Ketiga, desain fisik yang mendukung interaksi. Perpustakaan modern menyediakan zona kolaboratif dengan sofa, meja bulat, bilik rapat kecil, serta ruang hening. Fleksibilitas ini memungkinkan konfigurasi ulang sesuai kebutuhan: dari diskusi tim kecil hingga presentasi mini. Cahaya yang lembut, akustik yang terkontrol, dan nuansa tenang menciptakan atmosfer kondusif.
Keempat, infrastruktur teknis. Koneksi internet cepat, colokan di setiap sudut, layar presentasi, printer, dan scanner membuat perpustakaan lebih fungsional dibanding ruang kelas biasa. Dengan perangkat ini, rapat kreatif bisa berpindah dari ide di papan tulis ke proposal digital dalam hitungan jam.
Kelima, peran pustakawan sebagai fasilitator ide. Pustakawan kini dituntut memiliki keterampilan literasi digital, pencarian lanjutan, dan konsultasi informasi (Shahbazi & Hedayati, dalam Jamridafrizal, 2017). Dalam rapat kreatif, mereka bisa membantu menyusun literatur relevan, mengajarkan strategi pencarian, atau merekomendasikan bacaan yang memperluas perspektif.
Keenam, zona psikologis yang aman. Perpustakaan menawarkan ruang di mana kegagalan ide tidak dihakimi. Coretan di papan bisa dihapus, sticky notes bisa dibuang, dan eksperimen pikiran bisa bebas dijalankan.
Ketujuh, jaringan manusia lintas disiplin. Perpustakaan adalah titik temu mahasiswa seni, sains, bisnis, dan teknologi. Pertemuan lintas disiplin ini sering memicu "kecelakaan intelektual" yang melahirkan inovasi. Dengan tujuh faktor ini, tak berlebihan jika perpustakaan digambarkan sebagai inkubator ide yang alami.
Tantangan dan Peluang
Namun transformasi tidak datang tanpa tantangan. Banyak pengguna di Indonesia belum optimal memanfaatkan fasilitas digital seperti Google Books atau e-library nasional. Alasannya beragam: keterbatasan pengetahuan, hambatan bahasa, hingga minimnya infrastruktur internet cepat (Jamridafrizal, 2017). Ibarat pepatah, "ayam mati di lumbung padi", potensi besar tergeletak tanpa terjamah.
Selain itu, masih kuat stigma bahwa perpustakaan adalah ruang hening yang sakral. Perlu keberanian manajerial untuk merancang zonasi: area sunyi tetap dipertahankan, namun area kolaborasi harus dipromosikan. Perubahan budaya ini sering lebih sulit daripada renovasi fisik.
Dari sisi kebijakan, anggaran juga menjadi isu. Membuat perpustakaan jadi ruang rapat kreatif butuh investasi: furnitur fleksibel, bandwidth tinggi, pelatihan pustakawan, hingga program kolaboratif. Namun, seperti ditunjukkan dalam literatur manajemen perpustakaan, investasi ini membuahkan nilai tambah berupa relevansi institusi dan peningkatan pemanfaatan koleksi (Kohl, 1986).
Strategi Transformasi
Bagaimana langkah praktisnya? Ada beberapa rekomendasi konkret: