Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masih Perlukah Kita Terus Menghubung - hubungkan Prabowo dan Jokowi?

4 Juni 2025   08:10 Diperbarui: 4 Juni 2025   08:10 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo dan Jokowi (Kompas.com)

"Ketika angin berubah arah, alih-alih membangun tembok, orang bijak membangun kincir angin." --- Pepatah Cina

Presiden Joko Widodo telah menuntaskan masa baktinya. Kini, tampuk kekuasaan telah berpindah ke pundak Prabowo Subianto. Namun, di ruang publik, terutama media sosial dan sebagian ruang redaksi, relasi antara keduanya masih terus digali, dibahas, bahkan dipolitisasi. Pertanyaannya, apakah ini masih relevan?

Menghubung-hubungkan Prabowo dan Jokowi secara berlebihan kini bukan hanya tidak produktif, tetapi juga berisiko mengaburkan fokus utama bangsa dalam menghadapi tantangan nyata---baik secara domestik maupun global.

Dari Rival Menjadi Mitra: Sejarah yang Sudah Terjawab

Banyak narasi yang lahir dari sejarah rivalitas keduanya dalam dua kontestasi Pilpres---2014 dan 2019. Di sanalah konflik simbolik antara nasionalis-pragmatisme (Jokowi) dan nasionalis-konservatif (Prabowo) diciptakan dan didramatisasi. Namun sejak rekonsiliasi politik pasca-2019, saat Prabowo menerima jabatan Menteri Pertahanan di kabinet Jokowi, semua spekulasi soal ketegangan seharusnya selesai.

Dan kini, setelah Prabowo terpilih sebagai Presiden RI ke-8 dalam Pemilu 2024, amanah rakyat sudah bulat: Prabowo adalah pemimpin baru. Ia bukan perpanjangan tangan, bukan "bayangan" Jokowi. Ia adalah presiden penuh, dengan hak konstitusional dan beban sejarah sendiri.

Mengadu Domba: Politik yang Usang

Sayangnya, masih ada yang mencoba mengadu domba keduanya. Motifnya beragam---dari politik kekuasaan, kepentingan kelompok tertentu, hingga strategi disinformasi di era pasca-kebenaran. Narasi seperti "Prabowo hanya meneruskan Jokowi" atau "Prabowo harus berlawanan dengan Jokowi" adalah jebakan politik hitam yang mengabaikan kompleksitas transisi demokrasi yang sehat.

Yang lebih penting dari itu semua: rakyat tidak butuh drama elite. Rakyat butuh solusi konkret atas masalah ekonomi, pangan, energi, dan geopolitik yang kian mendesak.

Fokus Bangsa: Dari Dalam ke Luar

Di tengah lanskap global yang tidak pasti---perang Ukraina-Rusia yang belum selesai, ketegangan Laut Cina Selatan, ancaman krisis pangan dan iklim---Indonesia membutuhkan pemimpin dengan arah geopolitik yang jelas. Inilah masa di mana kita harus menyadari bahwa lawan terbesar bukanlah sesama anak bangsa, tetapi ketimpangan ekonomi global, dominasi negara-negara besar, dan ancaman perubahan iklim.

Data World Bank (2024) menyebutkan bahwa lebih dari 60% negara berkembang saat ini menghadapi tekanan fiskal tinggi akibat inflasi global dan beban utang. Sementara itu, Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan 5,11% pada kuartal pertama 2025 (BPS), namun dengan catatan: investasi asing dan konsumsi domestik mulai melambat. Kita tidak bisa terus menengok ke belakang.

Kultur Media Sosial: Demokrasi Tanpa Filter

Di era digital, siapa pun bisa bersuara. Namun ketika kebebasan itu tidak diiringi dengan tanggung jawab, yang terjadi adalah noise yang bisa dimonetisasi. Kritik berubah menjadi konten clickbait, diskusi berubah menjadi pertengkaran, dan suara publik dikaburkan oleh polusi informasi.

Ironisnya, media arus utama pun tak imun dari godaan ini. Demi traffic dan engagement, mereka sering mengambil angle yang sensasional ketimbang substansial. Hal ini menciptakan siklus disinformasi yang sulit diputus.

Dalam laporan Reuters Institute Digital News Report 2024, Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap media berita, hanya 39%. Artinya, publik kita makin skeptis terhadap apa yang mereka konsumsi, tetapi juga makin terjebak pada ruang gema digital (echo chamber).

Sikap yang Bijak: Pilah dan Pilih Fokus

Sebagai masyarakat demokratis, kita tidak bisa menghentikan opini, namun kita bisa menilai mana yang layak mendapat ruang. Prabowo bukan Jokowi. Jokowi sudah menyelesaikan tugasnya. Kini Prabowo punya PR besar: mengangkat kualitas hidup rakyat dan menjaga kedaulatan bangsa di tengah tekanan global.

Publik sebaiknya mengawal pemerintahan baru ini dengan cerdas. Jangan terpancing narasi yang hanya memperkeruh suasana. Kritik tetap penting, namun kritik yang fokus pada substansi dan solusi---bukan sekadar sensasi.

Kita harus kembali ke orientasi semula: bahwa politik adalah alat untuk mencapai kesejahteraan umum, bukan panggung drama.

Membangun Kincir, Bukan Tembok

Peralihan kekuasaan dalam demokrasi adalah keniscayaan. Yang lebih penting dari siapa pemimpinnya adalah apa yang dilakukan pemimpin itu. Daripada terus menengok ke belakang dan mempertanyakan hubungan Prabowo--Jokowi, lebih baik kita bertanya: apa peran saya dalam membangun bangsa hari ini?

Sebagaimana pepatah bijak di awal tulisan ini, bangsa yang cerdas adalah bangsa yang tahu kapan harus berhenti membangun tembok, dan mulai membangun kincir. Mari kita arahkan energi kita ke depan---di mana tantangan nyata menunggu untuk ditaklukkan.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun