Dan benar. Dari rumah kecil itulah api literasi menyala.
Amriadi menanamkan kecintaan membaca dan menulis kepada tiga anaknya: Harun Al Rasyid, Putri Liana Zahirah, dan Muhammad Habibi.
Bersama mereka, ia membangun apa yang kini dikenal orang sebagai Keluarga Literasi Sabak Permai.
Â
Dari Rumah Bata ke Galeri Prestasi
Setiap sudut rumah menjadi ruang belajar:
Meja makan tempat membaca puisi, ruang tamu jadi panggung pidato, kamar tidur berubah jadi tempat menulis cerita.
Dindingnya kini penuh piagam penghargaan---ratusan jumlahnya. Lebih dari 75 % Â di antaranya adalah penghargaan tingkat nasional.
"Dari piala-piala itulah," kata Amriadi sambil tersenyum,
"kami bisa menyekolahkan anak-anak."
Â
Harun, Anak Musala yang Tak Pernah Menyerah
Di antara ketiga anaknya, Harun Al Rasyid bersinar paling terang.
Dalam tiga tahun masa SMA-nya, Harun meraih 64 penghargaan tingkat nasional, 20 tingkat provinsi, dan 10 tingkat kabupaten.
Ia tampil di lomba baca puisi, cipta cerpen, film pendek, bahkan menulis naskah drama dan ilustrasi digital.
Namun, di balik gemerlap prestasi itu, hidupnya jauh dari mudah.
Harun tinggal di musala. Ia menjadi garin---menjaga kebersihan, mengumandangkan azan, dan merawat rumah Allah yang menjadi rumah keduanya.
"Kalau malam, Harun sering menulis di bawah lampu neon yang redup," kenang gurunya.
"Ia hafal puisi Chairil Anwar dan Taufiq Ismail di luar kepala."
Setiap kali lomba di luar kota, ayahnya selalu menemani.
Dengan motor tua yang suaranya parau, mereka menembus malam, melewati kebun sawit yang sunyi. Kadang hujan turun, kadang mereka hanya makan nasi bungkus dari rumah.
Namun, semangat itu tak pernah padam.
"Kalau menang," ujar Amriadi,
"kami bawa pulang piala, piagam, medali dan sedikit uang. Itu kami tabung untuk sekolah."