Mohon tunggu...
Laurie
Laurie Mohon Tunggu... Penulis independen

Menyukai keheningan, mencintai tulisan, dan selalu ingin memahami dunia. Menulis pelan, berpikir dalam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Murid Semakin Berani, Tapi Semakin Rapuh: Potret Baru Dunia Sekolah Kita

15 Oktober 2025   21:20 Diperbarui: 15 Oktober 2025   21:20 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di banyak ruang kelas hari ini, suasananya jauh berbeda dari dua dekade lalu. Guru tak lagi menjadi sosok yang ditakuti atau paling berwibawa di ruangan itu.

Sebaliknya, semakin banyak kasus di mana siswa berani membantah, melawan, bahkan merekam gurunya saat ditegur. Dan yang lebih mengejutkan, sebagian dari mereka akan berkata dengan nada enteng:

> "Saya laporkan ke orang tua saya."

Fenomena ini bukan sekadar kisah viral di media sosial. Ia adalah cerminan perubahan sosial yang mendalam --- bahwa otoritas pendidikan di rumah dan di sekolah sedang bergeser.

---

Dari Takut Guru ke Takut Orang Tua Siswa

Dulu, guru adalah simbol kedisiplinan. Suara penggaris mengetuk meja saja sudah cukup membuat satu kelas diam. Tapi kini, banyak guru justru menahan diri untuk tidak menegur keras, bukan karena mereka tak peduli, melainkan karena takut berurusan dengan orang tua siswa yang mudah tersinggung.

Tidak sedikit guru yang akhirnya memilih diam. Mereka khawatir teguran dianggap kekerasan verbal, atau hukuman ringan disalahartikan sebagai pelanggaran hak anak.

Beberapa bahkan mengaku, setiap kali hendak menegur murid, mereka lebih dulu memikirkan: "Bagaimana kalau orang tuanya marah?"

Anehnya, sebagian orang tua justru menganggap keberanian anak membantah sebagai tanda kritis dan percaya diri. Padahal, antara berani bersuara dan tidak tahu adab --- adalah dua hal yang berbeda.

---

Generasi "Lembek" Bukan Berarti Lemah, Tapi Kurang Ditempa

Kita sering mendengar istilah "generasi lembek" untuk menggambarkan anak muda sekarang.

Mereka tumbuh dalam dunia yang lebih nyaman, dengan akses informasi tanpa batas, tapi minim pengalaman menghadapi tekanan sosial secara langsung.

Konflik kecil di sekolah bisa menjadi besar karena diunggah ke media sosial, diperkuat komentar netizen, lalu berujung pada laporan resmi.

Namun, sejujurnya, bukan salah mereka sepenuhnya. Dunia tempat mereka tumbuh memang berbeda.

Anak-anak zaman sekarang terbiasa mendapat validasi cepat dari "like" dan "share". Rasa kecewa atau malu pun tak lagi mereka hadapi dengan refleksi diri, tapi dengan pelarian digital --- mencari pembelaan publik, bukan introspeksi pribadi.

---

Peran Orang Tua yang Salah Kaprah

Banyak kasus menunjukkan bahwa akar masalah justru berasal dari rumah.

Sebagian orang tua terlalu protektif, seolah anak tidak boleh salah atau dipersalahkan.

Padahal, proses dimarahi, ditegur, atau dihukum secara proporsional adalah bagian penting dari pendidikan karakter.

Ketika anak pulang dan mengadu, "Bu, saya dimarahi guru," orang tua seharusnya tidak langsung datang ke sekolah dengan emosi. Tapi sering kali, yang terjadi justru sebaliknya: mereka mendatangi sekolah dengan nada menuduh, bahkan merekam percakapan dengan guru.

Sikap ini tanpa disadari mengirim pesan berbahaya: bahwa otoritas guru bisa ditentang, dan anak bisa selalu berlindung di balik orang tuanya.

Lama-lama, anak tidak belajar tanggung jawab, tapi justru belajar mencari pembenaran.

---

Antara Hak dan Kewajiban yang Mulai Kabur

Era kesadaran hak anak memang membawa banyak perubahan positif --- menghapus kekerasan fisik di sekolah dan mendorong suasana belajar yang lebih sehat.

Namun, di sisi lain, ada kecenderungan bahwa hak anak lebih sering dikedepankan daripada kewajibannya.

Siswa kini lebih tahu bagaimana menuntut hak, tapi tidak terbiasa memahami batas dan tanggung jawabnya.

Padahal, pendidikan sejati adalah keseimbangan antara keduanya.

Tanpa disiplin, kebebasan justru berubah menjadi kekacauan.

---

Guru dalam Dilema

Banyak guru kini berada di posisi sulit. Di satu sisi, mereka dituntut menanamkan nilai moral, disiplin, dan karakter.

Tapi di sisi lain, setiap tindakan bisa dianggap salah jika menyinggung perasaan siswa atau orang tua.

Beberapa guru bahkan mengaku lebih stres menghadapi orang tua siswa daripada siswanya sendiri.

Bagi mereka, tugas mengajar kini tidak hanya menyusun RPP, tapi juga menjaga "citramu tetap aman di mata wali murid."

Fenomena ini membuat sebagian guru kehilangan wibawa, bukan karena mereka tak pantas dihormati, tapi karena sistem sosial di sekeliling mereka sudah berubah: sekolah tak lagi menjadi ruang belajar yang sepenuhnya otonom, melainkan arena negosiasi antara guru, orang tua, dan murid.

---

Membangun Kembali Rasa Hormat Tanpa Takut

Kita tentu tidak ingin kembali ke masa lalu ketika hukuman fisik dianggap biasa. Tapi di sisi lain, kita juga tidak bisa membiarkan disiplin dan adab hilang dari dunia sekolah.

Solusinya bukan dengan memihak, melainkan menyeimbangkan.

Orang tua perlu menanamkan pemahaman bahwa guru adalah mitra, bukan musuh.

Setiap teguran dari guru harus dilihat sebagai bagian dari proses mendidik, bukan sebagai serangan pribadi terhadap anak.

Sebaliknya, guru juga perlu memahami cara menegur yang lebih empatik, tanpa kehilangan ketegasan.

Sekolah bisa memperkuat komunikasi dua arah dengan orang tua melalui pertemuan rutin, bukan hanya saat rapor atau ada masalah. Dengan begitu, hubungan emosional terbentuk, dan kesalahpahaman bisa diminimalkan.

---

Akhir Kata: Didik dengan Keteladanan, Bukan Perlindungan Berlebihan

Jika kita terus membesarkan generasi yang tidak boleh salah, maka kita sedang menyiapkan masa depan yang rapuh.

Anak-anak perlu ditempa dengan disiplin, tapi juga dipeluk dengan kasih.

Guru perlu dihormati, tapi juga didengar.

Dan orang tua perlu belajar mempercayai bahwa mendidik bukan berarti selalu membela, tapi menuntun.

Karena sejatinya, tugas guru bukan hanya mengajar pelajaran, tapi membentuk karakter.

Dan tugas orang tua bukan hanya melindungi, tapi juga melepaskan anak belajar menghadapi dunia yang nyata.

---

Ditulis oleh Laurie

Seorang penulis yang menaruh perhatian pada perubahan sosial dan dunia pendidikan modern --- percaya

 bahwa karakter anak terbentuk bukan karena bebas dari kesalahan, tapi karena belajar memperbaikinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun