Di samping meja kami, ada sekelompok bapak – bapak yang sedang asik mengobrol sambil ngopi santai. Batang demi batang rokok menemani obrolan mereka.
Sesekali Bapak ikut menimbrung dalam obrolan seru tersebut. Saya hanya tersenyum dan tertawa merespon mereka. Logat mereka juga unik, terdengar seperti percampuran logat Melayu dan Dayak. Sama seperti logat si pria pemilik warung kopi.
Tampak dari kejauhan, saya melihat seorang anak kecil sedang bermain hujan. Cantik. Mungkin berumur sekitar 5 sampai 6 tahun. Dengan payung kuning, anak kecil tersebut melompat – lompat dalam genangan air hujan. Tiba – tiba seorang perempuan paruh baya mendatangi anak kecil tersebut. Seketika anak kecil itu langsung terkejut dan tertawa. Anak nakal. Hihihi..
Perhatian saya lalu tertuju pada beberapa sepeda motor yang lewat di depan saya. Saya tidak dapat melihat dengan jelas siapa yang mengendarai sepeda motor - sepeda motor itu karena semua pengendaranya menggunakan jas hujan. Mereka membawa banyak sayur di jok motor mereka. Saat mendekati pintu gerbang perbatasan, mereka menyapa tentara dengan anggukan kepala lalu menunjukkan jari ke arah sayur yang mereka bawa.
Lantas para tentara membuka gerbang dan mempersilahkan mereka lewat. “Itu pedagang sayur” kata Bapak. Bapak pun bercerita tentang para pedagang sayur dan lauk yang sering pulang - pergi Indonesia - Malaysia. Dari cerita itu saya pun tahu bahwa banyak petani Indonesia yang mendagangkan hasil tani-nya ke Malaysia. Penjual dan pembeli.
Hubungan mutualisme antar negara. Menarik. Lalu Bapak bercerita tentang banyaknya anak Indonesia di perbatasan yang mengeyam pendidikan di negeri tetangga. “Lebih dekat dan lebih ekonomis” kata Bapak. Memang, selama perjalanan ke perbatasan, saya tidak melihat banyak sekolah yang kami lewati.
Jam menunjukkan pukul 5 lewat 17 menit saat saya dan Bapak meninggalkan Jagoi Babang. Sedih rasanya. Saya masih ingin bersantai sambil menikmati suasana perbatasan. Tetapi langit sudah mau malam dan kami tidak berani melewati jalanan berlumpur itu saat gelap gulita. “Ayo kita pulangnya lewat Singkawang. Mumpung masih suasana Imlek. Pasti banyak lampion dan jajanan enak !” kata Bapak menghibur. “Ayo !” jawab saya lantang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI