"Apa maksud kau?" Felix bingung.
"Seperti biasa..." Bramantyo tersenyum sinis, sembari berpura-pura menjentikkan jarinya di atas salah satu gelas kopi. Felix memperhatikan tingkah Bramantyo dengan seksama. Ia tahu betul apa yang dimaksudkan Bramantyo.
Felix adalah seorang peracik racun paling mematikan. Sudah banyak korban yang tewas karena racun yang ia ramu. Ia paham baik soal racun. Ia juga menguasai banyak trik untuk meracuni seseorang, bahkan ia tahu persis ciri-ciri makanan atau minuman yang sudah mengandung racun. Menjelang pemilu, Felix selalu dicari oleh para calon legislatif untuk 'melumpuhkan' lawan-lawan politik mereka. Bramantyo menjadi kawan baiknya setelah mereka bekerja sama meracuni salah satu tokoh daerah lima tahun lalu.
"Felix, kebetulan kau ada di sini. Saya ingin minta tolong, supaya kau bisa merayu Romo Lukas untuk mendukung saya." Bramantyo menyodorkan beberapa lembar kartu namanya.
"Tidak, Bramantyo. Saya tidak mau ikut campur dalam urusan itu."
"Tolonglah, Felix. Tadi saya sudah mencoba memengaruhi beliau, tetapi dia sepertinya menolak."
"Maaf, Bramantyo. Saya tidak bisa."
Keduanya terdiam. Bramantyo menahan marah.
"Bantulah saya, Felix. Berapa pun yang kau minta, saya siap berikan." Bramantyo menyodorkan amplop coklat dari saku bajunya. Felix menolak mentah-mentah.
"Lima tahun lalu, sewaktu kita membunuh salah satu tokoh daerah dengan racun, saya melihat sendiri bagaimana putrinya meratapi kematian bapaknya. Bayangan itu terus menghantui dan hampir membuat saya gila. Saya mengalami stress dan terjebak rasa bersalah berkepanjangan, sementara kau duduk nyaman di kursi legislatif. Romo Lukaslah yang membantu dan membimbing saya sampai bertobat," jelas Felix setengah berbisik.
 "Baru kali ini saya mendengar kata tobat dari seorang pembunuh. Sekali pembunuh, tetap pembunuh! Kau tahu sendiri kan siapa pun yang mati karena diracuni, kaulah yang akan dituduh sebagai pelaku." Felix terdiam. Nada sinis itu sudah biasa ia dengar dari mulut Bramantyo.