Mohon tunggu...
Merciana
Merciana Mohon Tunggu... Dokter

Dokter. Penulis. Editor. Reviewer. Menghubungkan kesehatan dan humaniora lewat kata-kata yang jernih dan bermakna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Sebuah Desa di Siak, Api Literasi itu Menyala

12 Oktober 2025   07:00 Diperbarui: 11 Oktober 2025   22:32 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harun al Rasyid dan Amriadi-sang ayah(Sumber: Amriadi,Dok)

Dan benar. Dari rumah kecil itulah api literasi menyala.
Amriadi menanamkan kecintaan membaca dan menulis kepada tiga anaknya: Harun Al Rasyid, Putri Liana Zahirah, dan Muhammad Habibi.
Bersama mereka, ia membangun apa yang kini dikenal orang sebagai Keluarga Literasi Sabak Permai.

 

Dari Rumah Bata ke Galeri Prestasi

Setiap sudut rumah menjadi ruang belajar:
Meja makan tempat membaca puisi, ruang tamu jadi panggung pidato, kamar tidur berubah jadi tempat menulis cerita.
Dindingnya kini penuh piagam penghargaan---ratusan jumlahnya. Lebih dari 75 %  di antaranya adalah penghargaan tingkat nasional.

"Dari piala-piala itulah," kata Amriadi sambil tersenyum,
"kami bisa menyekolahkan anak-anak."

 

Harun, Anak Musala yang Tak Pernah Menyerah

Di antara ketiga anaknya, Harun Al Rasyid bersinar paling terang.
Dalam tiga tahun masa SMA-nya, Harun meraih 64 penghargaan tingkat nasional, 20 tingkat provinsi, dan 10 tingkat kabupaten.
Ia tampil di lomba baca puisi, cipta cerpen, film pendek, bahkan menulis naskah drama dan ilustrasi digital.
Namun, di balik gemerlap prestasi itu, hidupnya jauh dari mudah.

Harun tinggal di musala. Ia menjadi garin---menjaga kebersihan, mengumandangkan azan, dan merawat rumah Allah yang menjadi rumah keduanya.
"Kalau malam, Harun sering menulis di bawah lampu neon yang redup," kenang gurunya.
"Ia hafal puisi Chairil Anwar dan Taufiq Ismail di luar kepala."

Setiap kali lomba di luar kota, ayahnya selalu menemani.
Dengan motor tua yang suaranya parau, mereka menembus malam, melewati kebun sawit yang sunyi. Kadang hujan turun, kadang mereka hanya makan nasi bungkus dari rumah.
Namun, semangat itu tak pernah padam.

"Kalau menang," ujar Amriadi,
"kami bawa pulang piala, piagam, medali dan sedikit uang. Itu kami tabung untuk sekolah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun