Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perpustakaan: Dari Sunyi Rak Buku ke Panggung Gagasan

17 September 2025   17:30 Diperbarui: 17 September 2025   14:31 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar diambil dari https://www.shutterstock.com/

Di sebuah sore yang lengang, mahasiswa tampak duduk berkelompok di sudut perpustakaan kampus. Bukan sekadar membaca buku, mereka menyalakan laptop, menempelkan catatan berwarna di papan tulis, dan berbincang hangat tentang ide bisnis sosial. Rak-rak buku menjulang tinggi di sekeliling, namun suasana yang terasa bukan lagi "ruang hening" yang kaku, melainkan arena kreatif tempat gagasan lahir. Pemandangan ini menandai transformasi besar: perpustakaan bukan lagi sekadar gudang penyimpan buku, melainkan ruang hidup yang menumbuhkan ide dan kolaborasi.

Relevansi di Era Digital

Pertanyaan mendasar muncul: apakah perpustakaan masih relevan ketika hampir semua informasi tersedia secara daring? Sebagian pihak menilai perpustakaan akan perlahan kehilangan fungsinya, tergerus mesin pencari dan platform digital. Namun kenyataannya, justru di tengah banjir informasi inilah perpustakaan menemukan peran barunya. Alih-alih hanya tempat meminjam buku, perpustakaan kini menjadi pusat literasi digital, ruang belajar bersama, bahkan ruang rapat paling nyaman untuk menemukan ide kreatif.

Transformasi ini bukan sekadar kosmetik. Ia menuntut perubahan paradigma, kebijakan, dan peran pustakawan. Seperti dicatat David F. Kohl (1986), manajemen perpustakaan harus selalu memikirkan fungsi lebih luas, termasuk relasi dengan pengguna, layanan instruksi, dan dukungan profesional. Dengan kata lain, perpustakaan adalah organisme hidup yang terus beradaptasi.

Google Books dan Arus Digital

Era digital telah membuka cakrawala baru. Proyek Google Books yang dimulai pada 2004 adalah salah satu tonggak penting. Hingga 2017, Google melaporkan telah memindai lebih dari 30 juta judul buku, dari sekitar 130 juta judul yang pernah diterbitkan di dunia (Jamridafrizal, 2017). Digitalisasi ini membuat akses pengetahuan lebih luas dan cepat. Sekaligus, ia menantang perpustakaan tradisional: bagaimana tetap relevan jika koleksi global bisa diakses lewat gawai pribadi?

Jawabannya adalah dengan mengubah fungsi. Perpustakaan tidak bisa hanya menjadi "penyimpan" koleksi. Ia harus menjadi broker pengetahuan: penghubung antara sumber daya (fisik dan digital) dengan pemustaka yang membutuhkan solusi. Dalam peran ini, perpustakaan tidak kalah dengan Google atau Amazon, karena ia menawarkan sesuatu yang unik: ruang sosial, pendampingan manusiawi, dan kepercayaan.

Ruang Rapat yang Melahirkan Ide

Dalam kerangka itu, muncul gagasan menjadikan perpustakaan sebagai ruang rapat paling nyaman untuk ide kreatif. Mengapa perpustakaan ideal bagi diskusi dan brainstorming? Setidaknya ada tujuh alasan utama.

Pertama, netralitas ruang. Perpustakaan bukan kantor atasan, bukan kafe yang penuh distraksi. Ia adalah ruang netral, di mana berbagai orang bisa bertemu tanpa hierarki kuat. Netralitas ini memudahkan terbentuknya percakapan egaliter dan terbuka, syarat utama lahirnya ide segar.

Kedua, ketersediaan inspirasi instan. Rak buku, majalah, arsip digital, hingga Google Scholar adalah reservoir ide. Ketika diskusi terhenti, cukup melangkah ke rak atau membuka basis data untuk menemukan konsep atau studi baru. Perpustakaan menjadi "ruang dengan dinding penuh jawaban".

Ketiga, desain fisik yang mendukung interaksi. Perpustakaan modern menyediakan zona kolaboratif dengan sofa, meja bulat, bilik rapat kecil, serta ruang hening. Fleksibilitas ini memungkinkan konfigurasi ulang sesuai kebutuhan: dari diskusi tim kecil hingga presentasi mini. Cahaya yang lembut, akustik yang terkontrol, dan nuansa tenang menciptakan atmosfer kondusif.

Keempat, infrastruktur teknis. Koneksi internet cepat, colokan di setiap sudut, layar presentasi, printer, dan scanner membuat perpustakaan lebih fungsional dibanding ruang kelas biasa. Dengan perangkat ini, rapat kreatif bisa berpindah dari ide di papan tulis ke proposal digital dalam hitungan jam.

Kelima, peran pustakawan sebagai fasilitator ide. Pustakawan kini dituntut memiliki keterampilan literasi digital, pencarian lanjutan, dan konsultasi informasi (Shahbazi & Hedayati, dalam Jamridafrizal, 2017). Dalam rapat kreatif, mereka bisa membantu menyusun literatur relevan, mengajarkan strategi pencarian, atau merekomendasikan bacaan yang memperluas perspektif.

Keenam, zona psikologis yang aman. Perpustakaan menawarkan ruang di mana kegagalan ide tidak dihakimi. Coretan di papan bisa dihapus, sticky notes bisa dibuang, dan eksperimen pikiran bisa bebas dijalankan.

Ketujuh, jaringan manusia lintas disiplin. Perpustakaan adalah titik temu mahasiswa seni, sains, bisnis, dan teknologi. Pertemuan lintas disiplin ini sering memicu "kecelakaan intelektual" yang melahirkan inovasi. Dengan tujuh faktor ini, tak berlebihan jika perpustakaan digambarkan sebagai inkubator ide yang alami.

Tantangan dan Peluang

Namun transformasi tidak datang tanpa tantangan. Banyak pengguna di Indonesia belum optimal memanfaatkan fasilitas digital seperti Google Books atau e-library nasional. Alasannya beragam: keterbatasan pengetahuan, hambatan bahasa, hingga minimnya infrastruktur internet cepat (Jamridafrizal, 2017). Ibarat pepatah, "ayam mati di lumbung padi", potensi besar tergeletak tanpa terjamah.

Selain itu, masih kuat stigma bahwa perpustakaan adalah ruang hening yang sakral. Perlu keberanian manajerial untuk merancang zonasi: area sunyi tetap dipertahankan, namun area kolaborasi harus dipromosikan. Perubahan budaya ini sering lebih sulit daripada renovasi fisik.

Dari sisi kebijakan, anggaran juga menjadi isu. Membuat perpustakaan jadi ruang rapat kreatif butuh investasi: furnitur fleksibel, bandwidth tinggi, pelatihan pustakawan, hingga program kolaboratif. Namun, seperti ditunjukkan dalam literatur manajemen perpustakaan, investasi ini membuahkan nilai tambah berupa relevansi institusi dan peningkatan pemanfaatan koleksi (Kohl, 1986).

Strategi Transformasi

Bagaimana langkah praktisnya? Ada beberapa rekomendasi konkret:

  1. Zonasi ruang: pisahkan area hening, kolaboratif, dan rapat kecil.

  2. Furnitur fleksibel: meja ringan, kursi bergerak, papan tulis portabel.

  3. Infrastruktur kuat: Wi-Fi cepat, layar presentasi plug-and-play, colokan berlimpah.

  4. Peralatan kreatif: sticky notes, whiteboards, kit prototyping sederhana.

  5. Program rutin: sesi "idea sprint", klub riset tematik, atau lokakarya proposal.

  6. Pelatihan pustakawan: dari "penjaga rak" menjadi "fasilitator inovasi".

Langkah-langkah ini tidak hanya mengubah wajah perpustakaan, tetapi juga cara orang menggunakannya: bukan sekadar meminjam buku, melainkan menemukan jawaban.

Menyemai Peradaban

Di masa depan, perpustakaan bisa menjadi pusat peradaban mikro. Ia menggabungkan koleksi fisik yang kaya, akses digital global, ruang nyaman untuk kolaborasi, dan pustakawan yang berperan sebagai mentor. Ketika sebuah ide lahir dari rapat kecil di perpustakaan---baik berupa inovasi teknologi, gerakan sosial, maupun karya seni---itulah bukti nyata bahwa perpustakaan hidup, bukan sekadar museum buku.

Perpustakaan Indonesia perlu berani mengambil langkah ini. Kita tidak bisa lagi membiarkan perpustakaan hanya menjadi bangunan penuh rak yang sepi pengunjung. Ia harus menjadi ruang di mana generasi muda merasa betah, merasa ditantang, dan merasa didukung untuk melahirkan ide-ide segar.

Pada akhirnya, fungsi terdalam perpustakaan bukanlah menyimpan buku, melainkan menyemai peradaban. Dan peradaban tumbuh bukan dari tumpukan kertas yang membisu, melainkan dari ide yang diperdebatkan, ditulis ulang, dan diwujudkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun