Langkah pertama selalu terasa paling berat.
Bima berdiri di depan rumah, menatap punggung ibunya yang masih berdiri di ambang pintu. Tatapan ibunya penuh harapan sekaligus kecemasan.
"Kapan kamu pulang?" tanya ibunya.
Bima menunduk sejenak sebelum menjawab. "Kalau sudah menemukan yang kucari, Bu."
Sebenarnya, ia sendiri tidak tahu apa yang sedang ia cari. Ia hanya merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang belum pernah ia temukan di desa kecil tempat ia dibesarkan.
Ibunya mengangguk perlahan, seakan memahami, meskipun mungkin hatinya tak benar-benar bisa menerima.
Kereta yang membawanya pergi meninggalkan desa berguncang pelan. Di luar jendela, sawah dan perbukitan berlarian ke belakang, semakin lama semakin jauh. Ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya---seperti sedang melangkah ke dunia yang sama sekali asing, tanpa kepastian untuk kembali.
Jakarta menyambutnya dengan panas dan kebisingan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Gedung-gedung tinggi menjulang di langit, kendaraan berlalu-lalang tanpa henti, dan manusia berjalan cepat, seolah waktu adalah musuh yang tak bisa mereka kalahkan.
Bima menyewa kamar kecil di gang sempit, cukup untuk tidur dan menyimpan beberapa pakaian. Ia mencari pekerjaan serabutan untuk bertahan hidup. Kadang menjadi pengantar paket, kadang menjadi pelayan kafe.
Setiap malam, ia duduk di halte atau trotoar, mengamati orang-orang yang tampak sibuk dengan urusan mereka. Ia bertanya-tanya, apakah mereka semua tahu ke mana mereka menuju? Ataukah mereka juga hanya berjalan tanpa arah, seperti dirinya?
Suatu malam, hujan turun deras. Bima berteduh di sebuah warung kopi kecil di sudut jalan. Di sana, ia melihat seorang perempuan duduk sendiri di sudut, matanya menerawang ke luar jendela.