Mohon tunggu...
Maria Nurani
Maria Nurani Mohon Tunggu... Freelancer - Sustainability professional dan pengurus beberapa organisasi di bidang sustainability, smart city, sosial dan penanggulangan bencana. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di bidang kajian stratejik dan global di Universitas Indonesia, dengan fokus riset mengenai corporate sustainability transformational change

Di luar pekerjaan utama, saya juga adalah seorang pranic healer, praktisi arhatic yoga, penari dan pemanah.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

"I Never Lose, I either Win or Learn"

28 Desember 2018   16:55 Diperbarui: 29 Desember 2018   00:27 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I NEVER LOSE. I EITHER WIN OR LEARN
(Nelson Mandela)

Rambahan terakhir. Timer sudah berbunyi. Anak panah sudah dicabut. Score akhir sudah dicatat. Perjuangan sudah berakhir.


Tubuhnya terhempas di atas kursi lipat di pinggir lapangan. Hembusan angin tak kuasa mendinginkan hati & kepalanya. Perlahan ia seka keringat yang mengucur di wajah & leher dg handuk kecil. Siang itu bukan hanya keringat yang mengucur. Kedua tangannya tertangkup di depan mata, menahan air mata yang mengalir tak kalah deras. Bahunya bergoncang perlahan.


Zaki mendekat. "Nug, berapa score-nya?"


Zaki, satu dari puluhan lawannya siang itu. Beda klub. Beda kota. Tanpa mengangkat wajah dan memindahkan handuk, Nugie menjawab datar, "Jelek!"
Masih memegang busur, Zaki menyentuh lutut Nugie perlahan. Ditekuknya sedikit lututnya. Badannya membungkuk dan wajahnya mendekat, seolah ingin mengambil sedikit kegalauan darinya. Nugie bergeming. Zaki pun beringsut pergi.


Dunia seperti berhenti berputar. Semua sudah berakhir. Tak ada artinya lagi. Rutinitas lari pagi selama beberapa bulan terakhir, latihan beban dan beberapa kali yoga tidak ada artinya.


"Ah mama bohong. Mama bilang itu semua untuk meningkatkan staminaku. Tapi kenapa malah jelek? Kemarin juga jelek"
Tangisnya kembali pecah seperti gelas yang terlepas jatuh ke lantai.


"Nugie.. udah gak papa," kataku pelan. Tapi dia tak hendak didekati mamanya. "Mama ga usah tanya-tanya. Aku mau sendiri. Mama pergi aja!!!".
Menahan napas, aku berbalik ke arah Coach Ocy dan beberapa orang tua atlit. Mata Bu Rina Subiantoro memerah dan berkaca-kaca. "Kenapa bu?", tanyaku heran. Bukankah Dhanar, anaknya, mendapat score bagus siang itu?


"Aku sedih liat Nugie," katanya tercekat. Bu Yessi yang berdiri di sampingnya tak kuasa menitikkan air mata, walau disembunyikan di balik topi barunya.

-----Ini pemandangan yang tidak biasa. Nugie tidak pernah sejatuh dan seemosional ini. Aku pun tidak pernah diusirnya pergi.
Aku masih melihat dia mengangguk-angguk, mengiyakan nasihat Coach Ocy yang memeluknya erat. Lalu aku pergi meninggalkan lapangan. Pergi dengan hati hancur. Tapi juga terharu. Terharu akan perhatian Zaki, Bu Rina, Bu Yessi, dan mama Ocy. Terharu akan tanda-tanda pendewasaan Nugie. Aahh...anakku bukanlah anakku.
------
Anakmu bukanlah anakmu, mereka adalah putra putri sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun