Di tengah lanskap global yang tidak pasti---perang Ukraina-Rusia yang belum selesai, ketegangan Laut Cina Selatan, ancaman krisis pangan dan iklim---Indonesia membutuhkan pemimpin dengan arah geopolitik yang jelas. Inilah masa di mana kita harus menyadari bahwa lawan terbesar bukanlah sesama anak bangsa, tetapi ketimpangan ekonomi global, dominasi negara-negara besar, dan ancaman perubahan iklim.
Data World Bank (2024) menyebutkan bahwa lebih dari 60% negara berkembang saat ini menghadapi tekanan fiskal tinggi akibat inflasi global dan beban utang. Sementara itu, Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan 5,11% pada kuartal pertama 2025 (BPS), namun dengan catatan: investasi asing dan konsumsi domestik mulai melambat. Kita tidak bisa terus menengok ke belakang.
Kultur Media Sosial: Demokrasi Tanpa Filter
Di era digital, siapa pun bisa bersuara. Namun ketika kebebasan itu tidak diiringi dengan tanggung jawab, yang terjadi adalah noise yang bisa dimonetisasi. Kritik berubah menjadi konten clickbait, diskusi berubah menjadi pertengkaran, dan suara publik dikaburkan oleh polusi informasi.
Ironisnya, media arus utama pun tak imun dari godaan ini. Demi traffic dan engagement, mereka sering mengambil angle yang sensasional ketimbang substansial. Hal ini menciptakan siklus disinformasi yang sulit diputus.
Dalam laporan Reuters Institute Digital News Report 2024, Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap media berita, hanya 39%. Artinya, publik kita makin skeptis terhadap apa yang mereka konsumsi, tetapi juga makin terjebak pada ruang gema digital (echo chamber).
Sikap yang Bijak: Pilah dan Pilih Fokus
Sebagai masyarakat demokratis, kita tidak bisa menghentikan opini, namun kita bisa menilai mana yang layak mendapat ruang. Prabowo bukan Jokowi. Jokowi sudah menyelesaikan tugasnya. Kini Prabowo punya PR besar: mengangkat kualitas hidup rakyat dan menjaga kedaulatan bangsa di tengah tekanan global.
Publik sebaiknya mengawal pemerintahan baru ini dengan cerdas. Jangan terpancing narasi yang hanya memperkeruh suasana. Kritik tetap penting, namun kritik yang fokus pada substansi dan solusi---bukan sekadar sensasi.
Kita harus kembali ke orientasi semula: bahwa politik adalah alat untuk mencapai kesejahteraan umum, bukan panggung drama.
Membangun Kincir, Bukan Tembok