Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mahasiswi ITB Ditahan karena Meme Jokowi - Prabowo: Di mana Batas Kritik dan Penghinaan di Era Digital?

10 Mei 2025   13:12 Diperbarui: 10 Mei 2025   13:24 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Media Sosial (detik.com)

Seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS ditangkap oleh kepolisian setelah mengunggah sebuah meme di media sosial yang menampilkan Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo dalam pose berciuman.  Unggahan tersebut dianggap menghina simbol negara dan dua tokoh penting nasional, sehingga SSS ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.  

Kasus ini langsung menuai pro dan kontra di masyarakat.  Sebagian pihak mendukung tindakan hukum terhadap SSS, menyebut unggahan tersebut bukan kritik intelektual melainkan penghinaan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang mahasiswa.  

Namun, banyak juga yang menilai tindakan ini berlebihan dan merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.  Amnesty International Indonesia, misalnya, mendesak agar pihak kepolisian segera membebaskan SSS karena penangkapannya bertentangan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru yang menyatakan keributan di media sosial tidak tergolong tindak pidana.  

Putusan MK tersebut menegaskan bahwa lembaga negara tidak dapat menggunakan pasal penghinaan dalam UU ITE, karena hanya individu yang memiliki kehormatan pribadi.  Namun, dalam kasus SSS, pelapornya adalah individu, sehingga secara hukum tetap memungkinkan untuk menggunakan pasal tersebut.  Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah negara benar-benar menjamin ruang aman untuk kritik warga negara jika pasal ini tetap bisa digunakan atas nama individu, meskipun sasaran kritiknya adalah pejabat publik?

Perdebatan ini seakan abadi: kapan sebuah kritik berubah menjadi penghinaan?  Mengutip data dari SAFEnet, selama 2023, terdapat 89 kasus jeratan UU ITE terkait penghinaan/pencemaran nama baik, dan lebih dari separuhnya berkaitan dengan kritik terhadap pejabat publik.  Menurut pakar hukum dari Universitas Indonesia, Prof. Herlambang Wiratraman, "Kritik yang ditujukan kepada pejabat publik adalah bagian sah dari demokrasi. Tapi ketika kritik dikemas dalam bentuk yang menyerang martabat pribadi, itulah wilayah abu-abu yang sering disalahgunakan oleh pelapor maupun penegak hukum."

Sayangnya, batas ini masih belum dipahami oleh sebagian masyarakat, terutama di media sosial.  Meme, sarkasme, dan humor sering menjadi sarana ekspresi yang dinilai bebas dari konsekuensi.  Namun ketika menyangkut tokoh publik, apalagi presiden dan pejabat negara, ekspresi tersebut masuk dalam ranah sensitif yang mudah ditafsirkan sebagai penghinaan, terutama jika konteksnya tidak jelas atau tidak disertai maksud edukatif.

Mengapa hal seperti ini terus terjadi di media sosial?  Salah satunya karena banyak pengguna merasa terlindungi oleh anonimitas.  Mereka percaya bahwa di balik akun palsu atau unggahan sementara (seperti Stories), identitas mereka akan aman.  Ini memberi ruang bagi impuls-impuls ekspresif yang kadang tidak terkontrol dan berujung pada tindakan hukum.

Psikolog digital dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Liza Marthens, menjelaskan bahwa media sosial menciptakan efek disinhibition --- pengguna merasa bisa berkata atau mengunggah apa saja tanpa memikirkan dampaknya.  "Orang lupa bahwa jejak digital tidak pernah benar-benar hilang. Mereka juga lupa bahwa dunia maya tetap berada di bawah hukum dunia nyata," tegasnya.

Kita perlu objektif.  Di satu sisi, kebebasan berekspresi adalah fondasi demokrasi.  Namun di sisi lain, ekspresi harus dilakukan secara bertanggung jawab dan etis.  Mahasiswa, apalagi dari kampus ternama, seharusnya menjadi teladan dalam mengkritik kekuasaan dengan substansi dan intelektualitas, bukan dengan guyonan kasar atau ejekan personal.

Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi dua pihak:

1. Masyarakat, agar lebih bijak dalam mengekspresikan kritik---gunakan fakta, data, dan nalar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun