Dalam hampir setiap ruang guru di Indonesia, kita dapat menemukan dinamika yang mirip: ketegangan antara guru senior dan guru muda.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta, sekolah unggulan, bahkan lembaga pendidikan yang telah berusia puluhan tahun.
Senioritas dan junioritas seakan menjadi pola tak terhindarkan, dan jika tidak dikelola dengan bijak, bisa menjadi batu sandungan bagi kemajuan sekolah.
Guru-guru muda biasanya datang dengan semangat segar, penuh ide, dan lebih mudah beradaptasi dengan perubahan. Mereka terbiasa dengan teknologi, lebih terbuka dengan dunia luar, dan punya cara komunikasi yang lebih "easy going".
Namun, justru di titik ini sering muncul gesekan. Guru-guru senior, dengan pengalaman panjang dan dedikasi yang patut dihormati, kadang merasa otoritas mereka terancam.
Kritik, protes, bahkan keluhan keras kerap muncul di ruang guru. Ironisnya, alih-alih memperkuat wibawa, cara seperti itu justru menelanjangi diri sendiri: memperlihatkan kegamangan dalam menghadapi perubahan zaman.
Jika tidak disikapi dengan bijak, ketegangan ini dapat merusak budaya sekolah dan menghambat pembaruan yang seharusnya menjadi roh pendidikan.
Suara Masa Lalu yang Membelenggu
Banyak kritik guru senior bersandar pada pengalaman masa lalu. Apa yang mereka alami di masa kejayaan sekolah, apa yang dulu dianggap "pakem", sering dijadikan tolok ukur mutlak.
Padahal, dunia pendidikan terus bergerak. Kurikulum berganti, sistem evaluasi berubah, teknologi merambah ruang kelas, dan orientasi belajar siswa bergeser. Menjadikan pengalaman masa lalu sebagai "kitab absolut" hanya akan membuat seorang guru terjebak nostalgia.
Ketika kritik dilontarkan tanpa pemahaman konteks, bahkan tanpa membaca aturan baru atau memahami kebijakan terkini, kritik itu kehilangan bobot. Ia menjadi sekadar gema dari masa lalu. Guru muda yang mendengar suara itu bisa saja mengira bahwa kerasnya kritik identik dengan kebenaran, padahal belum tentu. Suara lantang tidak otomatis mengandung kebijaksanaan.
Di sinilah letak jebakan nostalgia. Masa lalu memang penting sebagai fondasi, tetapi jika dijadikan benteng untuk menolak perubahan, ia justru menjadi beban.
Pendidikan bukan museum, melainkan ruang hidup yang selalu bergerak. Guru yang terjebak masa lalu hanya akan menyaksikan dirinya makin terpinggirkan oleh arus zaman.
Kebutuhan untuk Dihormati
Guru senior sering merasa bahwa pengalaman panjang mereka otomatis memberi hak untuk didengar dan dihormati. Memang benar, penghormatan kepada yang lebih tua adalah nilai luhur bangsa ini. Akan tetapi, ada garis tipis antara penghormatan yang lahir dari keteladanan dan penghormatan yang dipaksakan melalui keluhan serta protes.
Penghormatan sejati tidak lahir dari kata-kata keras, melainkan dari sikap dan teladan nyata. Guru yang rendah hati, terbuka, dan siap mendampingi guru muda justru akan mendapat tempat terhormat tanpa perlu memintanya. Sebaliknya, sikap defensif dan sinis hanya akan mengikis rasa hormat, sekalipun usia dan pengalaman sudah panjang.
Ketika guru senior terus-menerus membandingkan "dulu" dengan "sekarang", menekankan kelemahan sistem tanpa solusi nyata, mereka sesungguhnya sedang menunjukkan kegagalan pribadi dalam melakukan move on.
Kritik tanpa dasar memperlihatkan ketidakmampuan menyesuaikan diri, bukan kebijaksanaan. Guru muda yang labil pun bisa terseret arus negatif itu, hingga tercipta lingkaran ketidakpercayaan dalam ruang guru.
Move On sebagai Tanggung Jawab Moral
Menjadi guru senior seharusnya berarti menjadi teladan, bukan sekadar penjaga masa lalu. Dalam dunia pendidikan yang terus berubah, kemampuan move on adalah bentuk tanggung jawab moral. Mengapa? Karena setiap guru adalah panutan. Sikap seorang guru di ruang guru akan cepat menular ke kelas dan ke siswa.
Jika seorang guru senior tidak mampu berdamai dengan perubahan, bagaimana mungkin ia mengajarkan kepada muridnya tentang keterbukaan, fleksibilitas, dan daya juang?
Murid belajar lebih banyak dari sikap dan teladan, bukan sekadar dari kata-kata. Karena itu, move on bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban moral agar nilai yang diajarkan sinkron dengan realitas hidup.
Move on bukan berarti melupakan jasa masa lalu. Justru sebaliknya, ia adalah cara untuk menjaga warisan tetap relevan. Pengalaman panjang bisa menjadi modal berharga, asalkan dipadukan dengan keterbukaan terhadap hal baru. Guru yang bijak tidak hanya berkata, "dulu begini lebih baik," tetapi mampu menambahkan, "bagaimana kalau kita adaptasi semangat itu dalam konteks sekarang?"
Dialog Antar Generasi
Guru muda juga tidak boleh menutup telinga. Mereka perlu belajar menghargai pengalaman guru senior, sebab dari situlah terbentuk fondasi karakter sekolah.
Namun, penghargaan tidak berarti menelan bulat-bulat setiap kritik atau pandangan yang diberikan. Guru muda harus kritis, tahu membedakan mana yang lahir dari kebijaksanaan dan mana yang sekadar residu ketidakmampuan beradaptasi.
Sebaliknya, guru senior pun perlu membuka ruang dialog. Alih-alih merasa dilangkahi atau disepelekan, mereka bisa memilih menjadi mentor. Bimbingan yang lahir dari kesediaan untuk berbagi, bukan dari sikap menggurui, akan lebih membekas.
Guru muda pada dasarnya mencari panutan. Jika guru senior hadir sebagai pendamping yang rendah hati, jembatan antar generasi bisa terbangun dengan kokoh.
Dialog bukan sekadar percakapan, melainkan proses membangun kepercayaan. Melalui dialog, dua generasi guru bisa saling melengkapi: pengalaman menjadi sumber kebijaksanaan, energi muda menjadi motor penggerak. Jika ruang guru dikelola sebagai ruang dialog, bukan arena konflik, sekolah akan lebih mudah beradaptasi dengan perubahan zaman.
Menyadari Bahwa Dunia Sudah Berubah
Perubahan dalam pendidikan bukan sekadar soal kurikulum atau sistem ujian. Perubahan itu juga menyentuh cara siswa belajar, cara orang tua terlibat, hingga cara sekolah menata diri. Dunia digital menghadirkan realitas baru yang tidak bisa diabaikan. Dalam situasi seperti ini, guru senior ditantang untuk terus belajar.
Membaca aturan terbaru, mengikuti pelatihan, bahkan sekadar mencoba aplikasi pembelajaran bisa menjadi langkah kecil yang menunjukkan bahwa pengalaman panjang tetap relevan dengan zaman. Sebaliknya, menolak membaca, menutup diri, lalu hanya melontarkan kritik, sama saja dengan memperlihatkan kelemahan pribadi.
Dibutuhkan keberanian untuk berkata, "Saya memang perlu belajar lagi." Kalimat sederhana ini tidak merendahkan martabat guru senior. Justru sebaliknya, ia menumbuhkan wibawa sejati: wibawa yang lahir dari kerendahan hati dan kesediaan untuk bertumbuh. Inilah kualitas yang akan dikenang oleh generasi muda.
Menjadi Guru Sejati
Seorang guru sejati tidak diukur dari seberapa keras ia bersuara di ruang guru, melainkan dari seberapa besar pengaruh positif yang diwariskan kepada murid-muridnya. Guru sejati sadar bahwa generasi berganti, kurikulum berubah, tetapi nilai-nilai keutamaan seperti integritas, ketekunan, dan kasih sayang tidak pernah usang.
Bagi guru senior, move on bukan sekadar pilihan, melainkan panggilan. Panggilan untuk mengakui bahwa dunia berubah, dan mereka pun dipanggil untuk berubah bersama. Bagi guru muda, tantangannya adalah belajar memilah: mendengarkan dengan hormat, tetapi tidak terjebak dalam pola pikir yang menghambat.
Jika dua generasi guru ini bisa saling melengkapi, maka sekolah akan menemukan irama baru: warisan masa lalu yang bijak berpadu dengan semangat pembaruan. Inilah simfoni sejati pendidikan---sebuah harmoni yang lahir bukan dari perlawanan, melainkan dari keterbukaan untuk bertumbuh bersama.
Catatan Reflektif
Pada akhirnya, dunia pendidikan bukanlah panggung nostalgia, tetapi ruang di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan bertemu. Guru senior dengan pengalaman panjangnya dan guru muda dengan energi segarnya sama-sama dibutuhkan.
Namun, agar harmoni tercapai, diperlukan kesadaran bahwa masa lalu tidak boleh dijadikan kitab absolut, dan perubahan bukanlah ancaman, melainkan kesempatan untuk bertumbuh.
Dengan kesadaran itu, guru senior bisa menerima diri dengan lebih lapang, guru muda bisa berdiri teguh tanpa kehilangan rasa hormat, dan sekolah pun bergerak maju tanpa terbebani bayang-bayang nostalgia. Karena pada akhirnya, mendidik adalah soal membentuk masa depan, bukan sekadar merawat masa lalu.
Lalu, bagaimana dengan kita sendiri? Apakah kita sebagai guru berani mengakui bahwa dunia sudah berubah dan kita pun perlu berubah? Apakah kita cukup rendah hati untuk belajar hal-hal baru, meski usia dan pengalaman kita sudah panjang? Apakah kita mau memilih menjadi jembatan antar generasi, bukan tembok pemisah? Dan yang lebih penting, apakah kita sungguh menghadirkan teladan yang akan dikenang murid-murid kita---bukan karena kerasnya suara kita di ruang guru, melainkan karena kebijaksanaan kita dalam menapaki perubahan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI