Mohon tunggu...
Mariemon Simon Setiawan
Mariemon Simon Setiawan Mohon Tunggu... Silentio Stampa!

Orang Maumere yang suka makan, sastra, musik, dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Masyarakat Adat dan Inovasi Teknologi: Harapan Menyelamatkan Satwa Karismatik

2 Oktober 2025   23:59 Diperbarui: 2 Oktober 2025   23:59 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di Indonesia, berbagai bentuk local wisdom komunitas adat turut menjaga kelestarian alam. Orang-orang Dayak Iban sangat menjaga orangutan, karena merupakan jelmaan leluhur mereka, sehingga haram untuk memburu dan membunuhnya. Di Sumatera, masyarakat adat mengeluarkan peraturan adat untuk mencegah perburuan satwa, khususnya spesies harimau Sumatera. Bahkan ada ritual tertentu yang secara tidak langsung telah melestarikan spesies tersebut.

Di Papua, suku Korowai yang masih hidup berdampingan dengan alam masih erat menjaga hutan adat dan memiliki laju deforestasi yang rendah. Sementara masyarakat adat Wehea di Kalimantan, menjaga ketat puluhan ribu hektar kawasan hutan adat yang kini menjadi habitat penting bagi orangutan, macan dahan, dan beruang madu.

Di wilayah tersebut, kolaborasi apik masyarakat adat dan patroli masyarakat telah menghasilkan perlindungan hutan dan satwa yang efektif. Upaya ini tentu saja berpeluang menghambat laju deforestasi hutan di Kalimantan dengan cepat.

Kasus ini menunjukkan bahwa jika diberi ruang, masyarakat adat bukan sekedar "penjaga tradisi", melainkan aktor utama dalam konservasi. Sekalipun sering dipandang sebelah mata, diremehkan, bahkan diusir, masyarakat adat tetap berjuang mempertahankan hutan mereka dan menjaga satwa di dalamnya.

Namun, perlu diakui juga bahwa masyarakat adat juga memiliki kelemahan. Praktik ladang berpindah, hingga pembukaan lahan dengan cara membakar terkadang mengakibatkan kebakaran hutan, satwa terjebak api, dan kabut asap lintas negara.

Hal ini disebabkan pola pertanian tradisional dan kurangnya edukasi dan inovasi untuk masyarakat adat. Akses pada teknologi ramah lingkungan pun terbatas. Jika diberi dukungan, masyarakat adat justru bisa menjadi pionir adaptasi. Dengan kata lain, kita perlu membangun jembatan antara kearifan lokal dan inovasi modern demi pelestarian.

Penggunaan Teknologi: Inovasi Pelestarian untuk Masyarakat Adat

Di titik inilah teknologi menjadi sekutu. Bayangkan jika pemuda adat dilatih menggunakan drone berbasis AI untuk mendeteksi aktivitas ilegal logging. Atau jika GPS Smart Collar dipasang pada gajah, sehingga masyarakat desa mendapat peringatan dini sebelum sesuatu yang buruk terjadi.

Di Aceh, WWF sudah membuktikan bahwa teknologi ini bisa menurunkan konflik manusia-gajah hingga 60%. Di Kalimantan Timur, startup reforestasi menggunakan drone berhasil menanam lebih dari 20 ribu bibit pohon asli hanya dalam hitungan bulan.

Sementara di Papua, aplikasi berbasis Android dipakai komunitas adat untuk memantau burung cenderawasih, melaporkan temuan langsung ke pusat data. Semua ini menunjukkan bahwa teknologi bukan pengganti, melainkan penguat peran adat.

Lebih jauh, generasi muda bisa menjadi jembatan emas. Mahasiswa bisa mengembangkan aplikasi citizen science untuk melaporkan temuan satwa, komunitas sekolah bisa menanam pohon koridor gajah, dan generasi digital bisa mengangkat kampanye konservasi lewat media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun