Ini bukan saja bentuk penyangkalan sejarah, tapi juga pelecehan terhadap para korban. Padahal, fakta-fakta kekerasan seksual massal pada etnis Tionghoa dalam kerusuhan itu telah dicatat berbagai lembaga nasional dan internasional, termasuk Komnas Perempuan, Amnesty International, dan PBB. Tapi semua itu dianggap tidak cukup "indah" untuk masuk buku sejarah. Seolah sejarah hanyalah panggung perayaan, bukan ruang refleksi.
> "Sejarah yang hanya mencatat kemenangan dan kebanggaan, tapi menutup luka dan kekelaman, bukan sejarah --- itu propaganda."
--- Howard Zinn
---
Ketika Kementerian HAM Membela Intoleransi
Lebih menyakitkan lagi, ketika harapan terakhir diletakkan pada lembaga penjaga hak asasi, yakni Kementerian HAM, justru muncul ironi baru. Menteri HAM saat ini, yang berasal dari kelompok minoritas sendiri, bukan malah berpihak kepada korban intoleransi, melainkan tampak membela pelaku intoleransi.
Beberapa kasus intoleransi terhadap kelompok agama minoritas, komunitas lokal, dan ekspresi budaya yang sah secara hukum, justru didekati dengan sikap kompromistis terhadap kelompok radikal. Bahkan staf khususnya dengan lantang menyatakan bahwa negara menjamin hak para kelompok intoleran untuk menyuarakan pendapatnya, sementara mereka yang diserang dan dipersekusi malah tak mendapat perlindungan nyata.
Alih-alih menjadi garda terdepan dalam melindungi yang lemah dan tersudutkan, kementerian ini justru menjadi tameng perlindungan bagi yang menindas. Bukankah ini bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi?
---
Negara Gagap, Publik Bingung, Nalar Rontok
Dalam atmosfer penuh absurditas ini, negara terlihat kikuk. Institusi resmi kehilangan wibawa, tak mampu membungkam hoaks dan ujaran kebencian. Media pun kadang lebih gemar mengutip pernyataan liar ketimbang memverifikasi data.
Media sosial, yang semula menjadi alat demokratisasi informasi, kini berubah menjadi pabrik pembodohan massal, di mana suara keras dianggap lebih penting daripada suara benar.