Narasi Para Satwa
"Sejak orang-orang proyek itu datang, hidup kami menjadi terancam. Bahkan untuk bergelantung dari dahan ke dahan dengan leluasa seperti dulu pun serasa menantang maut. Hutan kami lalu digunduli dengan api dan alat berat. Saat alat-alat berat yang dibawa itu menggondol sebatang pohon, kami baru saja kehilangan rumah. Dan saat api melahap seisi hutan, kami bingung harus ke mana."
"Barangkali, kami adalah spesies yang menyedihkan. Jumlah kami semakin sedikit ketika lahan menyempit, makanya kami berjalan jauh, bahkan sampai memasuki kebun sawit. Tetapi kehadiran kami dianggap meresahkan, padahal kami lebih dulu dirugikan. Kami pun tak kuat menghadapi senjata atau racun mematikan dari pemburu, sekalipun kami bertubuh besar. Yang paling memilukan, selama sepasang gading masih laku keras di pasar gelap, anak-anak kami menjadi yatim."
"Dulu, kami adalah raja rimba. Suara kami menggelegar, mengisi sakralnya hutan. Negara ini bangga karena punya spesies yang unik seperti kami. Namun, kini hidup kami terancam. Kami kehilangan mangsa, juga rumah. Hutan yang dibakar pun menyesakkan dada kami sampai sekarat. Kami juga dikejar seperti buronan, hingga terancam punah setelah mati di ujung peluru pemburu."
Narasi-narasi di atas bukanlah fiksi, melainkan sebuah kenyataan. Suara-suara itu jarang terdengar (apalagi dalam rapat pemerintah), tetapi penderitaan mereka nyata. Data pun mengamini: harimau Sumatera diperkirakan tinggal 600-an ekor, gajah diperkirakan berjumlah 1.300-1.500 ekor, dan orangutan, oleh International Union for Conservation (IUCN), diperkirakan dapat menyusut sampai angka 47.000 pada tahun ini.
Hilangnya hutan (baca: rumah) menjadi akar persoalan dari merosotnya jumlah spesies-spesies karismatik tersebut. Dilansir dari Global Forest Watch, Indonesia telah kehilangan 10,7 juta hektar hutan primer basah dari tahun 2002 sampai 2024, sementara hutan alam kita lenyap 259.000 hektar pada tahun kemarin. Padahal pada tahun 2020, hutan alam kita seluas 93,8 juta hektar.
Di balik angka-angka itulah, mesin keserakahan manusia beroperasi. Kegiatan pertambang yang semakin menggila, ekspansi perkebunan sawit, hingga proyek kebijakan nasional atas nama 'demi kemakmuran bangsa' menjadi penyebab deforestasi. Hutan-hutan menjadi gundul dan rusak akibat aktivitas-aktivitas ini.
Pemerintah barangkali memiliki program konservasi alam, menetapkan target rehabilitasi hutan, atau membuat peraturan anti-perburuan. Namun, terkadang kebijakan-kebijakan itu hanya megah di atas kertas. Lemahnya komitmen dan 'ketergantungan pada dana' membuat program-program tersebut hanya berjalan sebentar. Akibatnya, satwa kehilangan rumah, seiring luas hutan yang menyusut. Kepunahan menjadi ancaman serius.
Di tengah situasi yang runyam seperti ini, barangkali agak naif jika kita berbicara soal harapan. Apa yang bisa kita harapkan dari keadaan ini? Jika pihak-pihak yang berwenang sulit diandalkan dan orang-orang yang peduli lingkungan selalu dibungkam, kepada siapa lagi kita berharap?
Masyarakat Adat: Penjaga Hutan Mencegah Kepunahan
Di tengah berbagai solusi untuk konservasi, masyarakat adat hadir berdiri di garda terdepan dalam usaha pelestarian. Komunitas adat terbukti menjadi penjaga hutan dan mencegah kepunahan. Mereka diperkirakan mengelola sekitar 80% keanekaragaman hayati dunia.
Di Indonesia, berbagai bentuk local wisdom komunitas adat turut menjaga kelestarian alam. Orang-orang Dayak Iban sangat menjaga orangutan, karena merupakan jelmaan leluhur mereka, sehingga haram untuk memburu dan membunuhnya. Di Sumatera, masyarakat adat mengeluarkan peraturan adat untuk mencegah perburuan satwa, khususnya spesies harimau Sumatera. Bahkan ada ritual tertentu yang secara tidak langsung telah melestarikan spesies tersebut.
Di Papua, suku Korowai yang masih hidup berdampingan dengan alam masih erat menjaga hutan adat dan memiliki laju deforestasi yang rendah. Sementara masyarakat adat Wehea di Kalimantan, menjaga ketat puluhan ribu hektar kawasan hutan adat yang kini menjadi habitat penting bagi orangutan, macan dahan, dan beruang madu.
Di wilayah tersebut, kolaborasi apik masyarakat adat dan patroli masyarakat telah menghasilkan perlindungan hutan dan satwa yang efektif. Upaya ini tentu saja berpeluang menghambat laju deforestasi hutan di Kalimantan dengan cepat.
Kasus ini menunjukkan bahwa jika diberi ruang, masyarakat adat bukan sekedar "penjaga tradisi", melainkan aktor utama dalam konservasi. Sekalipun sering dipandang sebelah mata, diremehkan, bahkan diusir, masyarakat adat tetap berjuang mempertahankan hutan mereka dan menjaga satwa di dalamnya.
Namun, perlu diakui juga bahwa masyarakat adat juga memiliki kelemahan. Praktik ladang berpindah, hingga pembukaan lahan dengan cara membakar terkadang mengakibatkan kebakaran hutan, satwa terjebak api, dan kabut asap lintas negara.
Hal ini disebabkan pola pertanian tradisional dan kurangnya edukasi dan inovasi untuk masyarakat adat. Akses pada teknologi ramah lingkungan pun terbatas. Jika diberi dukungan, masyarakat adat justru bisa menjadi pionir adaptasi. Dengan kata lain, kita perlu membangun jembatan antara kearifan lokal dan inovasi modern demi pelestarian.
Penggunaan Teknologi: Inovasi Pelestarian untuk Masyarakat Adat
Di titik inilah teknologi menjadi sekutu. Bayangkan jika pemuda adat dilatih menggunakan drone berbasis AI untuk mendeteksi aktivitas ilegal logging. Atau jika GPS Smart Collar dipasang pada gajah, sehingga masyarakat desa mendapat peringatan dini sebelum sesuatu yang buruk terjadi.
Di Aceh, WWF sudah membuktikan bahwa teknologi ini bisa menurunkan konflik manusia-gajah hingga 60%. Di Kalimantan Timur, startup reforestasi menggunakan drone berhasil menanam lebih dari 20 ribu bibit pohon asli hanya dalam hitungan bulan.
Sementara di Papua, aplikasi berbasis Android dipakai komunitas adat untuk memantau burung cenderawasih, melaporkan temuan langsung ke pusat data. Semua ini menunjukkan bahwa teknologi bukan pengganti, melainkan penguat peran adat.
Lebih jauh, generasi muda bisa menjadi jembatan emas. Mahasiswa bisa mengembangkan aplikasi citizen science untuk melaporkan temuan satwa, komunitas sekolah bisa menanam pohon koridor gajah, dan generasi digital bisa mengangkat kampanye konservasi lewat media sosial.
Gerakan global seperti iNaturalist sudah membuktikan bagaimana anak muda bisa menjadi mata tambahan bagi ilmuwan. Bayangkan jika gerakan serupa diperluas di Indonesia, dengan masyarakat adat sebagai pemandu, dan teknologi sebagai penghubung---konservasi akan menjadi gerakan bersama, bukan proyek sesaat.
Dukungan Pemerintah: Dukungan akan Kelestarian
Tetapi teknologi dan adat saja tidak cukup. Pemerintah memegang peran vital yang selama ini lemah. Ada tiga hal mendesak yang harus diperbaiki.
Pertama, percepatan pengakuan hutan adat: hingga 2023 baru 4,8 juta hektar yang diakui negara, padahal potensi klaim mencapai 20 juta hektar. Tanpa pengakuan legal, masyarakat adat tetap rentan digusur.
Kedua, pembangunan infrastruktur harus sensitif terhadap ekologi. Jalan, bendungan, atau jalur kereta harus dilengkapi wildlife corridor agar satwa tetap bisa bermigrasi.
Ketiga, konservasi perlu jaminan permanen. Dana konservasi tidak boleh hanya bergantung pada donor jangka pendek, tetapi harus dijalankan melalui skema nasional, misalnya pajak lingkungan atau mekanisme REDD+.
Namun perjuangan ini tidak berdiri sendiri. Dunia internasional pun sedang memperhatikan. Indonesia punya tanggung jawab moral sekaligus peluang besar.
Orangutan adalah "tukang kebun hutan" yang menjaga regenerasi pohon tropis, gajah adalah "arsitek ekosistem" yang membuka jalur migrasi tumbuhan, dan harimau menjaga keseimbangan rantai makanan. Menyelamatkan mereka berarti ikut menjaga paru-paru bumi dan kestabilan iklim global.
Dan jangan lupa: satwa-satwa ini bukan hanya penting bagi ekosistem, tapi juga bagi manusia. Hutan tempat orangutan tinggal adalah sumber air bagi jutaan warga. Koridor migrasi gajah membantu menjaga keragaman tumbuhan yang menjadi obat dan pangan. Harimau yang menekan populasi herbivora menjaga agar hutan tidak habis dirusak ledakan populasi rusa atau babi. Menyelamatkan satwa karismatik sama artinya dengan melindungi masa depan kita sendiri.
Lebih dalam lagi, satwa karismatik juga hidup dalam cerita spiritual bangsa. Di tanah Dayak, orangutan disebut "kakek rimba," di Sumatra harimau dipercaya sebagai roh penjaga, dan gajah dipandang suci dalam tradisi Hindu. Artinya, kehilangan mereka bukan sekadar krisis ekologis, melainkan krisis budaya dan moral. Menyelamatkan satwa sama artinya menjaga jiwa bangsa.
Harapan untuk Masa Depan
Sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan, kita bisa membayangkan dua jalan berbeda. Jika konservasi gagal, di tahun 2045---saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan---orangutan mungkin hanya ada di kebun binatang, gajah hanya dikenang lewat foto, dan auman harimau tinggal mitos. Tetapi jika kita memilih jalan harapan, hutan adat diakui penuh oleh negara, masyarakat adat diberi kuasa penuh untuk mengelola hutan, dan teknologi hadir sebagai sekutu. Gajah melintasi wildlife corridor yang aman, orangutan kembali bergelantungan di hutan yang dipulihkan, dan harimau tetap menjadi penjaga sunyi rimba. Anak-anak desa belajar mengenal satwa melalui pengalaman langsung, sementara anak-anak kota memahami pentingnya konservasi lewat teknologi realitas virtual. Empati tumbuh, dan solidaritas antar-manusia dengan satwa terjalin.
Inilah inti dari Hope for the Wild: bahwa satwa karismatik masih bisa diselamatkan, bahwa masyarakat adat bisa berdaya, dan bahwa manusia bisa belajar rendah hati. "Speak for the Species" bukan hanya tema lomba, tetapi panggilan moral. Jika kita memilih diam, maka hutan akan sunyi dan generasi mendatang hanya mengenal satwa karismatik lewat gambar di buku. Tetapi jika kita memilih berbicara dan bertindak, maka anak cucu kita masih bisa mendengar auman harimau, melihat kawanan gajah berjalan megah, dan menyaksikan orangutan bergelantungan di rimba Nusantara.
Harapan itu ada. Pertanyaannya sederhana: apakah kita mau menjadi suara mereka, atau justru saksi bisu dari kehilangannya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI