Mohon tunggu...
Nofrianus Sothirjo Marin
Nofrianus Sothirjo Marin Mohon Tunggu... Lainnya - Suka Membaca Tulisan Ringan

Pejalan Sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saya Orang NTT "Nusa Terindah Toleransi"

15 Juli 2020   12:53 Diperbarui: 15 Juli 2020   12:55 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sebuah gua yang gelap dapat dinyalakan dengan kedipan cahaya hanya dalam sedetik meskipun telah menghadapi kegelapan selama berabad-abad", (Naamdeo). Dan, saya mencoba untuk mengedipkan cahaya itu.

...

Iya, saya belum memahaminya enam tahun yang lalu. Saya mungkin pernah mendengarnya sekilas saja di berbagai sesi pelajaran di kelas sejak duduk dan bersandar di bangku SD sampai SMA. Pendengaran saya tampaknya kurang jelas, ataukah penalaran saya yang kurang tajam untuk memahaminya. Setelah diterawang agak dalam, mungkin saya berada di dalam kehidupan komunitas yang banyak homogennya. Itulah alasannya di titik waktu itu saya belum paham.

Saya mencoba mengajak Anda untuk menuju tahun 2014, tepatnya di penghujung bulan Agustus. Seingat saya, waktu itu suhu udara panas. Kira-kira 32-34 derajat dalam skala Celcius. Untuk kali pertamanya seorang anak desa, dari pelosok Tanah Air Indonesia, daerah perbatasan dengan negara lain, menghirup udara dan menginjakan kakinya di sebuah kota di Pulau Jawa.

Adalah Yogyakarta, tempat yang akan mencerahkan itu. Saya dijemput Kornel, seorang teman lama waktu di SMA. Dia sudah setahun lebih awal datang ke kota itu. Berkat beasiswa yang diterimanya, dia tinggal di asrama kampus. Karena tamu tidak bisa diinapkan di dalam asrama, sesuai aturannya, saya "dititipkan" Kornel ke teman sekelas kuliahnya untuk menginap di kosnya beberapa hari, sebelum saya mendapatkan kos untuk ditinggali.

...


Tempat tinggal baru, teman baru, olahan makanan jenis baru, penampilan orang-orang berbeda, mobilitas orang juga berbeda intensitasnya, bahkan cara berbicara juga beda sampai-sampai saya agak kesulitan memahami apa yang terucap. Hampir semuanya baru bagi saya, kecuali pakaian yang saya pakai dan perlengkapan lainnya yang dibawa.

Satu lagi, pandangan-pandanganku mulai berbeda. Hal yang sangat mengesankan adalah ketika aku berjumpa dengan manusia Indonesia dari berbagai daerah, bahkan dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas hingga ke Pulau Rote. Dengannya, selain disebut Kota Gudeg, Yogya juga disebut Kota Pelajar, karena di kota inilah berkumpul anak-anak bangsa yang beragam asalnya.

...

Aku mulai perlahan melihat Yogya secara dekat ketikaBagus, teman Kornel yang bersamanya saya tinggal, mengajak saya untuk berjalan-jalan melihat dari dekat pusat kota, tepatnya Malioboro. Kami melaju dengan sepeda motor Bagus.

Bagus, sering dipanggil Bli oleh teman-temannya. Saya tau itu dari Kornel. Katanya, "dia orang keturunan Bali Lombok jadi kam (kami) panggil dia Bli saja", jelasnya dengan logat khas NTT. Saya tau Bli seorang Hindu ketika suatu pagi sebelum berangkat kuliah, dia berdiri dan sambil membakar dupa,kemudian berdoa dengan kepalanya dimahkotai udeng. Aroma matahari hampir menghilang. Warna keemasan mulai nampak di langit, di atas ujung paling atas Tugu Yogya.

Banyak tukang becak bercanda gurau, tertawa lepas sembari menungu tawaran turis/wisatawan untuk diantar. Di sebelah tempat tongkrongan, asap-asap sesekali mengepul dari corong bakaran pakde di angkringan. Mewarnai panorama sore itu, banyak pejalan kaki di area Tugu, Malioboro, sampai ke titik Nol Kilometer. Sekilas saya bisa membayangkan, orang-orang dengan varietas ciri-ciri fisik bisa menggambarkanperbedaan asal, daerah, budaya, ras, dan agama. Saya dan Bli mengakhiri sore itu dengan menyeruput kopi hitam manis di Monumen Serangan Umum 1 Maret yang berdampingan dengan Benteng Vredeburg.

...

Waktu tidak berhenti di Titik Nol Kilometer. Waktu mengantarkan saya pada sebuah aktivitas baru, usai saya mengabiskan waktu seminggu dengan mencicipi keindahan-keindahan Kota Yogya. Saya mulai mengenyam ilmu di kelas perkuliahan. Di sinilah saya mulai mengenal banyak hal beragam, atau dalam istilah yang keren, mengutip bahasa Gus Dur, pluralitas. Sedikit lebih mencerahkan, dosen kami yang sudah mulai ubanan, tetapi semangatnya bernyala-nyala, menceramahi kami tentang pluralitas dan toleransi.

Suasana kelas hening, pagi itu di pengawal September. Sang dosen dengan piawainya "membius" kami dengan bahasa-bahasa nasionalisme yang diksi-diksinya, kadang bagi saya sebagai anak desa, mudah untuk dipahami secara cepat. Sebut saja, pluralitas, toleransi, keberagaman, adalah beberapa kata yang diminta perbedaannya kepada kami oleh pak dosen. Dari jawaban-jawaban ringkasnyaDitha, saya paham sedikit soal istilah-istilah itu. Saya menangkap arti pluralitas dan keberagaman. Kalo teman-teman yang dari Yogya bilang, ini rada-rada mirip. Setelah hampir dua jam kami berdinamika dan berdialektika, kami dipisah waktu untuk pertemuan pertama ini.

Masih di hari yang sama. Kuliah hari pertama, berasa lama dan panjang waktunya. Selepas kelas, saya pergunakan waktu selow untuk berkenalan dengan teman-teman. Kami sama-sama memanfaatkan momen pertama ini untuk menambah koleksi teman. Anak rantauan seperti saya menganggap teman-teman di sini sebagai keluarga yang dekat. Memori awal itu masil lekat sampai saat ini, bahkan ketika hari masih subuh ketika saya bangun dan melanjutkan cerita ini. Ivan, dia dari NTT juga, tetapi kami beda pulau.

Di arah ketimuran Indonesia, ada Ricky asal Maluku dan Andreas kelahiran Manokwari, Papua. Jesry lahir dari keluarga Toraja, Sulawesi Selatan. Dia mewakili rumpun Indonesia Tengah bersama Singgih dari Sulawesi Tenggara, tepatnya Kota Bau-Bau. Dengan tau nama saja, bisa teridentifikasi Shafar, Asep, Ikhsan, mereka orang berdarah Jawa. Awal-awal, saya merasa cara bicara mereka cepat sekali.

Sebaliknya, dengan nada bercanda dan logat ketimuran, kata mereka," hei kawan ko pu cara bicara seperti orang berantem saja". Mendengar itu, kami tertawa terbahak-bahak. Kedekatan emosionalpun makin erat.

Perbedaan logat bicara akhirnya bisa diterima secara humoris di antara kami. Walaupun awalnya agak susah untuk menelaah satu persatu kalimat yang diucapkan.   Kadang juga mereka dengan Bahasa Jawanya yang dilaflkan secaran lembut, seolah saya berbicara dengan Malaikat, tapi tak paham sedikitpun. Bagian matahari terbenam Indonesia, ada Lubis dan Kirby. Mereka berdua berasal dari salah satu suku terbesar di Indonesia, yakni Suku Batak.Kata teman-temandekat, kami agak mirip kalo dilihat dari cara bicaranya.

Di sisi lain, saya sedang tidak berblok, atau menyempitkan diri untuk berteman dengan beberapa orang saja. Memang agak canggung di awal itu saya berkenalan dengan mbak-mbak. Lalu, kami menyisakan senja awal kuliah itu dengan bercengkrama di angkirangan depan kampus. 

Malam keesokannya, di Angkringan yang berbeda, saya dan Bli menyeruput teh jahe. Kami juga menikamti tempe bakar yang diolesi kecap. Sesekali mencoba melahap sate telur burung dan cakar ayam.  Kalau masih lapar, satu dua bungkus nasi kucing jadi pelengkap kepuasan malam sebelum tidur. Kami berbincang di sela bunyi kunyahan dan seruputan.

"Bli, ko tau tidak, saya belajar sesuatu dari tempat makanini", kataku sambil menunjuk gerobak angkringan, sebab kami lesehan sekitar jarak tiga meteran. Jawab Bli dengan khasannya, "apa ejo?", sedikit nada kaget. "Kawan, saya pikir, di tempat ini kita belajar apa yang namanya 

KEJUJURAN. Kita lihat, mas angkringannya tidak pernah hitung apa yang kita pesan dan makan. Kita hanya ambil dan makan saja, setelah itu baru dihitung untuk dibayar", jelasku sambil meneguk jahe yang tersisa. Kami pun bangun, menghitung apa yang telah kami makan, dan bayar.

...

Saya mulai terlibat di kegiatan-kegiatan keorganisasian kampus. Saya mengawali dengan menjadi panita Pemira (Pemilihan Raya) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Saya tidak hanya bertemu teman-teman yang sekelas, tetapi dari hampir seluruh kelas dari berbagai jurusan, fakultas sekampus.

Saya melihat keberagaman orang-orang yang saya jumpai. Perbedaan pandangan, pendapat dan karakter adalah hal yang mecolok di setiap dinamika kepanitian. Saya awalnya kesulitan beradaptasi dengan situasi baru seperti ini. Untung Fajar, teman satu kos, yang telah menguasai forum-forum seperti ini, dengan gayanya yang ceplos-ceplos dan cepat akrab menjembatani situasi ini.

Semuanya berjalan dengan normal, walau tidak sempurna. Sebelum melepas pergi kepanitiaan itu, kami melakukan evaluasi. Momen, saya paham betul tentang apa yang sebelumnya saya belum paham. Yaitu, menerima perbedaan. Istilah kerennya, toleransi. Saya mulai belajar tentang perbedaan yang ada pada setiap orang. Perbedaan suku, agama, ras, golongan, latar belakang keilmuan, pasti memunculkan perbedaan pandangan-pandangan yang tidak mudah disatukan. Hemat saya, toleransi itu sederhana. Walaupun agak susah dipahami ketika kuliah di semester satu, kala itu.

...

Saya diajak waktu sampai pada pertengahan waktu kuliah. Saya berani beraktivitas dan berdinamika di oragnisasi, baik yang intra maupun ektra kampus. Semakin luas lingkungan saya, semakin saya menemukan luasnya keberagaman itu sendiri. Semakin saya menjumpai orang dengan berbagai latar belakang, ada teman beda kampus, beda organisasi, beda profesibahkan beda umur, wawasan saya makin dikayakan dengan nilai-nilai pluralitas dan keberagaman di Indonesia. Dan saya mau sebut, di tempat inilah seorang anak desa yang tak paham tentang pluralitas, keberagaman dan toleransi, bisa tercerahkan.

Mengutip kata-kata Bapak Pluralisme Indonesia, Abdurahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, beliau bilang, "Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu". Hemat saya, kutipan ini menjadi pelengkap segala diskursus tentang keberagaman dan toleransi. Dan, saya paham betul itu, setelah saya bergabung dengan organisasi yang ber-ruhkan semangat Nasionalisme dan Pancasila.

Tentang nilai toleransi yang lebih fundamen saya belajar dari Robby. Keluarganya tinggal di Temanggung. Saya pernah menghabiskan beberapa malam di sana untuk mengamati secara langsung apa yang diceritakan pada saya. Sembari menikmati tembakau olahan ayahnya, kami bercerita tentang keluarganya yang memiliki perbedaan keyakinan antar ayah dan ibu serta naka-anak. Ibunya menganut Katolik, sedangakan ayahnya menganut Islam.

Robby empat bersudara. Kedua kakaknya,  satu perempuan dan satunya laki-laki, memilih mengikuti kepercayaan ayahnya. Dia dan adiknya perempuan memilih mengikuti kepercayaan ibunya. Saya kadang merenung sendiri. Betapa indahnya berada di tengah keluarga majemuk dan harmonis seperti keluarga Robby. Mungkin banyak di luar sana yang seperti ini, tanpa menafikan kalau ada juga yang tidak atau belum seperti ini.

Pada kisah yang lain, teman seorganisasi saya. Kami memanggilnya Bung Halim. Gaya berbicaranya seperti politisi, mungkin karena berkecimpung di organisasi sebagai aktivis atau sudah katam pemikiran-pemikiran Bung Karno tentang konsepsi bangsa melalui Pancasila, Nasionalisme, dan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.

Lebih jauh lagi, dia dengan pikiran yang terbuka karna banyak buku-buka yang dibacanya, dan "jam terbang" diskusi yang dilaluinya. Sesekali saya mengjaknya untuk menikmati kopi dan rokok di angkringan. Dia banyak bercerita tentang Nasionalisme ala Bung Karno. Bung besar kita, katanya, pernah berpidato dan mengatakan bahwa, "Kata Gandhi, My Nationalism is Humanity, dan kata saya, My Nationalism is also Humanity".

Sembari sesekali menyepul keluar asap rokok, dia melanjutkan dengan fasih, "Bahwa, nasionalisme kita adalah nasionalisme kemanusian yang diterjemahkan sebagai tidak adanya tindakan exploitation de l'homme par l'homme(eksploitasi, penindasan, penghisapan manusia oleh manusia yang lain) dan kemudian ditambah dengan, exploitation de nation par nation (penindasan sebuah bangsa oleh bangsa yang lain)". Aku hanya diam, dan mengangguk untuk merekam dan memahami kata-katanya. 

Nilai toleransi juga saya cicipi dari pergaulan dengan Bung Halim. Kali ini lebih fundamen. Menurut ceritanya, dan video testimoni yang saya tonton di salah satu media, dia  

mengungkapkan tentang kehidupan keluarga yang sarat dengan nilai toleransi. Halim lahir dari pasangan orang tua yang beda keyakinan, seperti Robby. Ayahnya menganut Islam, sedangkan ibunya menganut Budha. Dia dan adiknya dipersilahkan memilih, dan mereka berdua memilih untu menganut kepercayaan Kristen.

Menurut Halim, keluarga merekamemiliki suatu cara yang unik dalam menentukan agama, karena sejak kecil mereka dibebaskan untuk memilih agama apa saja, dan hampir semua agamasudah dipelajarinya. Semua agama, lanjutnya, tidak ada yang mengajarkan kejelekan, semuanya mengajarkan kebaikan dankebajikan. Dan satu hal lagi, di keluarga Bung Halim, jika ada masalah, selalu diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat.

...

Setiap perjumpaan dengan teman-teman dari berbagai budaya itulah yang memperkaya pengetahuan dan tindakan saya tentang menumbuhkan sikap toleransi. Saya menemukan betapa indahnya hidup berdampingan di dalam setiap perbedaan yang nampak. Itulah mengapa orang bilang pelangi itu indah karena berwarna warni. Hal sederhana yang biasanya saya dan teman-teman lakukan sampai saat ini adalah saling mengucapkan selamat perayaan pada hari raya keagamanaan.

Saya mengucapakan selamat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha untuk teman-teman Muslim, dan Hari Raya Nyepi kepada teman yang Hindu. Sebaliknya mereka mengucapakan selamat Hari Raya Nataldan Paskah untuk saya. Kami berbagi kedamaian walaupun sebatas ucapan. Ingat saya, ketika masih di Yogja, kadang kami meluangkan waktu untuk perayaan dengan bakar-bakar, tapi bukan bakar kenangan. 

 

Di penghujung waktu kuliah, saya dan beberapa teman memilih untuk mengontrak sebuah rumah di wilayah Sleman. Hal yang sama, saya belajar bagaimana memahami setiap perbedaan yang mencolok dari setiap kami. Kami berempat di dalam rumah itu. Di teras rumah itu juga saya mendengar kisah yang tak kalah menarik tentang persahabatan, keharmonisan di antara anak bangsa khususnya di salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur.

Di Adonara, kalo musim Lebaran, saat tetangga-tengga yang muslim beribadah, yang Nasrani (Kristen/Katolik) sudah menunggu sambil berbaris untuk bersalaman. Sebaliknya, ketika perayaan Hari Natal, para remaja mesjid dengan sukarela membantu pemuda Katolik untuk mendekorasi ruangan gereja. Dan, seusai ibadah, tetangga-tetangga yang yang muslim menunggu di depan gereja untuk bersalaman. Itulah kisah dari teman Rintho di kampung halamannya Pulau Adonara, Flores Timur.

Tentang Rintho, Dia lahir dari keluarga yang berbeda keyakinan juga. Ibunya menganut kepercayaan Islam, ayahnya menganut Katolik. Beberapa kakaknya mengikuti kepercayaan bapaknya, sedangkan dia memilih bersama ibunya. Kami berbeda di bawah satu atap, tapi kami tau apa yang harus kami katakan dan lakukan di  tengah perbedaan itu. Seperti di Indonesia, kita satu atap, di bawah atap Nusantara Terindah Toleransi.

...

Aku berada di titik waktu untuk kembali meninggalkan kota yang disebut miniaturnya Indonesia itu. Tepatnya awal Oktober 2018, setelah empat tahun saya menimba kekayaan hidup di sana. Saya tidak hanya membawa selembar kertas (ijazah), tetapi pelajaran berharga untuk menjadi manusia Indonesia, yaitu nilai-nilai kebangsaan yang saya cicipi di luar kelas, di sudut-sudut angkringan atau warung kopi. Di gelap-gelap malam, berterang cahaya lampu, saya kembali meninggalkan kota itu.

Saya sempat merasakan hangatnya sapaan-sapaan, dan lembutnya hembusan angin malam. Saya kembali seorang diri. Khusuknya malam itu menghantar saya pada sebuah refleksi tentang kehidupan seorang anak desa di perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. Terkadang, kita bertolak ke tempat yang lebih dalam untuk memahami sebuah arti kehidupan yang mendalam, dan saya telah melakukannya, di tepian Indonesia, saya bertolak ke dalamnya Indonesia. Dari Timor, NTT menuju Yogyakarta, DIY. Saya telah menikmati indahnya menjadi Indonesia yang seutuhnya. Saatnya, saya aplikasikan dalam keseharian.

...

..., telah berkedip cahaya di kegelapan gua itu. Mari kita bersama merawat api perjuangan itu agar tetap bernyala. Seperti kata Bung Karno, "warisi apinya, jangan abunya". Iya api toleransi di antar setiap anak bangsa. Biarkan dia bercahaya untuk menerangi jalan-jalan kehidupan kita menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia yaitu Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur.

Akhir kata, sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menjadikan perbedaan-perbedaan di dalamnya sebagai sebuah kekuatan besar untuk berevolusi dan berevolusioner. Merdeka!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun