"Semua anak terlahir baik. Tapi lingkungan lah yang membuatnya menjadi berbeda."-- Jean-Jacques Rousseau
---
Polemik mencuat sejak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menggagas kebijakan yang cukup kontroversial: anak-anak "nakal" dan bermasalah dikumpulkan dan dibina dalam suatu tempat khusus yakni ke barak militer. Langkah ini menuai pujian sekaligus kecaman. Sebagian menyebut ini bentuk kasih sayang; sebagian lain melihatnya sebagai tindakan semi-represif terselubung.
Pertanyaannya: anak nakal harus dibawa ke mana?
Siapa yang Nakal, Siapa yang Menentukan?
Definisi "nakal" sendiri kabur. Dalam praktiknya, istilah ini kerap digunakan secara subjektif, tergantung siapa yang menilai dan dalam konteks apa. Bagi guru, anak yang sering membantah bisa dianggap nakal. Bagi tetangga, anak yang suka nongkrong hingga larut malam masuk kategori nakal. Tapi apakah itu berarti mereka kriminal?
Psikolog anak dari Universitas Indonesia, Dr. Roslina Verauli, menyatakan:
"Ada perbedaan besar antara perilaku menentang dan perilaku kriminal. Anak-anak yang suka membangkang belum tentu bermasalah secara psikologis. Sering kali mereka hanya sedang mencari identitas."
Label "nakal" terlalu mudah dijatuhkan oleh orang dewasa yang kadang lupa bahwa mereka sendiri pernah melanggar aturan saat muda.
Barak Militer: Mendidik atau Menyingkirkan?
Dedi Mulyadi berdalih, tempat seperti barak bukanlah untuk menghukum, melainkan untuk membentuk karakter.
"Kami tidak sedang menghukum anak-anak. Justru kami menyelamatkan mereka dari lingkungan yang bisa menjerumuskan lebih dalam," katanya.