video WhatsApp ketimbang dokumen resmi negara. Ini semacam perayaan kebodohan yang diframing sebagai "perlawanan kritis".

---

Ketika Pensiunan Membajak Demokrasi

Layar absurb belum berhenti di situ. Kita juga menyaksikan bagaimana sekelompok purnawirawan dengan percaya diri mengusulkan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, hanya karena dianggap terlalu muda dan kurang pengalaman. Ini terjadi setelah Gibran menang bersama Prabowo lewat pemilu sah, disahkan KPU dan MK. Sebuah produk demokrasi yang mendapat legitimasi suara rakyat sebanyak 58 persen.

Ironisnya, mereka yang menggugat itu bahkan tidak ikut pemilu, tidak pernah mengajukan diri sebagai kandidat, tidak punya mandat publik, tapi merasa suaranya setara dengan kehendak mayoritas rakyat. Ini bukan kritik demokratis --- ini penghinaan terhadap suara rakyat.

---

Ketika Sejarah Disulap Menjadi Dongeng Glorifikasi

Namun absurditas terbesar tak berhenti pada arena politik, tetapi menjangkau ke ranah yang jauh lebih genting: penulisan ulang sejarah bangsa.

Beberapa waktu lalu, Menteri Kebudayaan --- yang seharusnya menjadi penjaga narasi kebenaran sejarah --- justru menegaskan bahwa sejarah hanya akan ditulis untuk hal-hal yang "positif" dan membanggakan. Dengan kata lain: luka-luka kolektif, seperti tragedi perkosaan massal Mei 1998, tak perlu dicatat. Derita para korban dipaksa hilang dari ingatan bangsa, hanya karena dianggap tidak sesuai dengan narasi "gemilang".

Ini bukan saja bentuk penyangkalan sejarah, tapi juga pelecehan terhadap para korban. Padahal, fakta-fakta kekerasan seksual massal pada etnis Tionghoa dalam kerusuhan itu telah dicatat berbagai lembaga nasional dan internasional, termasuk Komnas Perempuan, Amnesty International, dan PBB. Tapi semua itu dianggap tidak cukup "indah" untuk masuk buku sejarah. Seolah sejarah hanyalah panggung perayaan, bukan ruang refleksi.

> "Sejarah yang hanya mencatat kemenangan dan kebanggaan, tapi menutup luka dan kekelaman, bukan sejarah --- itu propaganda."
--- Howard Zinn

---

Ketika Kementerian HAM Membela Intoleransi

Lebih menyakitkan lagi, ketika harapan terakhir diletakkan pada lembaga penjaga hak asasi, yakni Kementerian HAM, justru muncul ironi baru. Menteri HAM saat ini, yang berasal dari kelompok minoritas sendiri, bukan malah berpihak kepada korban intoleransi, melainkan tampak membela pelaku intoleransi.

Beberapa kasus intoleransi terhadap kelompok agama minoritas, komunitas lokal, dan ekspresi budaya yang sah secara hukum, justru didekati dengan sikap kompromistis terhadap kelompok radikal. Bahkan staf khususnya dengan lantang menyatakan bahwa negara menjamin hak para kelompok intoleran untuk menyuarakan pendapatnya, sementara mereka yang diserang dan dipersekusi malah tak mendapat perlindungan nyata.

Alih-alih menjadi garda terdepan dalam melindungi yang lemah dan tersudutkan, kementerian ini justru menjadi tameng perlindungan bagi yang menindas. Bukankah ini bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi?

---

Negara Gagap, Publik Bingung, Nalar Rontok

Dalam atmosfer penuh absurditas ini, negara terlihat kikuk. Institusi resmi kehilangan wibawa, tak mampu membungkam hoaks dan ujaran kebencian. Media pun kadang lebih gemar mengutip pernyataan liar ketimbang memverifikasi data.

Media sosial, yang semula menjadi alat demokratisasi informasi, kini berubah menjadi pabrik pembodohan massal, di mana suara keras dianggap lebih penting daripada suara benar.

> "Kebenaran yang disangkal tidak berubah menjadi kebohongan. Ia hanya menjadi kebenaran yang kesepian."
--- Elie Wiesel, penyintas Holocaust

---

Kita Mau ke Mana?

Apakah ini tanda kita mulai membenci nalar? Apakah bangsa ini mulai merasa nyaman dengan kebohongan yang diulang-ulang? Jika ya, maka kita sedang dalam perjalanan menuju masyarakat yang bukan sekadar post-truth, tapi post-waras.

Dalam masyarakat seperti itu, bukan kebenaran yang menyelamatkan, tapi siapa yang paling berisik dan paling sering tampil di layar kaca. Mereka yang memperjuangkan data dan logika akan dicap sombong, elit, dan tidak nasionalis. Sedangkan mereka yang menyebar ketakutan dan narasi palsu justru dianggap "penyambung suara rakyat".

---

Saatnya Akal Sehat Diperjuangkan

Kita tidak boleh menyerah. Akal sehat harus dilawan dengan akal sehat. Kebenaran harus disuarakan, meski terus dibungkam oleh kebisingan kebodohan yang terorganisir.

Kita harus mendorong media kembali pada integritas. Menuntut pemerintah berpihak pada korban, bukan pelaku. Kita, rakyat biasa, harus kembali menghormati data dan berpikir kritis.

Jika tidak, maka bangsa ini akan menjadi negara sandiwara, di mana sejarah adalah fiksi, hukum adalah ilusi, dan pejabat adalah aktor yang melayani narasi populer --- bukan kebenaran.

---

Epilog: Jangan Biarkan Gerhana Menjadi Abadi

Demokrasi bukan panggung untuk semua suara tanpa tanggung jawab. Ia harus dijaga dari kebisingan irasionalitas, dari absurditas yang menari-nari di atas luka para korban dan di atas kebenaran yang sudah terang benderang.

> "Jangan pernah takut mengatakan kebenaran, bahkan ketika dunia memilih diam."
--- Malcolm X

Dan jika hari ini, akal sehat sedang kalah, maka kewajiban kita adalah menyalakan kembali obor kewarasan, sebelum semuanya berubah menjadi gelap yang tak bisa kita pulihkan lagi.

---

#KembalikanAkalSehat #CatatSemuaLuka #LawanAbsurditas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun